tirto.id - Era digital dan media sosial membuat sepakbola Indonesia jadi sangat mengkhawatirkan. Berdasarkan data Save Our Soccer, sejak 1995, total 72 suporter meninggal dari kompetisi sepakbola Indonesia. Haringga Sirla adalah nama terbaru dalam deretan korban tersebut.
Mereka tewas dengan penyebab berbeda, dari terinjak-injak, jatuh dari kendaraan, dikeroyok massa, ditusuk benda tajam, ditembak, hingga jatuh dari tribun. Jika diurai berdasarkan lini masa, hampir 80 persen atau 58 orang tewas di antaranya terjadi pada periode 10 tahun terakhir ini.
Lebih ironis lagi, dari 58 korban itu, hampir 75 persen atau 44 kasus masuk dalam kategori pembunuhan yang disengaja. Dengan dalih membela klub kesayangan, para pelaku secara sadar menghabisi para korban yang vis a vis diposisikan sebagai musuh mereka.
Lebih dalam, tingginya angka kekerasan di kalangan suporter ini sejalan pertumbuhan pengguna media sosial selama 10 tahun terakhir.
Facebook, misalnya, data dari Nick Bucher, seorang pengamat digital, menyebut bahwa perkembangannya di Indonesia melesat selama 2008-2010. Semula 200 ribu pengguna pada Juli 2008, pemakainya naik 12.200 kali lipat menjadi 25 juta pada 2010. Saat ini, berdasarkan data Statista, pengguna Facebook mencapai 96 juta akun. Begitu juga Twitter: semula cuma 150 ribu akun pada 2019 kini mencapai 20,5 juta akun.
Maraknya penggunaan aplikasi pesan singkat-cum-medsos seperti WhatsApp, BBM, Line membuat komunikasi semakin cepat dan terjangkau. Sifat bawaan sosmed ini yang secara perlahan mengubah karakter anak muda menjadi lebih agresif.
Dalam penelitian tentang penggunaan medsos dan agresivitas remaja oleh Istiqomah (2017), ada hubungan positif antara penggunaan medsos dan tingkat agresivitas remaja. Medsos membawa pola pikir individu (neurologis) yang memengaruhi sikap dan perilaku termasuk agresivitas.
Konklusi sama didapatkan dari penelitian M.D Slater (2003) berjudul "Violent Media Content and Aggressiveness in Adolescent: a Downroad Spiral Model." Ia menyebut medsos dapat meningkatkan agresivitas pada remaja, baik verbal maupun non-verbal.
Khusus soal sepakbola, Andy Fuller, peneliti dari Asian Institute, menyebut bahwa medsos adalah nebula yang mempersulit dan melanggengkan insiden kekerasan di antara pendukung sepak bola di Indonesia.
Konten yang disebarluaskan di Twitter, Facebook, Instagram, atau YouTube sering kali mudah disebarkan ulang tanpa memberikan konteks dari peristiwa yang sedang direkam atau dikomentari.
"Kesimpulannya, medsos hanya berfungsi untuk memperkuat ide-ide dan prasangka yang sudah diyakini (kedua pihak berseteru) ketimbang menawarkan kesempatan untuk debat yang rasional... Dalam konteks sosial dan olahraga, ini hanya semakin mengobarkan ketegangan dan permusuhan," ujar Fuller kepada Tirto.
Sementara menurut Fajar Junaedi, dosen komunikasi dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, kaum muda merupakan bagian terbesar dari suporter sepakbola dan pada saat yang sama adalah bagian terbesar pengguna medsos di Indonesia.
Dampak dari konten agresivitas berupa teks dan audio-video yang berisi provokasi, seperti ujaran kebencian maupun adegan kekerasan, seringkali memicu kekerasan di dunia nyata dan dilakukan secara kolektif.
Dalam kasus kerusuhan di Stadion Gelora Bung Karno pada 24 Juni 2016, saat laga Persija vs Sriwijaya, The Jakmania menyerbu ke lapangan dan menyerang polisi. Aksi ini ditengarai sebagai dendam atas meninggalnya rekan Jakmania, Fahreza, yang tewas akibat kebrutalan polisi sebulan sebelumnya.
Bibit kekerasan kolektif terhadap polisi telah terbangun di medsos. "Mereka bersatu karena membangun satu identitas sama di dunia maya yang tumbuh dan berkembang dan berwujud dalam kekerasan," ujar Kombes Fadil Imran dari Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya kepada wartawan di Mapolda Metro Jaya, 28 Juni 2016.
Fadil menilai aksi kerusuhan itu tidak berdiri sendiri, melainkan bersama-sama dari pelbagai wilayah. Komunikasi melalui dunia maya membuat para suporter ikut terhasut melakukan aksi ricuh. "Solidaritas Jakmania tidak berdiri sendiri ... mereka intens berkomunikasi di dunia maya," ujarnya.
Dalam kasus Bobotoh melakukan aksi sweeping mengadang kedatangan Jakmania secara individu ke Bandung, akhir pekan lalu, tindakan itu dilakukan di sekitar Stasiun Bandung dan Terminal Leuwi Panjang. Mereka bergerak secara kolektif setelah terhasut foto provokasi soal kabar kedatangan Jakmania mendukung Persija di Gelora Bandung Lautan Api. Aksi ini merembet juga ke sekitar stadion.
