tirto.id - Stigma sebagai "penyusup" jadi penyebab kenapa massa tanpa ampun menghabisi Rangga Cipta Nugraha dan Haringga Sirla. Sebagai seorang Bobotoh, Rangga tewas dikeroyok Jakmania di Stadion Gelora Bung Karno pada 2012, sedangkan Haringga, seorang Jakmania, meregang nyawa dibunuh Bobotoh pada Ahad lalu, 23 September, di Stadion Gelora Bandung Lautan Api.
Rivalitas beracun antara dua suporter ini membuat pihak panitia pelaksana pertandingan dan polisi enggan mengambil risiko mendudukkan Jakmania dan Bobotoh dalam satu stadion. Mereka menganggap terlalu berisiko jika para suporter Persija memaksa datang ke Bandung, ataupun sebaliknya.
Itulah mengapa jadi hal lazim bahwa hampir setiap musim sebelum pertandingan digelar, imbauan larangan "awayday" selalu digaungkan. Masalah lain saat stadion hanya didominasi satu pihak. Ini sering dibarengi dengan aksi sweeping mencari "penyusup". Imbasnya, seringkali terjadi kasus salah sasaran saat ternyata membunuh teman sendiri. Kematian yang dialami oleh Lazuardi dan Dani Maulana (Jakmania) serta Ricko Andrean (Bobotoh) adalah contohnya.
Selama perdamaian antara dua suporter ini sulit terealisasi dan keduanya tetap dilarang untuk satu stadion bersama, selama itu pula peristiwa berujung nahas sangat mungkin akan selalu muncul.
Sepakbola Indonesia sebetulnya dapat belajar dari pengelolaan di luar negeri, khususnya di Inggris. Alih-alih melarang suporter rival datang ke pertandingan tandang, demi mengurangi aksi nekat para suporter, kepolisian Inggris justru memilih melayani mereka dengan satu syarat: mereka diizinkan menonton pertandingan di bawah koordinasi pihak kepolisian.
Mereka akan dijemput, berkumpul di tempat yang sudah ditentukan, dijaga ketat saat pertandingan berlangsung, dan dikawal dalam perjalanan pulang hingga berada pada titik aman. Soal tiket pertandingan, pihak kepolisian juga akan mengurusnya.
Pada mulanya mereka akan diberikan voucher yang kemudian dapat ditukarkan tiket di tempat yang juga ditentukan oleh pihak kepolisian. Kejadian seperti ini kemudian dikenal dengan istilah “Bubble Match”. Status ini akan berlaku pada sebuah pertandingan yang dianggap berpotensi menimbulkan kerusuhan.
Tak hanya di Inggris, pengamanan serupa terjadi hampir di seluruh Eropa, termasuk negara di luar Eropa yang dikenal memiliki suporter fanatik macam di Brasil, Argentina, atau Mesir.
Dalam lingkung sosial-kultural, fanatisme sepakbola di tiga negara itu mirip-mirip seperti Indonesia. Saat derby sengit 'Super Classico' antara Boca Juniors - River Plate di Buenos Aries, 'Derby Fla-Flu' antara Flamengo vs Fluminense di Rio de Janeiro, atau 'Derby Kairo' antara Al Ahly vs Zamalek, kedua suporter yang berseteru selalu hadir di stadion mendukung klub masing-masing.
Ada beberapa keuntungan jika "Bubble Match" diterapkan di Indonesia.
Pertama, suporter dapat memenuhi hasrat untuk selalu mendukung tim kesayangannya secara langsung saat bertanding. Kedua, dengan tingkat keamanan yang lebih terjamin, kecil kemungkinan fans yang mendukung timnya saat bermain away disebut suporter "penyusup"—istilah yang mendorong aksi razia dan kekerasan. Pendeknya, sangat mungkin kasus seperti yang menimpa Rangga (Bobotoh) dan Haringga (Jakmania) bisa diminimalisir. Ketiga, identitas kedua suporter yang bisa terlihat secara kasat mata akan memudahkan penanganan polisi apabila terjadi keributan atau kerusuhan.
Antony Sutton, pria Inggris yang menerbitkan buku tentang sepakbola Indonesia berjudul Sepakbola: The Indonesian Way of Life (2017),menyebut "Bubble Match" bisa menjadi solusi, tetapi tergantung siapa yang mengelola.
