Menuju konten utama

Sihir Anfield dan Kenyataan Sehari-hari Stadion di Inggris

Atmosfer di stadion Anfield Rabu malam kemarin dianggap memiliki andil besar dalam kemenangan Liverpool atas Manchester City. Apakah sihir Anfield benar adanya?

Sihir Anfield dan Kenyataan Sehari-hari Stadion di Inggris
Ilustrasi Anfield. Reuters/Carl Recine

tirto.id - “Tunggu sampai kau melihatnya sendiri malam ini.”

Demikian Alex-Oblade Chamberlain menirukan ucapan kapten tim Jordan Henderson beberapa saat sebelum pertandingan babak perempat final Liga Champions antara Liverpool versus Manchester City Rabu (4/4/2018).

Henderson tengah merujuk pada sambutan luar biasa yang akan dilakukan oleh para suporter Liverpool di Anfield. Maklum, Chamberlain baru tujuh bulan berkostum Liverpool setelah pindah dari Arsenal 31 Agustus lalu dan belum pernah merasakan bagaimana atmosfer stadion Anfield di babak “knock-out” Liga Champions.

Benar saja, suasana sudah terasa berbeda bahkan saat masih di luar stadion. Para suporter Liverpool berjajar di sepanjang jalan menyambut bus yang mengangkut para pemain kesayangan mereka seperti ditunjukan video yang diunggah James Miler ini.

Mataku sampai berkaca-kaca,” ujar Roberto Firmino saat menyaksikan sambutan itu. “Saya sangat tersentuh sekali. Ini semakin menambah energi kami untuk berjuang di lapangan dan memenangkan pertandingan.”

Di laga krusial itu, para pemain Liverpool memang tampil beringas saat menghancurkan The Citizen 3-0. Firmino menyumbang satu assist yang berbuah gol di menit ke-12 oleh Mohamed Salah, sementara Chamberlain mencetak gol tambahan dari jarak sekitar 23 meter delapan menit kemudian. Empat belas menit menjelang turun minum, Sadio Mane melengkapi kemenangan The Reds lewat sundulan hasil umpan crossing Mo Salah. Sepanjang laga, City hanya bisa melakukan satu kali tendangan ke gawang.

Tidak mengherankan jika penampilan apik para pemain Liverpool dan taktik jitu Jurgen Klopp mendapat kredit besar. Namun bagi Chamberlain ada elemen lain yang membantu Liverpool tampil maksimal Rabu malam itu: atmosfer stadion Anfield.

"Sangat luar biasa. Itu atmosfer terbaik yang pernah saya alami sepanjang karier saya bermain bola,” tutur Chamberlain seusai laga. “City merupakan tim hebat. Tapi mereka juga manusia. Mungkin atmosfer dan iklim yang menekan seperti itu membuat mereka jadi tak nyaman.”

Sihir Anfield Hanya Mitos?

Stadion Anfield memang terkenal angker dari dulu. Atmosfer yang diciptakan para supporter Liverpool itu tak jarang membuat bulu kuduk tim tandang berdiri. Johan Cruyff adalah salah satunya dan ia ingat betul tentang itu.

“Aku berdiri di atas lapangan Anfield dengan bulu kuduk berdiri. Bukan karena aku takut kepada lawan kami, namun lantaran atmosfer di stadion. Tribun Kop berdiri megah tempat para suporter Liverpool paling fanatik berada. Dan nyanyian-nyanyian mereka: Anfield sangat luar biasa,” tulisnya di My Turn: The Autobiography (2016)

Laga putaran dua Liga Eropa yang berakhir imbang 2-2 itu, bersama pertandingan di leg pertama yang dimenangi Ajax 4-0, dianggap sebagai awal era keemasan Ajax. Kemenangan Ajax atas Liverpool besutan Bill Shankly, salah satu tim terkuat saat itu, dirasakan Cruyff sangat membahagiakan. Dan kebahagiaan itu, catatnya, “hanya tertandingi oleh kesan mendalam yang aku rasakan saat bermain di stadion Anfield.”

Namun, pengalaman seperti yang dirasakan Cruyff atau Chamberlain Rabu lalu merupakan pemandangan yang langka dewasa ini. Bahkan reputasi Anfield sering dipertanyakan, dan itu bahkan diucapkan oleh Klopp sendiri.

