tirto.id - Terdapat beragam cara yang bisa (dan pernah) dilakukan untuk mengenyahkan kekerasan dalam sepakbola. Pelarangan alkohol, peningkatan keamanan, sistem penjualan tiket, hingga yang ekstrim seperti sanksi menggelar pertandingan tanpa penonton. Namun manakah cara yang paling efektif?
Ketika perhelatan Piala Eropa 2016, pemerintah Perancis melarang penjualan minuman beralkohol di beberapa “lokasi sensitif” pada saat pertandingan digelar dan juga malam hari. Jauh sebelumnya, Italia juga pernah menerapkan peraturan saat menjadi tuan rumah Piala Dunia 1990. Hasilnya masih jauh dari memuaskan.
Sebelum dan setelah laga pembuka Grup B Piala Eropa 2016 antara Rusia dengan Inggris di Stade Velodrome Marseille, kedua suporter terlibat baku hantam hingga berdarah-darah. Sementara di Cagliari, Italia, pada Piala Dunia 1990, ratusan hooligans dari Inggris juga terlibat kerusuhan dengan polisi.
Dalam dua kasus di atas, dipastikan pihak suporter tidak mengonsumsi alkohol terlebih dahulu sebelum mereka berbuat onar.
Larangan penjualan minuman beralkohol disinyalir tidak mereduksi kekerasan dan justru malah membuat potensi keributan jadi lebih besar. Dalam beberapa kasus, larangan ini memang bekerja, tapi tidak pernah benar-benar menyelesaikan persoalan. Sebagaimana yang sempat dijelaskan oleh Geoff Pearson, dosen senior hukum pidana di Universitas Manchester, Inggris, kepada BBC pada 2016 lalu.
“Kebijakan pelarangan alkohol justru hanya akan memancing reaksi negatif para suporter. Mereka bisa marah lalu mencari alkohol di tempat lain. (Kebijakan) ini tidak berjalan baik. Saya menyarankan agar pihak Perancis mengganti botol bir dengan botol plastik. Bar-bar di Marseille sempat melakukannya, menjual bir dengan gelas plastik,” ujar Pearson, seraya menambahkan bahwa dengan begitu para suporter tidak dapat menjadikan botol bir sebagai senjata ketika bertikai.
Hal senada juga turut diungkapkan Michael Layton, penulis buku Hunting The Hooligans: The Inside Story of Operation Red Card. Bagi Layton, pelarangan alkohol mungkin membantu dalam beberapa kasus kekerasan suporter, namun jauh dari kata efektif untuk menyelesaikan akar masalahnya.
"Para penjahat yang (betulan) beringas tidak butuh bir untuk merangsang perilaku mereka, tapi yang lain memang tetap mengonsumsinya. Biasanya mereka yang ingin bergabung ke dalam kelompok suporter garis keras dan yang suka membuat keributan di belakang.”
Pada Piala Dunia 2018 yang digelar sepanjang Juni-Juli lalu, Rusia sebagai tuan rumah menganggarkan biaya amat besar untuk mengamankan pagelaran ini: 600 juta dolar.
Secara garis besar, biaya tersebut dibagi untuk pembuatan sistem keamanan Fan ID yang menggunakan teknologi face-recognition. Sebagian anggaran lainnya digunakan untuk pelatihan para aparat yang tergabung dalam divisi ‘Spetsnaz’. Divisi ini pada prinsipnya merupakan police tourism dan disebar ke 12 kota penyelenggara, tetapi dengan pendekatan amat serius yang berbasis kontra-teroris.
Pencegahan kekerasan melalui teknologi sejatinya bukan hal yang baru. Sejak 2016, tercatat Belanda, Hungaria, Skotlandia, dan Wales telah menerapkan strategi berbasis sistem biometrik di liga sepakbola mereka masing-masing untuk melacak para pembuat onar di stadion. Secara teknis, sistem biometrik tersebut juga menggunakan teknologi face-recognition hingga dapat mendeteksi lokasi keberadaan melalui GPS.
Sementara itu, ada pula beberapa cara unik di luar kelaziman yang ditempuh berbagai pihak untuk mengurangi potensi kekerasan dalam sepakbola. Seperti yang dilakukan oleh salah satu klub di Brazil, Internacional, sejak 2015 lalu: setiap suporter harus bersedia duduk bersama dengan suporter lawan ketika menonton pertandingan.
