Menuju konten utama

Rock & Roll di Negeri Kim Jong-un

Ada Moranbong, band dengan 20 personel perempuan yang semuanya dipilih langsung oleh Kim Jong-un.

Rock & Roll di Negeri Kim Jong-un
Band Moranbong. FOTO/AFP

tirto.id - Pengalaman pertama saya mendengar musik Korea Utara adalah saat bersantap di Restoran Pyongyang. Di rumah makan yang terletak di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara ini, kamu bisa menyantap raengmyeon—mie dengan kuah kaldu dingin—sembari menonton televisi yang memutar video hiburan ala Korea Utara.

Baca juga: Sekaleng Coca Cola di Pyongyang

Sore itu, yang diputar sejenis Aneka Ria Safari. Penyanyi perempuan berusia 40-an memakai hanbok merah, bernyanyi lempang dengan diiringi irama musik yang terasa monoton. Penonton menyaksikan dengan senyum datar dan bertepuk tangan ketika sang biduan selesai bernyanyi. Tayangan ini diputar berulang-ulang hingga saya bosan. Seorang teman kemudian bertanya, iseng.

"Kalau negara kita menganut sosialisme, tayangan televisi kita bakal kayak gini enggak, ya?"

Itu pertanyaan menarik. Tak bisa dimungkiri, Korea Utara jadi menarik karena kemisteriusannya. Dibanding saudara sedarahnya, Selatan, apa-apa yang berasal dari Korea Utara menyandang citra misterius, juga ketinggalan zaman. Begitu pula musiknya.

Di masa invasi kebudayaan Korea seperti sekarang—musik, film, serial—rasa-rasanya produk Utara nyaris tak terdengar. Selatan punya Psy, Rain, Girl's Generation, EXO, hingga sutradara Bong Joon-ho yang membuat Okja. Utara? Di Youtube, salah satu video yang paling viral adalah anak kecil bermain gitar dengan wajah datar.

Beberapa komentator Youtube—jenis komentator paling lucu dan sering bengis, di samping komentator Twitter dan situs berita—menganggap wajah mereka menyeramkan. Dingin dan menjemukan, seperti Pyongyang di bulan Desember.

Berbekal pertanyaan itu, saya iseng mencari kata kunci "musik Korea Utara". Saya tak pernah menyesal mengetikkan kata kunci itu.

Dari Opera Hingga Disko

Bisa dibilang Korea Utara adalah salah satu negara yang paling sering disalahpahami. Termasuk soal musik. Anggapan bahwa tak ada musik di sana kerap terlontar. Padahal pemerintah mereka, bahkan sejak Korea Utara belum resmi terbentuk, menaruh perhatian besar pada musik.

Jika merujuk pada buku Historical Dictionary of North Korea (2003), setidaknya sejak 1930-an, alias saat Korea masih dalam pendudukan Jepang, Kim Il-sung yang bergabung dengan berbagai kelompok gerilya anti Jepang, mementaskan opera berjudul Gadis Penjual Bunga. Dalam biografinya, Reminiscences: With the Century (1992), disebutkan bahwa ide opera ini dibuat oleh Il-sung saat ia masih mendekam di penjara Jilin.

"Kami mementaskan opera ini di aula Sekolah Samsong di ulang tahun ke 13 Revolusi Oktober. Opera ini kemudian lama tidak dipentaskan, kemudian diperbaiki dan diadaptasi untuk film layar lebar," tulis Il-sung di buku setebal 2100-an halaman ini.

Il-sung juga memberikan perhatian serius soal pendidikan musik dan seni. Pada 1950, Sang Pemimpin Besar yang dipercayai sebagai titisan dewa ini mendirikan Institut Musik dan Tari Pyongyang. Tujuan pendirian ini adalah memproduksi generasi pertama seniman asli Korea Utara. Pada 1 November 1953, dibentuk pula Institut Seni Pyongyang atas perintah langsung Il-sung. Tujuannya adalah, "untuk menjunjung tinggi prinsip artistik Partai dan menghasilkan generasi seniman revolusioner masa depan." Pada 1972, kedua institut ini disatukan dan menjadi Universitas Musik dan Tari Pyongyang.