"Juga tergantung keamanan di dalam dan di sekitar stadion. Lihatlah ketika PSS [Sleman] bermain di Stadion Sultan Agung (markas Persiba Bantul] baru-baru ini. Ada pendukung klub rival berdiri beberapa inci dari mereka," katanya kepada Tirto.
Belajar dari Polres Malang dan Polres Sleman
Dalam rivalitas menahun antara Persib versus Persija, konsep "Bubble Match" pernah efektif diterapkan saat keduanya berjumpa pada 2009 dan 2013. Saat itu Persija berstatus sebagai tuan rumah dan menjalani laga kandang di luar Jakarta.
Ketika Persija menjamu Persib di Stadion Gajayana, Kota Malang, pada 2009, laga ini mestinya hanya disaksikan Jakmania. Namun, sekitar 1.000-an Bobotoh yang transit di Surabaya memaksa datang ke Malang. Inilah untuk kali pertama sejak 2000 kedua suporter bisa duduk di stadion yang sama.
Enam jam sebelum laga digelar, Ketua Viking Heru Joko menyepakati permintaan Polrestabes Malang agar rombongan tak pergi ke Malang dan menggelar nobar tetap di Surabaya. Namun, Panglima Viking Ayi Beutik nekat mengajak rombongannya tetap pergi ke Malang dengan naik Kereta Api Penataran.
Untungnya, polisi di Malang cukup responsif. "Saat tiba di Stasiun Malang, polisi langsung membawa kami ke stadion dengan truk Dalmas. Di sisi lain, jalan dan akses masuk ke tribun sudah disterilkan dari Jakmania," kata Anky Rahmansyah, seorang Bobotoh yang ikut dalam rombongan itu.
Saat pertandingan berakhir, pihak panitia pelaksana pertandingan dan polisi mengunci pintu stadion, melarang Jakmania keluar dan mempersilakan Bobotoh lebih dulu untuk segera meninggalkan stadion.
Untuk mencegah kerusuhan di luar area stadion, Kapolres Malang saat itu AKBP Edy Sukaryo memilih membawa Bobotoh ke Kantor Polres Malang ketimbang kembali mengantar ke stasiun. Setelah tiga jam tertahan di kantor Polres, barulah rombongan ini dipulangkan ke Surabaya dengan bus yang disewa secara dadakan.
Kinerja apik juga dilakukan jajaran Polda Daerah Istimewa Yogyakarta dan Polres Sleman di Stadion Maguwoharjo pada 2013. Dengan cerdik polisi memaksa seluruh Jakmania memasuki stadion dan mengunci mereka di tribun timur pada pukul 13.30 padahal kick-off dimulai pukul 15.30.
Barulah, 15 menit setelah pertandingan, Bobotoh yang sebelumnya berkumpul di Stadion Tridadi Sleman dibawa menuju Maguwoharjo dengan pengawalan ketat. Pola sama juga saat proses pemulangan suporter.
Fokus pengamanan dan pengawalan suporter ini tak semata di sekitaran stadion. Polres Sleman dan Polda DIY mengatur jalur kepulangan agar keduanya tak saling bentrok dan menempuh rute sama. Jakmania diarahkan pulang lewat arah utara menuju Semarang, sedangkan Bobotoh diarahkan melalui selatan ke arah Cilacap.
"Saya kebetulan hadir di stadion. Saya saksikan aparat sukses meredam dan mengamankan laga sampai selesai. Maka, perlu kita sampaikan terima kasih," ucap Kuswara Taryono, komisaris PT Persib Bandung Bermartabat di situs resmi klub.
Belajar dari Kasus di Jakarta
Contoh dua laga di atas memang berlokasi di tempat netral, bukan Bandung atau Jakarta. Bulan Februari 2018, Ketua Jakmania Ferry Indrasjarief mengatakan memang agak sedikit sulit menerima Bobotoh di Jakarta. Namun, katanya, bukan berarti hal itu tak bisa dilakukan.
"Harus dimulai dari hal yang terkecil dengan saling tak memprovokasi," ujar Ferry. "Harus menebar virus perdamaian. Suatu saat saya yakin Jakmania akan diterima di Bandung, begitupun sebaliknya."
Kali terakhir Jakmania bisa hadir di Bandung terjadi pada 2014 saat Persija dijamu Pelita Bandung Raya di Stadion Si Jalak Harupat. Usai pertandingan, Jakmania mendapat pengawalan ketat dan diantar oleh polisi hingga Tol Cipularang.
