Menuju konten utama

RUU TPKS Siap Dibawa ke Paripurna, Ini Poin-poin yang Ditolak F-PKS

RUU TPKS telah disetujui Baleg DPR untuk dibawa ke paripurna, berikut alasan Fraksi PKS yang menolak RUU ini.

RUU TPKS Siap Dibawa ke Paripurna, Ini Poin-poin yang Ditolak F-PKS
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, I Gusti Ayu Bintang Darmawati (kanan) memberikan laporan pemerintah kepada Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas (kiri) dalam rapat kerja di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen MPR/DPR-DPD, Senayan, Jakarta, Kamis (24/3/2022). ANTARA FOTO/Reno Esnir/rwa.

tirto.id - Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) telah disetujui Baleg DPR untuk disahkan menjadi UU di tingkat kedua pada rapat paripurna. Dalam rapat pleno tingkat pertama, hanya Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) yang menyatakan penolakan.

“Kami Fraksi Partai Keadilan Sejahtera menolak Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual untuk disahkan menjadi Undang-Undang dan dilanjutkan ke tahap berikutnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” anggota Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (Baleg DPR RI) Fraksi PKS, Al Muzammil Yusuf dalam rapat tersebut di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (6/4/2022).

“Sebelum didahului adanya pengesahan RUU KUHP [Kitab Undang-Undang Hukum Pidana] dan atau pembahasan RUU TPKS ini dilakukan bersama dengan pembahasan RUU KUHP dengan melakukan sinkronisasi seluruh tindak pidana kesusilaan yang meliputi segala bentuk kekerasan seksual, perzinaan, dan penyimpangan seksual,” imbuh dia.

Muzammil menerangkan bahwa Fraksi PKS memiliki catatan-catatan untuk menyikapi hasil Panitia Kerja (Panja) pembahasan RUU TPKS oleh Panja, Baleg DPR RI, dan pemerintah.

Pertama, Fraksi PKS mengutuk keras dan menolak segala bentuk kejahatan seksual, mendukung terhadap upaya-upaya pemberatan pidana termasuk pemberlakuan hukuman mati bagi pelaku kejahatan seksual, serta mendukung terhadap upaya-upaya penanganan, perlindungan, dan pemulihan terhadap korban kejahatan seksual.

“Di sisi lain, Fraksi PKS juga sangat prihatin dengan semakin maraknya tindakan perzinaan, gaya hidup seks bebas, serta perilaku penyimpangan seksual,” ujar dia.

Kedua, kata Muzammil, pembentukan UU yang mengatur tentang tindak pidana kesusilaan, termasuk di dalamnya kekerasan seksual, perzinaan, dan penyimpangan seksual harus memperhatikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 46/PUU-XIV/2016.

Kemudian dia menerangkan catatan ketiga yakni, seusai menerima banyak masukan dari masyarakat, organisasi, dan lembaga mereka terkait RUU TPKS, Fraksi PKS konsisten untuk memperjuangkan agar dalam RUU TPKS diatur perihal larangan dan pemidanaan terhadap perzinaan dan penyimpangan seksual sebagai salah satu bentuk tindak pidana kesusilaan.

“Norma perzinaan dalam KUHP bermakna sempit sehingga tidak bisa menjangkau perbuatan zina yang dilakukan oleh pasangan yang keduanya belum terikat perkawinan dengan pihak lain,” ujar Muzammil.

Menurut Fraksi PKS, tutur dia, pengaturan tentang tindak pidana perzinaan ini perlu diatur dengan memperluas rumusan delik perzinaan dalam Pasal 284 KUHP, yang mencakup perzinaan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Baik yang keduanya terikat perkawinan dengan orang lain, salah satunya terikat perkawinan dengan orang lain, maupun yang keduanya sama-sama belum terikat perkawinan.

Muzammil melanjutkan bahwa catatan keempat dari Fraksi PKS yaitu mereka mengusulkan untuk memasukkan ketentuan larangan hubungan seksual berdasarkan orientasi seksual yang menyimpang seperti lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) atau penyimpangan seksual dalam RUU TPKS dengan mengakomodasi pemidanaan bagi pelaku penyimpangan seksual baik dilakukan terhadap anak maupun dewasa. Lalu melarang segala bentuk kampanye penyimpangan seksual dengan memberikan pengecualian bagi pelaku penyimpangan seksual karena kondisi medis tertentu yang harus direhabilitasi.

Kelima, tutur dia, Fraksi PKS memberikan masukan bahwa dalam perumusan jenis-jenis tindak pidana, sebaiknya disesuaikan dengan tindak pidana kesusilaan yang telah dibahas dalam RKUHP. “Agar rumusan tindak pidananya lengkap, integral, komprehensif, dan tidak menimbulkan pemaknaan lain yang tidak sejalan dengan Pancasila dan UUD 1945,” sambung Muzammil.

Lebih lanjut, dia mengatakan catatan keenam dari Fraksi PKS, bahwa mereka menilai penyesuaian delik kesusilaan antara RUU TPKS dengan RKUHP penting dilakukan agar pelaksanaan RUU TPKS ini tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda, mengingat dasar pemidanaan dalam RUU TPKS ini hanya menggunakan tolak ukur perbuatan-perbuatan yang mengandung unsur kekerasan saja.

Sedangkan perbuatan seksual yang dilakukan atas dasar suka sama suka (sexual consent) dan segala bentuk penyimpangan seksual yang tidak mengandung kekerasan, meskipun keduanya bertentangan dengan hukum agama dan nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat, tetap tidak dapat dipidana.

“Demikian pendapat Fraksi PKS ini kami sampaikan. Semoga rapat pleno hari ini memperoleh kesimpulan yang terbaik, sebagai ikhtiar kita untuk menyusun Undang-Undang yang komprehensif memberikan perlindungan berkaitan dengan tindak pidana kesusilaan,” ujar Muzammil.

Meski demikian, 8 dari 9 fraksi telah menyepakati RUU TPKS dilanjutkan ke tingkat kedua di rapat paripurna untuk disahkan sebagai UU. Yaitu Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Fraksi Partai Golongan Karya (Golkar), Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Fraksi Partai Nasional Demokrat (NasDem), Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Fraksi Partai Demokrat, serta Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN).

Baca juga artikel terkait RUU TPKS atau tulisan lainnya dari Farid Nurhakim

tirto.id - Politik
Reporter: Farid Nurhakim
Penulis: Farid Nurhakim
Editor: Maya Saputri