Salah satu buku rujukan penting untuk mengetahui seni dan budaya Korea Utara adalah Illusive Utopia: Theater, Film, and Everyday Performance in North Korea (2010). Di buku pertama Profesor Suk-Young Kim ini, dijelaskan bagaimana seni—dari opera hingga musik—dijadikan sebagai alat propaganda, dan bagaimana musik-musik seperti itu berkelindan dengan kehidupan sehari-hari warga Korea Utara.

Salah satu alat propaganda paling populer sekarang adalah Moranbong. Grup orkestra-rock ini adalah jawaban dari Girl's Generation atau Spice Girls. Moranbong adalah kelompok musik pertama di Utara yang semua personelnya perempuan. Tidak seperti Spice Girls atau Girl's Generation yang merupakan kelompok penyanyi, Moranbong adalah band. Personelnya mencapai 20 orang, dan semua dipilih langsung oleh Pemimpin Besar generasi ketiga, Kim Jong-un.

Beruntunglah kita hidup di era internet. Di Youtube, ada lumayan banyak video tentang Moranbong. Salah satunya berjudul "Modern Music of North Korea." Di video itu, para personelnya yang berjumlah 20 orang memakai seragam militer. Di panggung berbentuk setengah lingkaran itu, selain diisi oleh personel band, juga terdapat aksesoris panggung seperti...tank. Di layar, diputar video aksi militer Korea Utara. Di depan mereka duduk para petinggi militer di meja-meja bundar. Mereka bertepuk tangan dengan birama yang sama.

Beberapa pengguna Youtube memuji kemampuan mereka. Beberapa lain mencandai. Sejumlah pengguna mengolok.

"Ini sih lebih baik dari kontes Eurovision!"

"Jujur saja, ini lebih baik ketimbang semua sampah buatan Amerika."

"Anjay, itu di atas panggung tank beneran? LoL."

"Aku merasa kasihan dengan para personelnya. Kalau mereka membuat kesalahan, esoknya mereka akan dieksekusi."

Kalau video itu masih kurang, coba tengok lagu kebangsaan Moranbong berjudul "My Country is the Best!" Musiknya instrumental, namun bergelora. Khas musik perjuangan yang berapi-api. Lengkap dengan bunyi piano yang sedikit mengingatkan pada "The Final Countdown", gesekan biola serta violin, dan, ini yang dahsyat: solo gitar panjang dengan double tapping. Sangat mungkin sang gitaris terpengaruh oleh Eddie Van Halen dan Vito Bratta.

Kelompok ini juga diniatkan sebagai salah satu alat diplomatik Korea Utara. Pada Desember 2015, band ini dijadwalkan tampil di Cina. Kalau itu terjadi, ini adalah pertama kalinya band Korea Utara manggung di luar negeri. Sayang, karena miskomunikasi antar dua instansi pemerintah, band ini gagal main di Cina.

Pekka Korhonen, profesor di bidang politik dunia dari Universitas Jyväskylä, Finlandia, menyebut kelompok ini sering dianggap sebagai musisi pop dari Utara. Ini salah, menurutnya. Dalam artikelnya, Rock Gospels: Analyzing the Artistic Style of Moranbong Band, Korhonen, menyebut Moranbong sebagai kelompok orkes militer.

"Mereka mengenakan seragam militer dan punya satu, dua, atau tiga bintang, yang membuat mereka semua adalah pejabat militer. Mulai dari kapten, letnan satu, dan letnan dua."

Meski begitu, Korhonen setuju dengan anggapan banyak pengamat musik bahwa Moranbong adalah simbol era baru. Mereka tak lagi melambangkan Pyongyang di Bulan Desember, melainkan di bulan Juni. Hangat, bersahabat, dengan sentuhan budaya pop di sana-sini. Mereka menjadi seperti wajah baru Korea Utara yang lebih terbuka terhadap modernisme.