Tahun lalu, misalnya, saat Liverpool menjamu Swansea dan kalah 2-3, Jurgen Klopp pernah mengeluh tentang atmosfer di Anfield yang “sangat, sangat, sepi.” Begitu pula ketika para suporter mulai meninggalkan stadion saat Liverpool menelan kekalahan dari Crystal Palace di kandang sendiri pada November 2015, Klopp mengaku “merasa sendirian.”

Infografik This is Anfield

Turisme Sepakbola

Namun, soal atensi penonton yang terasa apatis ini, Klopp tidak sendirian. Keluhan-keluhan tentang dukungan suporter yang lesu banyak diutarakan pula oleh pelatih-pelatih Liga Inggris lainnya. Keluhan terbaru datang dari Jose Mourinho usai timnya menang 2-0 atas Huddersfield di Old Trafford 3 Februari kemarin. Pelatih asal Portugal itu mengkritik supporter MU yang dianggapnya terlalu senyap dan “kurang antusias”.

Menurut Joey Barton, seperti yang dituturkannya kepada Talksport, fenomena demikian terjadi karena maraknya pembangunan stadion baru berkapasitas besar dan turisme sepakbola. Menurutnya, banyak yang datang ke stadion sekarang karena itu bukan lagi hanya suporter atau fanatik melainkan juga mereka yang pernah disebut Roy Keane sebagai pasukan sandwich udang (prawn sandwich brigade).

Istilah ini merujuk kepada mereka yang datang ke stadion hanya untuk menikmati luxury box, akan tetapi tak mengerti atau peduli pada sepakbola. Karena itu wajar jika banyak tim yang merasa mereka tidak mendapat dukungan dari suporternya saat bermain di kandang.

Di Etihad, terang Burton, tak ada atmosfer yang luar biasa. Sementara Emirates lebih seperti berada di perpustakaan. Anfield pun bukan pengecualian.

“Fans Liverpool bernyanyi 'You’ll Never Walk Alone' saat laga dimulai. Namun, sudah itu saja,” ujar Barton. “Kecuali kalau ada gol tercipta atau itu salah satu laga Liga Champions.”

Seperti Rabu malam kemarin.

Pada hari-hari yang lain, stadion-stadion di Inggris lebih sering "biasa-biasa saja" jika dibandingkan dengan (misalnya) yang terjadi di Turki. Gambaran tentang suar yang menyala di mana-mana, asap yang mengepul di mana-mana, atau jalan yang dikepung suporter -- seperti tergambar dalam banyak potongan video dari laga Liverpool vs City -- adalah pemandangan yang sudah jarang terlihat secara rutin di setiap akhir pekan sepakbola Liga Primer Inggris.

Turisme yang disebut sebagai "pasukan sandwich udang" oleh Barton adalah gejala (hiper)industri sepakbola di negara-negara maju Eropa. Salah satu pendekatan dalam atmosfir demikian adalah stadion menjadi penuh larangan, begitu ketat dikendalikan oleh petugas, yang tergambar dari deretan orang-orang berbaju hijau-kuning, dan CCTV yang terpacak di setiap sudut.

"Pasukan sandwich udang" adalah gambaran tentang fans yang, kendati pun fanatik, namun lebih sering berasal dari luar kota atau bahkan dari luar negeri. Mereka mulai menggerus para suporter lokal yang sudah memenuhi stadion selama lebih dari tiga generasi. Merekalah yang kerap tampak di layar kaca selalu siap dengan gadget di baris-baris bangku stadion.

Tidak heran jika kedahsyatan dukungan suporter kerap kali tampak justru ketika tim kesayangan mereka sedang berlaga tandang. Dalam sebuah laga tandang, kuota suporter tamu selalu lebih sedikit, dan yang sedikit itu hampir pasti diisi oleh suporter Liverpool/Manchester United yang memang berasal dari Liverpool/Manchester, bukan dari Mumbai, Bangkok, Kualalumpur, Ghuangzhou, Tokyo, Singapura atau Jakarta.

Pernah melihat potongan video yang memperlihatkan sekelompok suporter Liverpool atau Manchester United atau klub-klub yang lain tetap lantang bernyanyi di stadion yang sudah sepi walau tim kesayangan kalah di kandang lawan? Nah, mereka itulah....

Baca juga artikel terkait LIVERPOOL atau tulisan lainnya dari Bulky Rangga Permana

tirto.id - Olahraga
Reporter: Bulky Rangga Permana
Penulis: Bulky Rangga Permana
Editor: Zen RS