Menuju konten utama

Sekaleng Coca Cola di Pyongyang

Dari semua kisah tentang Korea Utara, kisah naengmyeon alias mi dingin, adalah yang paling menarik perhatian. Di Korea Utara, hidangan itu lebih dikenal sebagai raengmyeon.  Dari babad Dongguksesigi yang ditulis pada abad 19, naengmyeon berasal dari Korea bagian utara, seperti di Pyongyang dan Hamhung. Di Jakarta, anda bisa menyantapnya di restoran Pyongyang.

Sekaleng Coca Cola di Pyongyang
Mi Korea Naengmyeon. FOTO/SHUTTERSTOCK

tirto.id - "Kami mendarat di bandara yang berselimut halimun, membuat saya kesusahan melihat apa yang ada di luar jendela. Di antrean keluar pesawat, kami menggumam, campuran antara rasa senang dan grogi karena akan menginjak kawasan yang asing. Aku menengok menara pengawas penerbangan yang catnya pudar dan sudah bobrok, dan melihat segerombolan tentara mengenakan pakaian berwarna hijau zaitun dan memegang senapan. Ini nyata. Holy... shit... Aku ada di Korea Utara."

Pada musim panas 2014 lalu, Ryan Nee, seorang pelancong asal Amerika Serikat, mengunjungi Korea Utara untuk pertama kali. Sama seperti kebanyakan orang Amerika yang memutuskan pergi ke Korea Utara, nyaris semua kawan dan kolega bertanya: kenapa kamu harus liburan ke Korea Utara?

"Aku selalu suka pergi ke tempat-tempat aneh di dunia. Paris dan London bagus, tapi aku punya kesenangan aneh dan ganjil terhadap kawasan yang tak dilirik banyak orang: jalan-jalan di Bosnia, melintas batas di negara komunis Transdniestria yang bahkan tak dianggap sebagai negara, atau pergi ke kampung halaman Osama Bin Laden di Arab Saudi. Aku suka tempat yang terkucil, aneh, terabaikan, dan Korea Utara cocok dengan itu semua," katanya.

Maka segala persiapan dibuat. Dia menegaskan bahwa Korea Utara, tak seperti imej yang dibuat oleh media, terbuka untuk turis asing. Walau memang untuk pergi ke sana tak semudah pergi ke Paris atau London. Untuk menuju Korea Utara, wisatawan harus bergabung dengan penyedia paket tur. Yang dipilih oleh Ryan adalah biro travel bernama Young Pioneer.

Young Pioneer adalah biro travel yang sudah dibentuk sejak 2008 dan bermarkas di Cina. Spesialisasi mereka adalah tur ke Korea utara. Di situsnya, ada beberapa paket yang mereka tawarkan.

Tur Pyongyang Marathon Tour misalkan. Paket ini menawarkan wisatawan untuk ikut lomba marathon di Pyongyang, yang akan ditonton oleh 70.000 warga lokal. Harganya beragam. Mulai dari paket bujet selama 3 hari 2 malam seharga 493 euro, hingga yang paling mahal paket 10 hari 9 malam seharga 1495 euro.

Ada juga paket tur yang akan mengunjungi Rason, daerah Timur Laut Korea utara yang berbatasan dengan Rusia dan Cina. Ini adalah kawasan perdagangan bebas. Karena itu, Rason punya satu kasino (dari hanya dua kasino di seluruh Korea Utara).

Selain berjudi, atraksi lain yang ditawarkan adalah pemandangan pegunungan, pergi ke kota kelahiran Kim Jong Suk (ibu Kim Jong Il), dan tinggal di rumah warga. Hanya saja, warga Amerika Serikat dan Jepang tak diperbolehkan tinggal di rumah warga. Harga paket tur ini beragam, mulai dari 1.495 euro, hingga paket judi yang mematok harga paket 2.495 euro.

Tak usah heran kalau Korea Utara bisa dikunjungi oleh wisatawan asing, bahkan dari Amerika Serikat sekalipun. Negara ini memang sudah lebih terbuka. Sejak lebih dari 1 dekade lalu, banyak wisatawan negara-negara barat datang. Baru pada 2011, pintu masuk untuk warga Amerika Serikat dibuka.