Rekonstruksi pengeroyokan berujung kematian pada Haringga Sirla dapat ditelusuri dari pesan-pesan di medsos dan aplikasi pesan singkat tersebut, dan tak aneh pula kabar dia tewas juga pertama-tama disebar di medsos, terutama di Instagram.
Meminimalisir Provokasi Para 'Social Climber'
Sifat medsos yang virtual dan mengakomodasi anonimitas membuat tindakan agresif dan provokatif terjadi di kalangan suporter muda.
"Status anonim ini yang terkadang membuat pengguna merasa bebas melancarkan agresi. Mereka tidak sadar bahwa agresivitas mereka akan berimplikasi pada dunia nyata yang tidak lagi anonim," ucap Fajar Junaedi, yang merilis buku Merayakan Sepakbola.
Fajar berkata penyebaran informasi di era medsos berbeda dari era media massa, antara individu dan institusi media.
"Persoalan muncul di sini. Pada institusi media massa, pesan diproduksi melalui gatekeeping (penjaga gawang informasi), sedangkan pada medsos tidak lagi ada proses gatekeeping seketat di era media massa. Apalagi pada akun medsos yang dikelola individu, gatekeeping semakin tersingkir," ujar Fajar.
Fenomena baru muncul saat akun sepakbola di Indonesia ditunggangi para social climber yang ingin populer. Pelbagai cara dilakukan, salah satunya lewat memprovokasi lawan.
Kedua suporter yang populer di media sosial dari kedua kubu melakukan itu. Entah itu dari Bobotoh, The Jakmania, Bonek Persebaya, Aremania, dan sebagainya.
Menggambarkan 'Sifat Korup PSSI'
Untuk mengetahui bagaimana pandangan dari pengguna aktif medsos dari suporter sepakbola, kami mewawancarai Loka Lokita. Di Instagram, gadis asal Purwakarta ini memiliki lebih dari 171 ribu pengikut. Saat hubungan antara Bobotoh dan Jakmania mulai membaik ditandai kehadiran Ketua The Jakmania Ferry Indrasjarief ke Bandung, Loka malah mengunggah video snapgram pendek yang menghina Ferry.
"Rasis saya ya sebetulnya biasa aja, mungkin yang lebih rasis dari saya banyak, tapi karena follower saya lebih banyak, yang diincer saya," kata Loka. "Yang lebih keterlaluan dari saya banyak, tapi kenapa terus saya yang jadi sorotan," ucapnya.
Di Instagramnya, terlihat ia sering keliling Indonesia untuk mendukung Persib, termasuk saat Maung Bandung bertandang ke Arema FC dan Persija. Saat di stadion, ia sering memberi tahu aktivitas "penyusupan" dia di akun Instagram. Loka merasa tak bersalah melakukan itu.
"Menurut saya sebagai fans itu adalah hal wajar karena menonton tim sepakbola yang saya banggakan karena bisa menyusup. Apa salahnya saya upload foto di kandang rival. Ini kan hak asasi," tambahnya.
"Gimana ya pengin disebut 'Wah', gitu. Saya nonton Persib, saya nonton kebanggaan tim saya sendiri," ujar Loka.
Loka masih cukup beruntung. Nasibnya tak senahas Haringga Sirla. Meski begitu, saat menghadiri laga Persija vs Persib di Stadion Manahan, Solo, pada tahun lalu, nyawanya hampir terancam. Cadar yang ia pakai untuk penyamaran terlepas. Sebagai pemilik akun Instagram dengan ribuan pengukit, para suporter Persija mengenalinya. Alhasil, ia sempat dikejar-kejar dan menyelamatkan diri ke musala.
Sebagai seorang social media freaks dalam kondisi segenting itu, Loka masih menyempatkan diri siaran langsung di akun Instagram. Dengan terisak, ia meminta pertolongan, tak lupa cacian kotor terhadap Jakmania tetap terlontar dari mulutnya.
"Kenapa upload? Saya pikir itu video uploadan terakhir saja. Untungnya saya masih hidup," ucapnya.
Video Loka ini jadi viral di kalangan suporter. Tak hanya dicaci Jakmania, ia pun dimaki oleh Bobotoh dan Viking. "Pergi ke 'Bubble Match' sebagai suporter tamu, sudah siap dengan risikonya. Bukan sedikit-sedikit 'ngalay' di sosmed," komentar akun resmi Viking Persib Club.
Usai kematian Haringga Sirla, saat ditanya apakah ia merasa kapok, Loka dengan enteng menjawab: "Upload? Ya tetap seperti dahululah. Tapi ya harus main pakai otaklah."
Andy Fuller menyebut bahwa fenomena medsos hanyalah puncak gunung es. Pola pikir agresif, provokatif, dan kekerasan yang melekat pada suporter tak lepas dari sifat korup PSSI dan klub dan orang-orang yang mengelolanya.
"Dan dengan demikian," ujar Fuller, "perkelahian dan kekerasan sering menjadi bagian dari pelampiasan."
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Fahri Salam