Menuju konten utama

Rombak Total Hukum Indonesia soal Ganja, Bumikan Anjuran PBB

Indonesia didesak setujui keputusan komisi narkotika PBB usai keluarkan ganja dari golongan narkoba berbahaya dan adiktif.

Rombak Total Hukum Indonesia soal Ganja, Bumikan Anjuran PBB
Ilustrasi baik-buruk ganja. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Keputusan mengejutkan meluncur dari forum The UN Commission on Narcotic Drugs (CND) atau Komisi Narkotika Perserikatan Bangsa Bangsa. CND mencabut ganja dan turunannya dari Daftar IV Konvensi Tunggal Narkotika 1961, dengan mempertimbangkan rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Berdasarkan ketentuan tahun 1961 itu, narkotika yang berada dalam Golongan IV hanya memiliki manfaat medis yang terbatas, namun tingkat ketergantungan dan potensi penyalahgunaannya sangat tinggi. Ini membuatnya termasuk dalam subjek kontrol yang paling ketat jika dibandingkan dengan narkotika Golongan I-III, bahkan dilarang untuk kepentingan medis di sejumlah negara.

Kini, karena putusan PBB, ganja tidak lagi disamakan dengan heroin atau opioid yang memiliki ancaman risiko tertinggi hingga menyebabkan kematian. Keputusan ini membuat ganja secara resmi keluar dari daftar narkoba berbahaya dan adiktif.

Keputusan ini diambil setelah 53 negara anggota CND melakukan pemungutan suara. Dalam peristiwa bersejarah di Wina Austria itu, 27 negara menyetujui pencabutan tanaman ganja dari daftar tanaman obat. 25 negara menolak sementara, dan satu abstain.

Dengan ini CND membuka peluang untuk mempelajari potensi ganja sebagai obat medis dan terapi, namun tetap melarang penggunaannya untuk tujuan rekreasi.

Keputusan penting dari sidang PBB ini, menurut Lingkar Ganja Nusantara (LGN), organisasi nirlaba yagn fokus mengadvokasi legalisasi ganja, semestinya direspons pemerintah Indonesia dengan cepat dan cermat. Ini semakin penting karena saat ini tengah bergulir sidang gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar ganja bisa digunakan untuk kepentingan medis.

“Loloskan permohonan judicial review Pasal 6 dan Pasal 8 UU Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 yang dimohonkan oleh ibu-ibu dengan anaknya yang menderita cerebral palsy. Mereka sangat membutuhkan pengobatan yang berasal dari ganja,” ujar inisiator Gerakan LGN Dhira Narayana kepada reporter Tirto, Jumat (4/12/2020).

Respons tepat yang kedua, kata Dhira, adalah membentuk tim perancang Peta Jalan Industri Pemanfaatan Ganja Nasional. Jangan sampai untuk memenuhi kebutuhan ganja medis, negara ini harus impor dan impor lagi. Perlu ada produksi ganja di dalam negeri. Dalam hal ini, pemerintah dan masyarakat mafhum Aceh adalah wilayah yang potensial menghasilkan ganja berkualitas.

Menurut Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu, keputusan PBB memang perlu direspons pemerintah Indonesia dengan menerbitkan regulasi agar ganja dapat dipakai untuk medis. “Aturan yang harus diubah [yakni] UU Narkotika. Aturannya harus ditambah soal ganja medis, dari mulai pengelolaan hingga obat,” ucap Erasmus kepada reporter Tirto, Jumat.

Ia juga mendesak agar tak lagi ada kriminalisasi terhadap pengguna ganja medis setelah putusan PBB. Para algojo hukum juga diminta mempertimbangkan dan menggali perkembangan hukum bila mengadili kasus penggunaan ganja. Jangan sampai vonis-vonis nantinya ada di belakang peristiwa-peristiwa terkini.

Staf Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat Ma'ruf Bajammal menjelaskan saat ini ganja termasuk Golongan 1 dalam Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika. Itu artinya, ia tidak dapat dimanfaatkan untuk pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan keputusan PBB, ia berharap sepatutnya aturan hukum tidak menghambat kemajuan ilmu pengetahuan.

“Maka sudah sepatutnya aturan dalam UU Narkotika tersebut harus direformasi oleh pemerintah. Karena sudah usang dan tertinggal oleh perkembangan zaman,” tutur Ma'ruf kepada reporter Tirto, Jumat.

Jika ganja untuk medis terus dihambat, kata dia, akan makin banyak korban berjatuhan. Selain itu, bila undang-undang itu tak diperbaiki, menurutnya Indonesia juga hanya mendapat kecaman secara moral dan jadi negara paria dalam pergaulan internasional.

Ma’ruf tahu keputusan CND ini memang tidak mengikat secara hukum. Namun ia jelas otoritatif. “Maka secara politis harusnya pemerintah mengikutinya,” katanya.

BNN: Kita Golongan Garis Keras

Menanggapi keputusan PBB dan komentar-komentar terkait, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan NAPZA Kementerian Kesehatan Siti Khalimah menekankan perlu kajian lebih dalam. Tak hanya dalam konteks medis, tapi juga hukum. Sebab, selain UU Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, beberapa aturan tingkat kementerian pun masih banyak yang memasukkan ganja ke dalam daftar narkotika. Salah satunya peraturan di internal Kementerian Kesehatan.

Kata Khalimah, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto baru saja meneken Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) Nomor 22 tahun 2020 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika. “Di dalam PMK itu masih disebutkan ganja ke dalam narkotika,” kata dia saat dihubungi wartawan Tirto, Jumat.

Atas dasar itu menurutnya tak bakal ada perubahan dalam “dalam waktu sangat dekat.” “Karena harus dibuat kajian terlebih dahulu dan diskusi dengan para ahli,” katanya.

Sementara Kepala Biro Humas dan Protokol Badan Narkotika Nasional (BNN) Sulistyo Pudjo Hartono menilai ada salah persepsi tentang keputusan Komisi Narkotika PBB. “Dikeluarkan [dari Daftar IV] bukan berarti menjadi bukan narkoba, ya, tetap narkoba. Hanya dianggap narkoba yang tidak paling berbahaya,” kata Sulistyo saat dihubungi Jumat sore.

Dia juga bilang Indonesia adalah satu dari 25 negara yang menolak pencabutan ganja. “Kami golongan garis keras. Banyak negara besar yang tidak setuju,” klaimnya.

Oleh karena itu, sama seperti Khalimah, Sulistyo bilang “masih terlalu dini” jika berharap akan ada perubahan berarti.

“Kita, kan, belum tahu efeknya apa untuk negara yang tidak setuju. Negara yang setuju bagaimana? Negara enggak setuju tapi meratifikasi konvensi bagaimana? Negara-negara yang tidak setuju, apakah boleh tetap menganggap penggunaan ganja bisa dipidana atau tidak? Kalau ngomong sekarang, masih terlalu dini.”

Baca juga artikel terkait LEGALISASI GANJA atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Hukum
Reporter: Haris Prabowo & Adi Briantika
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Zakki Amali