Menurut Young Pioneer, ada sekitar 1.000 wisatawan barat yang mengunjungi Korea Utara setiap tahun. Sekitar 20 persennya adalah warga Amerika Serikat. Meski demikian, semua perjalanan di Korea Utara diatur oleh biro perjalanan milik pemerintah, KITC.

Dalam beberapa hal, bayangan tentang Korea Utara ada benarnya. Menurut Ryan, dia tak bisa menemukan akses internet. Satu-satunya akses internet yang ia temui ada di Yanggakno International Hotel, tempatnya menginap, sekaligus hotel yang selalu dijujug wisatawan asing ketika datang ke Korea utara.

Kemudian benar kalau warga Korea Utara sangat menghormati para pemimpinnya. Di Munsudae Hill, ada patung raksasa dua pemimpin besar Korea Utara, Kim Il Sung (meninggal pada 1994) dan Kim Jong Il (meninggal pada 2012). "Di negara yang terobsesi dengan pemimpinnya, bahkan menganggap mereka sebagai tuhan, dua patung ini seperti jantung spiritual Pyongyang," kata Ryan.

Yang tak benar mungkin adalah imej tentang warga Korea Utara yang dingin dan terkesan anti sosial. "Kami menerima perhatian yang tak pernah kami dapatkan sebelumnya," ujar Ryan yang sempat berjalan kaki 45 menit di pedesaan. Anak-anak kecil berteriak senang dan melambaikan tangan pada rombongan turis itu. Orang dewasanya hangat, dan sangat terbuka pada tamu. Juga banyak penasaran pada turis.

Menurut Gareth, warga Inggris pemilik Young Pioneer yang sudah 46 kali melancong ke Korea Utara, Negara itu mungkin terlihat aneh. Tapi dia menyarankan para pelancong untuk tidak melihat hanya di permukaan.

Hal mendalam itu kemudian ditemui Ryan ketika berada di Wonsan. Dia dan rombongan turis sempat bermain ke pantai dan bercanda dengan warga lokal. "Mereka warga asli Korea Utara, dan mereka sama konyol dan lucunya seperti warga negara lain. Ini adalah hal yang tak pernah aku bayangkan ada di Korea Utara. Hal ini mengejutkan," katanya.

Setelah 6 hari berada di Korea Utara, Ryan pergi ke Korea Selatan. Tentu saja suasananya jadi sangat berbeda. Korea Utara yang terkesan abu-abu, tergantikan dengan Korea Selatan yang ceria dan penuh warna. Di Korea Utara, makanan yang disajikan adalah makanan tradisional. Sedangkan di Selatan, hampir semua makanan internasional bisa ditemukan. Menurut Ryan, bahkan bahasa warga Utara dan Selatan berbeda. Seorang warga Selatan yang ditemuinya, tak tahu apa arti kata-kata dalam poster yang dimiliki Ryan. Padahal dua negara itu berbatasan.

"Paradoks memang. Korea Utara tampak seperti negara yang sepenuhnya stabil. Namun di satu sisi, seperti berada di jurang kehancuran."

Bunga Lambang Persahabatan

Kalau ada negara yang begitu mengelukan Indonesia, maka Korea Utara adalah salah satunya. Hubungan dua negara ini begitu baik, terutama ketika masih dipimpin oleh Soekarno. Pada 1965, Kim Il Sung berkunjung ke Indonesia. Dalam satu kesempatan, Soekarno mengajak Kim ke Kebun Raya Bogor.

Di sana Kim melihat anggrek genus Dendrobium dan memuji kecantikannya. Soekarno menawarkan pada Kim agar bunga itu diberi nama sepertinya. Meski awalnya ditolak, toh akhirnya bunga anggrek itu diberi nama Kimilsungia. Hingga sekarang, bunga itu begitu dipuja oleh warga Korea Utara.

"Bunga itu jadi bunga yang sangat dibanggakan. Setiap tanggal 15 April, pasti ada festival Kim Il Sung besar-besaran. Hampir semua orang Korut datang ke Pyongyang untuk lihat festival itu. Dan orang di sana mengembangkan bunga itu secara serius," kata Teguh Santosa, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Korea Utara (PPIK).

PPIK adalah lembaga yang dibentuk untuk meningkatkan kepedulian warga Indonesia tentang Korea Utara. Menurut Teguh, ada banyak kesamaan antara Indonesia dan Korea. Antara lain soal kemerdekaan. "Dua bangsa ini sama-sama lahir dari semangat melawan penjajahan," kata Teguh.