Cara yang tidak biasa ini, di luar dugaan, justru mendapatkan respons positif dari para suporter. Setidaknya demikian yang diakui oleh kepala divisi media dan pemasaran Internacional, Luiz Henrique Nunez.
“Tidak ada penolakan dari para suporter. Sebaliknya, mereka menyambut baik dan cukup antusias dengan peraturan ini. Tentunya terlalu cepat untuk menganggap bahwa cara ini dapat menghentikan kekerasan di stadion, tapi jelas dapat mengurangi dan itu permulaan yang positif. Kami melihat orang-orang juga bergerak ke arah perubahan yang lebih baik,” jelas Nunez kepada Fast Company.
Dari sekian cara yang dilakukan untuk menangani kekerasan dalam sepakbola, ada satu spektrum yang kerap kali dilewatkan: media sosial. Di ranah ini, berbagai provokasi, dari yang paling banal hingga yang jenial, terus menerus direproduksi, dan tak jarang terbawa hingga ke lapangan.
‘Schooligans’ dan Kekerasan Sepakbola di Media Sosial
Pada 20 Juni 2016, Dailystar pernah membuat laporan yang melansir tiga buah foto dari tiga orang hooligans remaja. Foto pertama menunjukkan seorang remaja suporter Millwall yang tengah menghunus pisau lipat. Foto kedua, remaja berpakaian serba hitam dengan wajah dibungkus syal Bristol Rovers yang mengacungkan pisau dapur. Foto ketiga adalah remaja yang memegang golok daging sambil mengacungkan jari tengah.
Di Inggris ada istilah menarik yang diperuntukkan bagi para hooligans remaja tersebut: schooligans. Istilah ini merujuk kepada para remaja, biasanya anak sekolahan, yang kerap memamerkan foto mereka di media sosial sambil berlagak jadi begundal tukang onar. Tentunya juga suka mencari keributan dengan mencaci maki suporter lawan di dunia maya.
Fenomena schooligans disinyalir terjadi sejak 2013 lalu dalam laga Newcastle versus Sunderland. Ketika itu, berdasarkan laporan dari kepolisian Northumbria yang dilansir Mirror, terdapat seorang hooligans di Newcastle yang masih berusia 12 tahun. Ia kedapatan melempark petasan besar dan mengamuk ke arah suporter Sunderland.
Amanda Jacks, seorang aktivis dari Football Supporters Federation, mengatakan bahwa sudah semestinya tiap remaja dilarang ikut terlibat dalam kekerasan di sepakbola sebelum terkena hukum pidana. Dia juga menyebut fenomena schooligans ini merupakan bentuk dari kesalahkaprahan para remaja dalam memahami dukungan terhadap tim sepakbola.
“Tidak diragukan lagi, semua ini terjadi karena adanya sesuatu yang dilebih-lebihkan terkait hal negatif dalam sepakbola. Para remaja ini kemudian mengikutinya,” ujar Amanda.
Sejak 2013, pihak Crown Prosecution Service (CPS), sebuah lembaga hukum bentukan pemerintah Inggris, telah menerapkan peraturan ketat untuk menindaklanjuti kekerasan dalam sepakbola yang terjadi di media sosial. Mereka juga bekerja sama dengan pihak kepolisian, Football Association (FA), serta Professional Footballers Association (PFA). Hukuman yang diberikan adalah larangan ke stadion selama tiga tahun.
Nick Hawkins, salah satu pengacara di CPS, sempat menjelaskan hal ini kepada The Guardian.
“Panduan hukum kami sesuai dengan kebijakan tiap media sosial mengenai pelecehan dan serangan di dunia maya. Saya senang bahwa hal ini juga didukung penuh oleh FA dan PFA. Kami akan menindak keras mereka yang melakukan pelecehan, rasialisme, homofobik, dan sikap diskriminatif lainnya,” ungkap Hawkins.
