tirto.id - Pemerintah dan DPR sedang berusaha menggodok kembali Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Sejumlah pasal dalam kitab hukum itu dinilai bermasalah karena mengekang kebebasan masyarakat dan menarik mundur demokrasi Indonesia. Salah satunya, ancaman pidana penjara selama 1 tahun bagi penyelenggara demonstrasi tanpa pemberitahuan.
Ketentuan itu terdapat di pasal 273 RKUHP yang berbunyi: "Setiap Orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II."
Ketentuan serupa sebelumnya telah diatur dalam pasal 510 KUHP, yang merupakan warisan pemerintah kolonial Belanda. Pasal itu mengatur larangan mengadakan arak-arakan di jalan umum atau mengadakan pesta lain tanpa izin kepala polisi atau pejabat lain yang ditunjuk untuk itu. Namun pasal ini hanya mengancam pelanggarnya dengan denda.
Selain itu, ketentuan itu adalah warisan dari produk hukum era demokrasi terpimpin yakni undang-undang nomor 5/PNPS/1963 tentang Kegiatan Politik. Pasal 3 beleid itu mengatur kewajiban memberitahukan kepada kantor polisi dan Front Nasional tentang kegiatan politik yang berupa rapat-rapat/pertemuan-pertemuan atau demonstrasi-demonstrasi. Jika dilanggar maka diancam hukuman 1 tahun penjara.
"Dari gabungan kedua rezim kolonial dan demokrasi terpimpin tersebut, Pasal 273 RKUHP ini ada mengatur kegiatan pawai, unjuk rasa atau demonstrasi di jalan umum dimana pihak penyelenggara harus memohon izin polisi atau pejabat berwenang," kata Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform Erasmus Napitupulu lewat keterangan tertulisnya.
Eras mengatakan, adanya politik perizinan yang diterapkan melalui RKUHP mencerminkan watak birokrasi pemerintah yang sangat bertumpu pada keamanan dan ketertiban umum. Hal ini akrab digunakan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, dan digunakan oleh rezim Sukarno memantau gerak gerik masyarakat.
Pada rezim orde baru pun pasal itu kerap digunakan untuk membatasi suara mereka yang berseberangan dengan pemerintah.
Ketentuan itu pun bertentangan dengan Pasal 13 UU Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum yang menyatakan untuk mengadakan unjuk rasa atau demonstrasi tidak perlu izin kepolisian, penyelenggara unjuk rasa cukup menyampaikan surat pemberitahuan tertulis kepada kepolisian.
"Pasal 273 RKUHP ini jelas cerminan watak politik perizinan peninggalan kolonial, peninggalan rezim demokrasi terpimpin dan orde baru yang sengaja dipertahankan untuk mengontrol akitivitas rakyatnya sendiri," kata Eras.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Restu Diantina Putri