Korea sudah dikuasai oleh Jepang sejak 1910. Sedangkan Indonesia dijajah Jepang sejak 1942. Pada 1945, ketika dua bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki dan menjadi pemicu Jepang menyerah dalam Perang Dunia II, dua bangsa ini memutuskan untuk merdeka.

Sebagai orang yang berkali-kali mengunjungi Korea Utara, Teguh punya imaji tersendiri terhadap negara yang sekarang dipimpin oleh Kim Jong Un ini. Menurutnya, di bawah pimpinan Jong Un, Korea Utara lebih terbuka ketimbang dulu.

"Mereka ingin terbuka, ingin merestrukturisasi ekonomi dan politik. Tapi mereka tak ingin itu berdampak seperti perestroika yang dianggap sebagai penyebab runtuhnya Soviet. Korea Utara memilih pakai mosqoito net. Orang dalam bisa lihat ke luar, begitu juga sebaliknya. Tapi nyamuk tak bisa masuk," katanya.

Reformasi ini juga bisa dilihat secara konteks global dan juga regional. Pada 1994, selepas mangkatnya Kim Il Sung, Kim Jong Il naik tahta. Dunia terkejut. Saat itu Jong Il masih berumur 52 tahun, dan tak banyak yang tahu tentangnya.

"Dalam ilmu politik, sesuatu yang tidak bisa didefinisikan itu dianggap sebagai ancaman. Jong Il dianggap sebagai ancaman karena masih muda dan tak ada yang kenal dia," kata Teguh yang juga dosen Hubungan Internasional, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta ini.

Karena itulah negara seperti Amerika Serikat khawatir bahwa Jong Il akan menjalin hubungan dengan para fundamentalis yang akan memicu perang. Sebaliknya, Jong Il juga merasa bahwa Korea Utara selalu disudutkan dan dimusuhi. Hal ini melahirkan kebijakan yang disebut Songun. Ini adalah kebijakan yang mengutamakan militer.

Hal ini yang pelan-pelan berubah. Meski tetap menjadi negara yang hati-hati terhadap hubungan dengan negara lain, Korea Utara perlahan membuka diri dan tak lagi melulu mengutamakan pembangunan sektor militer.

"Kita tidak tahu figur Kim Jong Un ya. Postur belanja negara juga tak pernah dibuka. Tapi dari kasat mata, yang saya lihat, taman-taman lebih banyak. Pusat perbelanjaan lebih banyak. Gedung baru juga," ujar Teguh.

Korea Utara juga kian giat mengekspor komoditas unggulannya, yakni batu bara, mineral, produk metalurgi, tekstil, juga produk-produk peternakan dan pertanian.

Sebenarnya, Korea Utara punya beberapa faktor unggul agar bisa bersaing dengan negara-negara Asia lain, antara lain jumlah tenaga kerja. Berdasaran The World Fact Book yang dirilis oleh CIA, Korea Utara berada di peringkat 42 perihal jumlah tenaga kerja. Ada 14 juta pekerja di sana, lebih banyak ketimbang Australia, Taiwan, bahkan Hong Kong sekalipun.

Selain itu, sejak 2013 Korea Utara juga mulai membuka zona pengembangan ekonomi baru. Kini sudah ada 25 zona pengembangan ekonomi baru. Korea Utara yang perlahan membuka diri pada dunia luar juga diyakini bisa membawa perubahan.

Teguh juga terus mengundang orang Indonesia untuk berkunjung ke Korea Utara. "Waktu paling ideal ke sana itu terkait musim, yang bagus itu musim semi. April hingga Juni. Ada festival besar juga. Atau Agustus, karena hari pembebasan," katanya.

Beberapa kali berkunjung ke Korea Utara, Teguh turut serta membawa mahasiswanya. Mereka juga awalnya lumayan kaget karena banyak sekali perbedaan dengan Korea Selatan. Namun mereka tetap senang. Visa Korea Utara juga dianggap tak susah bagi Teguh.

"Beberapa temen saya bawa, dapat visa. Yang penting ada kejelasan. Mereka sebenarnya terbuka untuk wisatawan. Cuma memang sedikit," kata Teguh.