Dalam konteks sepakbola Inggris, kekerasan di ranah media sosial memang sudah berada di fase yang cukup mengkhawatirkan. Berdasarkan riset dari kolektif anti-diskriminasi dalam sepakbola yang menamakan diri mereka Kick It Out, pada Agustus 2014 ditemukan 134.400 bentuk kekerasan di media sosial seperti Twitter dan Facebook, serta forum daring mengenai sepakbola.
Jenis kekerasan terbanyak merupakan serangan rasialis kepada pemain-pemain berkulit hitam. Mario Balotelli menerima serangan paling sering, yakni lebih dari 8.000 kali. Diikuti Danny Wellbeck sebanyak 1.700 kali, kebanyakan serangan terkait kepindahannya dari Manchester United ke Arsenal. Lalu ada serangan kepada Daniel Sturridge yang menyentuh angka 1.600 kali, kebanyakan menyasar warna kulit dan orientasi seksualnya.
Riset yang dilakukan Kick It Out bersama grup agensi bernama Tempero, serta Brandwatch, sebuah perusahaan penyedia data analitik media sosial tersebut juga menyebutkan bahwa 88% kekerasan sepakbola terjadi Twitter, 8% di Facebook, 3% di forum suporter, lalu 1% di berbagai blog.
Adapun lima klub yang paling sering diserang adalah Chelsea dengan jumlah serangan lebih dari 20.000 kali, Liverpool 19.000 kali, Arsenal 12.000 kali, serta duo Manchester (United dan City) sama-sama mendapat serangan sebanyak 11.000 kali.
Roisin Wood, selaku CEO dari Kick It Out, mengatakan bahwa pihaknya sudah melapor ke polisi terkait kekerasan yang terjadi. Namun kinerja kepolisian dalam mengurus berbagai kasus tersebut masih jauh panggang dari api. Dari 113 kasus serangan pada musim 2014-2015 yang dilaporkan Kick It Out, hanya 31 yang ditangani polisi. Sembilan kasus selesai dengan penangkapan, satu kasus berlanjut ke pengadilan, sementara kasus lain masih tak jelas juntrungannya.
"Jumlah kekerasan ini amat tinggi. Banyak sekali yang bertindak mengerikan dan sesuatu sudah harus dilakukan. Kami benar-benar frustrasi dengan tanggapan dari pihak polisi, tetapi kami juga memahami bahwa mereka memang tidak dapat menyelidiki semuanya. Untuk itulah kami kemudian mengundang badan dan otoritas yang relevan untuk bekerja sama menemukan cara mengatasinya,” demikian ungkap Wood seperti dilansir Guardian.
Dick Costolo, CEO Twitter sejak 2010-2015, sempat mengakui bahwa pihaknya memang bekerja amat buruk dalam memberantas kekerasan virtual di platform mereka.
"Kami amat payah ketika berurusan dengan pelecehan dan troll di platform kami selama bertahun-tahun. Ini bukan rahasia lagi, seluruh dunia sudah membicarakannya setiap hari. Kami kehilangan pengguna dalam jumlah yang besar setiap hari karena kami tidak becus menangani persoalan ini," tulis Costolo dalam sebuah memo singkat kepada The Verge Februari 2015 lalu.
Sementara itu, salah seorang juru bicara Twitter juga sempat menjelaskan kepada The Guardian terkait hal tersebut.
“Setiap bentuk pelecehan jelas melanggar aturan kami. Baru-baru ini kami membuat sebuah fitur yang memudahkan orang untuk melaporkan mereka yang melakukan pelanggaran serta menambah jumlah tim dalam menangani hal ini. Masih banyak lagi yang kami harus dilakukan, dan industri secara keseluruhan. Tetapi kami bekerja sangat keras untuk menghentikan itu semua.”
Media sosial memang merupakan wadah yang paling sering digunakan oleh para pecinta sepakbola untuk saling melontarkan ejekan--atau dalam kosakata Inggris “Banter”--kepada pihak lawan. Di satu sisi, hal tersebut menjadi semacam “hiburan yang diperlukan” agar sepakbola jadi lebih menyenangkan. Namun tidak sedikit orang yang menjadikan sikap saling mengolok itu justru sebagai bahan bakar untuk berperang, bahkan membunuh, suporter musuh di lapangan.
Jika sudah begini, bagaimana cara mengenyahkan kekerasan dalam sepakbola?
Editor: Nuran Wibisono