Baca juga: Manbang, Netflix dari Pyongyang

Moranbong juga populer di kalangan masyarakat Utara. Jika mereka manggung—yang mana merupakan kesempatan langka—toko-toko akan tutup, dan jalanan akan sepi. Sama seperti saat ada pertandingan sepak bola akbar. Ketika mendengar lagu Moranbong diputar, banyak orang akan menari.

Selain Moranbong, masih ada nama-nama beken di Korea Utara. Dr. Keith Howard, dosen senior di Departemen Musik, SOAS, London, mencatat ada 3 band paling populer di Korea Utara: Pochonbo Electronic Ensemble, Mansudae Art Troup, dan Wangjaesan Light Music Band. Yang dimaksud sebagai light music ini adalah trot, gagrak musik pop tertua di Korea dengan langgam musik dansa era 1920-an. Senada dengan Howard, penulis Michael Harrold juga menyebut bahwa jenis musik yang ada di Korea Utara tak jauh dari musik untuk film, juga musik opera revolusioner, lagu rakyat, dan musik trot.

Namun tak semua musik di Korea Utara adalah tentang propaganda dan patriotisme. Di sudut-sudut tersembunyi, walau sudah jadi rahasia umum, ada kancah musik pop Barat. Salah satu tempat untuk menikmati musik Barat ini adalah hotel Changgwang San yang terletak di Pyongyang.

Baca juga: Kemewahan Menginap di Pyongyang

Infografik Kim Jong Pop

Malam Minggu, tulis Harrold, adalah malam disko. Ruangan untuk disko ini tak begitu impresif, ujar penulis Comrades and Strangers: Behind the Closed Doors of North Korea (2004) ini. Hanya berupa ruangan panjang dengan bar di ujung, sofa setengah lingkaran, dan lantai dansa kecil. Lokasinya ada di lantai paling atas hotel.

"Tempat ini adalah salah satu lokasi yang pengunjungnya tak keberatan mendengarkan musik asing. Daftar lagunya merentang dari samba ala Kuba, lagu hits Beatles, lagu joget Afrika, lagu cinta Rusia, sampai lagu disko 80-an."

Menurut Harrold, warga Utara tak ada yang boleh masuk ke tempat ini kecuali mereka punya koneksi yang amat kuat. Kalau koneksi biasa, sudah pasti tak boleh masuk. Pengunjungnya kebanyakan warga Afrika yang tinggal di sana, pelajar, juga para pekerja diplomatik dari Eropa Timur

Jelas tak banyak warga Utara yang mendapatkan kebebasan untuk mendengar musik Barat dan asing. Cerita miris pernah menimpa Jeong Seong-san. Saat berada di dinas militer, ia dipenjara karena mendengarkan siaran radio Korea Selatan. Saat akan dipindah ke penjara lain, ia berhasil kabur dan lari ke Korea Selatan.

Seong-san kemudian membuat cerita teater berjudul Yoduk Story (2006). Kisahnya berkisar tentang tahanan politik di kamp konsentrasi Yodok. Dalam wawancara dengan The Washington Post, ia mengatakan naskahnya dibuat saat mendengar kabar ayahnya dieksekusi di depan umum karena Jeong-son dianggap membocorkan kehidupan Kim Jong-il. Untuk mendapat pendanaan drama ini, Jeong-son menjaminkan ginjalnya.

Musik di Korea Utara memang seperti punya dua wajah. Di satu sisi, ada banyak sekali musisi berbakat dengan kemampuan teknik yang baik. Mereka tak melulu memainkan musik tradisional, melainkan musik pop, bahkan rock. Di Pyongyang juga ada tempat khusus untuk mendengarkan lagu barat yang dianggap tidak revolusioner. Namun di sisi lain, masih ada kisah warga yang dipenjara hanya karena mendengar siaran radio dari negara tetangga.

Baca juga artikel terkait KOREA UTARA atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Musik
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Maulida Sri Handayani