Rasa Korea Utara di Jakarta

Dari semua kisah tentang Korea Utara, kisah naengmyeon alias mi dingin, adalah yang paling menarik perhatian. Di Korea Utara, hidangan itu lebih dikenal sebagai raengmyeon. Sesuai namanya, raengmyeon adalah mi yang disajikan dengan kuah kaldu yang dingin. Dari babad Dongguksesigi yang ditulis pada abad 19, naengmyeon berasal dari Korea bagian utara, seperti di Pyongyang dan Hamhung.

"Bahkan orang Korea Selatan pun mengakui kalau mie dingin Korea Utara itu adalah yang asli," kata Teguh.

Tak perlu jauh-jauh ke Pyongyang atau Hamhung untuk mencicipi semangkuk raengmyeon. Di Jakarta, anda bisa menyantapnya di restoran Pyongyang. Dulu restoran ini sempat punya dua gerai, di Kelapa Gading dan di Gandaria. Namun sekarang tinggal di Kelapa Gading saja. Bisa dibilang Pyongyang adalah satu dari sedikit sekali perwakilan Korea Utara di Indonesia.

Lucunya, di sebelah Pyongyang, ada restoran Korea Selatan yang berdiri dengan lebih mentereng dan mencolok mata. Lengkap dengan segala promo dalam baliho berukuran besar. Sedangkan Pyongyang tampak lebih kalem. Hanya satu papan neon berukuran besar berwarna merah yang jadi penanda. Tapi dua restoran perwakilan dua negara yang sedang bertikai ini berdampingan dengan santai dan damai.

Para pelayan Pyongyang didatangkan langsung dari Korea Utara. Semuanya perempuan, dan semuanya juga berbahasa Inggris dan Indonesia patah-patah. Kalau bingung, mereka hanya menjawab tidak tahu, atau I don’t know.

Di dalam restoran, ada ada satu televisi layar datar yang memutarkan hiburan dari Korea Utara. Sekilas mirip Aneka Ria Safari yang populer di era 80-an. Penyanyi perempuan berusia 40-an, memakai hanbok merah, bernyanyi dengan ekspresif walau irama musiknya terasa monoton. Penonton menyaksikan dengan senyum datar dan bertepuk tangan ketika sang biduan selesai bernyanyi. Tayangan ini diputar berulang-ulang sehingga terasa membosankan.

Selagi menunggu, para pelayan menyodorkan beberapa hidangan pembuka gratis (complimentary) yang disajikan dalam mangkuk kecil. Selain kimchi sawi yang sudah populer --dan rasanya nyaris tak berbeda dengan kimchi ala Selatan, hidangan menarik lainnya adalah kimchi mangga. Mangga berusia muda yang sekal dan masam, dipotong julienne, kemudian dibalur dengan gochujang (pasta cabai merah). Menghadirkan rasa asam yang bercampur dengan pedas sedikit menyengat. Hidangan asam pedas macam ini sukses menghadirkan nafsu makan. Yang unik, ada pula kerupuk dan beberapa kerat ikan asin.

Raengmyeon disajikan dalam mangkuk besi berukuran besar. Mi-nya berukuran panjang, cerminan dari filosofi umur panjang dan kemakmuran yang mengiringi. Di atas tumpukan mi, ada beberapa helai kimchi sawi, gochujang, potongan daging, timun, dan setengah butir telur rebus.

Kuahnya segar. Kaldunya ringan. Bagi orang yang terbiasa dengan ledakan rasa yang kaya atau rasa kuat dari MSG, raengmyeon ini akan terasa hambar. Namun bagi mereka yang suka rasa alami, kaldunya bersinonim dengan kebahagiaan. Mi-nya bertekstur lebih kenyal ketimbang mi biasa. Maklum, ada campuran kentang yang membuat mie lebih liat.

Minumannya tak banyak pilihan. Yang standar adalah teh dingin Korea Utara, tak jauh berbeda dengan teh dingin yang disajikan di restoran Korea Selatan atau di restoran Jepang. Di lemari pendingin dekat kasir, ada jejeran kaleng Coca Cola.

Restoran Pyongyang memang menarik. Di sini anda bisa menyaksikan sisa-sisa peninggalan sosialisme perang dingin, tampak dari siaran televisi yang tak jauh berbeda dengan siaran TVRI zaman Soeharto. Namun, melalui jejeran kaleng Coca Cola, ini bukti kalau mereka juga tak menolak kapitalisme dan segala perwujudannya.

Baca juga artikel terkait KOREA UTARA atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti