tirto.id - Joko Widodo dan Prabowo Subianto sudah mendaftar menjadi bakal calon presiden ke Komisi Pemilihan Umum, Jumat (10/8/2018). Kedua calon presiden ini pun sudah memiliki bakal calon wakil presiden masing-masing yakni Ma’ruf Amin dan Sandiaga Salahuddin Uno.
Pemilihan Ma’ruf dan Sandiaga sebagai bakal cawapres buat dua bakal capres ini sempat mengagetkan. Penyebabnya, keduanya bukan orang yang diduga publik selama ini.
Ma’ruf Amin misalnya. Ketua Umum MUI ini tiba-tiba dideklarasikan Jokowi kurang dari 24 jam sebelum pendaftaran. Kiai Ma’ruf, sapaan Ma’ruf Amin, disebut-sebut menggeser Mahfud MD yang sebelumnya santer disebut akan didapuk menjadi pendamping Jokowi.
Demikian juga dengan Sandiaga Uno. Wakil Gubernur DKI Jakarta yang baru mengundurkan diri sebelum pendaftaran ke KPU ini juga tak terprediksi bakal menjadi pendamping Prabowo. Beberapa hari sebelum deklarasi, Agus Harimurti Yudhoyono, Ustaz Abdul Somad, dan Salim Segaf Aljufri adalah tiga nama yang disebut bakal menjadi bacawapres untuk Prabowo.
Proses pemilihan keduanya diakui Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia Hanta Yuda sebagai proses yang mengejutkan. Meski begitu, Hanta menilai pemilihan dua bakal calon wakil presiden buat kedua kubu bukanlah strategi politik melainkan hasil negosiasi yang panjang.
“Ini bukan strategi, meski belakangan para politikus bilang ini bagian dari strategi. ini negosiasi jalan tengah yang harus diambil,” kata Hanta di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (11/8/2018).
Hasil Sistem yang Rumit
Kerumitan ini, disebut Hanta, salah satunya dipengaruhi sistem koalisi dan perpolitikan di Indonesia. Berdasarkan Pasal 222 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, ada ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) yang harus dipenuhi.
Untuk bisa mengusung pasangan capres dan cawapres, partai politik maupun koalisinya harus memiliki 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah secara nasional dari Pilpres 2014. “Karena semua partai politik ingin kadernya bisa maju [Pilpres],” kata Hanta.
Kondisi ini bisa tergambar dari wacana Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar yang sempat mengatakan akan memunculkan poros ketiga apabila Jokowi memilih Mahfud MD.
Faktor lainnya, kata Hanta, Jokowi atau pun Prabowo mempertimbangkan kelangsungan Pilpres 2024 mendatang. Jika Jokowi memilih Mahfud MD, Hanta melihat, ada peluang bagi Mahfud untuk maju pada 2024. Namun dengan memilih Ma’ruf, Pilpres 2024 akan dimulai dari titik nol serta membuka kesempatan bagi seluruh partai politik yang tergabung dalam koalisi untuk menyiapkan sosok.
Sedangkan bagi Prabowo, Hanta melihat sosok Sandiaga Uno dapat mendorong mesin politik dari koalisi partai oposisi maupun dari segi logistik yang dibutuhkan. Selain itu, Sandiaga juga masih sangat identik dengan Partai Gerindra yang menjadi kendaraannya untuk masuk ke dunia politik.
“Sosok Sandiaga harus diantisipasi karena pemilih non-Jokowi akan berpotensi memilih siapa pun penantang Jokowi,” kata Hanta lagi.
Mendadak dan Tidak Mendadak
Analisis Hanta soal rumitnya sistem dan hasil dari negosiasi ini bisa jadi benar. Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie sempat memberikan keterangan soal bagaimana rumitnya pemilihan calon wakil presiden ini. Grace mengakui dirinya kaget saat Jokowi memilih Ma’ruf lantaran sebelumnya PSI mengajukan nama Mahfud MD buat digadang menjadi calon wakilnya.
“Karena prosesnya sebelum keluar nama Pak Ma’ruf, sudah ada nama Pak Mahfud. Kondisi memang tidak ideal,” kata Grace kepada Tirto, Jumat (10/8/2018).
Koordinator Bidang Hukum DPP PKB Razman Arif Nasution mengiyakan keterangan Grace. Ia tidak menampik apabila pengusungan Ma’ruf Amin itu baru ditentukan pada menit-menit terakhir. Akan tetapi, ia melihat nama Ma’ruf sendiri sudah menjadi pertimbangan mengingat kode cawapres berinisial M yang sempat disampaikan Jokowi.
“Kalau dibandingkan dengan Pak Mahfud, Kiai Ma’ruf adalah yang paling tepat mendampingi. Dengan ini, Jokowi memahami adanya isu dugaan kriminalisasi ulama, dan menangkap sinyal dari masyarakat yang menginginkan [cawapres] ulama,” ujar Razman, Sabtu siang.
Kondisi serupa tampaknya dialami Prabowo. Jauh-jauh hari sebelum deklarasi, nama Abdul Somad dan Salim Segaf Aljufri adalah dua nama yang teratas yang digadang buat mendampingi mantan Danjen Kopassus ini hasil dari ijtima ulama Gerakan Nasional Pembela Fatwa (GNPF) Ulama.
Sesaat sebelum deklarasi, Ketua Umum GNPF Ulama Muhammad Yusuf Martak mendatangi rumah Prabowo Subianto. Sebelum memasuki kediaman Prabowo, Yusuf mengaku pihaknya tetap meminta Prabowo menggunakan rekomendasi Ijtima Ulama dalam menentukan calon wakilnya meski belakangan rekomendasi itu tak digubris Prabowo.
“GNPF Ulama telah menawarkan alternatif cawapres ulama yang telah direstui Imam Besar Habib Rizieq Shihab dan para tokoh sentral Ijtima Ulama, yaitu Ustaz Arifin Ilham dan AA Gym,” ujar Yusuf Martak.
Meski terjadi drama dalam proses pemilihan calon wakil presiden, Ketua DPP Gerindra Habiburokhman membantah apabila sosok Sandiaga tersebut merupakan cawapres dadakan untuk Prabowo. Ia memang tidak menampik apabila anggapan tersebut beredar luas di tengah masyarakat. Akan tetapi, Habiburokhman mengklaim Sandiaga terpilih karena telah melalui proses pertimbangan yang panjang.
“Nama beliau (Sandiaga) sebetulnya sudah diperbincangkan, dibahas, dan dibicarakan di internal jauh sebelumnya,” ungkap Habiburokhman, hari ini.
Sebelum akhirnya pilihan cawapres jatuh kepada Sandiaga, Habiburokhman menyatakan telah berupaya keras untuk memenuhi “ijtima ulama”, yakni dengan melakukan pendekatan kepada Salim Segaf Al-Jufri maupun Abdul Somad. Habiburokhman pun mengatakan Abdul Somad menolak ajakan karena ingin fokus berdakwah, sementara nama Salim Segaf tidak diusung karena tidak ada kesepakatan di antara partai pendukung Prabowo.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Mufti Sholih