Sedangkan bagi Bobotoh, sepanjang 2015-2016, dua kali diberi kesempatan memenuhi Stadion Gelora Bung Karno yang sering dijadikan homebase Persija.
Pada laga final Piala Presiden 2015, undangan Tito Karnavian yang saat itu Kapolda Metro jaya kepada sekitar 60 ribu Bobotoh agar datang ke Jakarta membuat polisi agak kelabakan. Bayangkan, jumlah aparat gabungan yang terlibat sekitar 31.700 personel, berasal dari Polda Metro Jaya, Polda Jawa Barat, Polda Banten, dan TNI.
Meskipun sempat terjadi pengadangan dan pelemparan oleh Jakmania, aparat dengan sigap bisa mengatasinya. Buktinya, tak ada korban jiwa pada dua kedatangan Bobotoh ke Jakarta.
Jadi, bisa dibilang, hanya sedikit pejabat polisi yang berani mengambil tindakan seperti Tito. Pada beberapa kasus, pejabat polisi enggan ribet dan melarang tim tamu untuk datang.
Biaya keamanan yang dikeluarkan panitia pelaksana pertandingan memang cukup besar. Untuk mengamankan laga Persib vs Persija, misalnya, biayanya antara Rp250 juta hingga Rp300 juta. Tetapi, mayoritas biaya ini untuk surat rekomendasi dari Kepala Satuan intel dan surat perizinan keramaian dan keamanan dari Polres terkait; bukan biaya operasional pengamanan itu sendiri.
Saat ditanya perihal kenapa polisi lebih cari aman polisi lebih cari aman dan melarang suporter tamu datang pada laga dengan risiko tinggi seperti Persib vs Persija, Persebaya vs Arema, atau PSIM Yogyakarta vs PSS Sleman, Kepala Biro Penerangan dari Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo menjawab hal itu "sudah sesuai dengan kajian" anak buahnya.
"Itu sangat tergantung analisis pertimbangan di lapangan. Dari berbagai perspektif, itu akan dikaji dan akan dinilai dan dilakukan penilaian," katanya.
Sementara menurut Sekjen Jakmania Diky Soemarno, imbauan agar suporter tak menghadiri laga kandang adalah "tindakan jalan pintas" karena polisi enggan mengambil risiko, tetapi justru yang terjadi adalah perkara di luar prediksi.
"Yang harus dibenahi adalah sistemnya. Sistem polisi, federasi, dan operator Liga harusnya bisa mengikis agar rivalitas ini tidak jadi lebih memanas," ujar Diky. "Bubble Match itu mungkin bisa jadi solusi."
"Kenapa enggak bisa? Harusnya bisa, dong," dia menambahkan.
"Ini jelas bisa mencegah. Tapi polemiknya memang soal siapa saja yang boleh hadir. Kalau Persija tandang ke Bandung, pasti banyak Jakmania yang mau hadir. Soal ini saya enggak tahu sistemnya gimana. Namun, Jakmania adalah organisasi cukup terstruktur, jadi kami bisa memilih siapa yang menonton mewakili siapa," ujar Diky, lagi.
Sebagai orang asing yang terlibat dan mengamati sepakbola nasional, Antony Sutton menilai untuk memecahkan kekerasan suporter memang membutuhkan kerja sama dari semua pihak; tak semata polisi, pemerintah, dan klub.
"Suporter juga punya tanggung jawab. Mereka tidak bisa hanya duduk dan mengatakan, 'Ini Indonesia.' Atau, 'PSSI anjing.' Merekalah yang melakukan pemukulan, pembunuhan," ujar Sutton, getun.
"Inggris membutuhkan 30 tahun untuk melawan kekerasan suporter. Pada akhirnya investasi, legislasi, dan biaya tinggi mengubah wajah permainan Liga Primer saat ini," tambah Sutton. "Tapi saya tidak yakin Inggris bisa jadi bahan perbandingan terbaik. Dinamika kekerasan suporternya berbeda dari Indonesia."
"Ada suporter-suporter yang sangat terhormat di Indonesia, yang dapat bersatu secara nasional dan menyusun program kunjungan sekolah dan lain-lain, memberi contoh perilaku yang baik tanpa terlibat kekerasan," ia menganjurkan.
"Tetapi, sekali lagi, yang dibutuhkan adalah pihak-pihak ini mesti terlibat dan berkomitmen," tegas Sutton.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Fahri Salam