Menuju konten utama

Aspek Bisnis Mengorbankan Prestasi Arsenal?

Sejak beberapa tahun terakhir suara-suara para pendukung The Gunners nyaring terdengar meminta Arsene Wenger mundur.

Aspek Bisnis Mengorbankan Prestasi Arsenal?
Emirates Stadium. REUTERS/Paul Childs

tirto.id - Stadion Emirates tampak kosong saat Arsenal menjamu Watford dalam lanjutan Liga Premier Inggris pekan ke-30 Minggu (3/11/2018), meski pernyataan resmi menyebut penonton yang hadir sore itu sekitar 59,131 ribu (kapasitas maksimal mencapai 59.867 penonton).

Banyak pendukung Watford yang hadir di Emirates mencemooh. Mereka menyebut kandang Arsenal tersebut “kurang atmosfer”, “lapangan terlalu besar”, “lapangan hanya untuk turis”.

Arsene Wenger mengaku khawatir dengan sikap acuh yang ditunjukkan suporter Arsenal dengan tidak datang ke stadion. Ia berkata akan berusaha untuk mendapatkan kembali kepercayaan suporter.

“Ya, tentu saja saya cemas,” kata pelatih asal Perancis itu. “Karena saya ingin fans kami mendukung tim dan merasa senang. Namun, setelah apa yang terjadi minggu itu, saya cukup mengerti. Kami harus mendapatkan kepercayaan fans kami, dan berupaya mencapainya dengan segala cara.”

Arsenal mengalami tiga kali kekalahan beruntun sejak akhir Feburari lalu—3-0 saat berhadapan dengan Manchester City di final Piala Carabao dan lanjutan Liga Premier dan 2-1 saat bertandang ke Brighton.

Wenger menambahkan ia optimistis bisa melakukan perbaikan berkat hasil positif di dua laga terakhir saat menang 2-0 di San Siro kamis lalu (8/3) dan 3-0 saat menjamu Watford.

"Banyak sekali atmosfer negatif. Itu seperti hujan di Inggris, sering sekali terjadi. Saya tidak tahu seberapa besar atfmosfer negatif di luar sana, saya hanya fokus pada pekerjaan saya. Saya rasa 22 tahun sudah menunjukkan bahwa saya bisa melakukan itu,” ujarnya.

Sikap Anti-Wenger

Protes yang dilakukan supporter Arsenal tidak terjadi sekali ini saja. Setidaknya sudah dalam beberapa tahun ke belakang suara-suara para pendukung The Gunners nyaring terdengar meminta Arsene Wenger mundur, terutama sepanjang 2017. Beberapa kali fans Arsenal melakukan aksi protes.

Misalnya pada babak 16 besar setahun silam, terdengar nyanyian-nyanyian “We Want Wenger Out” di Allianz Arena saat Arsenal takluk 5-1 kepada Bayern Munchen. “Enough is enough. Time to go,” bunyi salah satu spanduk yang dibawa salah satu pendukung Arsenal.

Menurut Tim Stillman dalam tulisan berjudul "Arsenal Fans Are No Longer Fighting – Hardcore All Want Arsène Wenger to Go" di The Guardian, sikap anti-Wenger para suporter Arsenal ini dalam batas-batas tertentu diakibatkan ulah klub sendiri. Tim menulis:

“Enam tahun lalu Ivan Gazidis, kepala eksekutif [Arsenal), berkata di hadapan publik bahwa Wenger bertanggung jawab kepada fans, bukan kepada dewan pengurus. Hal itu mungkin karena keceletot lidah, namun dengan cepat hal itu menjadi tantangan kepada suporter dengan berkata jika mereka ingin pelatih pergi, mereka harus menekan dia [Wenger] sendiri. Jika Wenger tidak menandatangani kontrak baru, itu bukan karena dia tidak bisa bekerja lagi, akan tetapi karena dia tidak kuat lagi menahan tekanan, yang ada gilirannya itu akan membuat suporter menambah tekanannya.”

Protes-protes ini tentu saja awalnya dilatari prestasi Arsenal yang tak pernah lagi meraih trofi utama. Meski dalam empat tahun terakhir Arsenal memenangi tiga piala FA, akan tetapi di tataran Liga Premier sejak 2003/04 Arsenal tak pernah lagi merasakan juara.

Lebih parah, Arsenal yang tak pernah absen di Liga Champions sejak musim 1998/99 justru mengalami itu pada musim 2016/17. Mereka terdampar di Liga Eropa karena hanya menduduki peringkat ke-5 di klasemen akhir Liga Premier.

Arsenal seperti tidak memiliki ambisi meraih trofi dan hanya puas berada di papan atas klasemen, asalkan lolos Liga Champions. Kritikan-kritikan ini muncul karena filosofi yang diterapkan sang pelatih dalam hal bursa transfer. Wenger lebih memilih untuk mengembangkan bakat pemain muda daripada mengeluarkan dana besar untuk membeli pemain.

“Visi saya adalah untuk terus menghasilkan mayoritas pemain dari dalam klub. Saya ingin membeli pemain-pemain yang dapat membawa kualitas papan atas dari luar, namun saya rasa target kami adalah menghasilkan pemain yang bisa menyatu dalam gaya permainan kami,” terangnya seperti dilansir Telegraph.

Kebijakan itu memang mulai berubah beberapa musim terakhir. Setelah utang untuk membangun Emirates lunas, Wenger mulai mendatangkan pemain-pemain top berharga lumayan mahal. Dari Mesut Özil, Alexis Sanchez. Namun mode baru transfer itu dinilai masih setengah-setengah karena tidak berdampak maksimal.

Protes Fans dan Bisnis Arsenal

Apa yang diterapkan Wenger di bursa transfer tentu saja didukung penuh oleh pengurus klub. Sebabnya, dengan kebijakan transfer yang tak jor-joran, keuangan klub menjadi sehat.

Arsenal merupakan salah satu klub tersukses di dunia. Majalah Forbes menyebut Arsenal berada di urutan ke-6 dalam daftar klub paling bernilai dengan nilai 1.93 milyar dolar pada 2017.

Hal senada diungkapkan Oliver Seitz, Direktur Akademis program Master in Football Business in partnership with FC Barcelona di Johan Cruyff Institutte. Dalam tulisannya yang berjudul How Arsenal's crisis explains the Football Business, ia mengatakan bahwa Arsenal merupakan salah satu klub sepakbola yang paling baik pengelolaannya. Terakhir kali Arsenal mengalami defisit adalah pada 2002 dan setelahnya selalu meraup keuntungan.

Infografik the gunners

Kondisi keuangan klub yang kinclong ini menjadi salah satu alasan kenapa Gazidis seperti menyerahkan nasib Wenger kepada suporter. Namun, model bisnis seperti inilah yang juga menjadi sasaran protes para suporter Arsenal.

“Jika sebuah tujuan sebuah klub adalah untuk memenangi pertandingan, klub itu harus menghabiskan setiap sen yang mereka dapat (bahkan sampai meminjam). Jadi apa yang dikejar klub, keuntungan atau kemenangan?” tulis Simon Kuper dalam Stefan Szymanski (Soccernomics, 2014:68).

Oliver Sietz menunjukkan bahwa bahwa bisnis sepakbola berbeda dengan bisnis konvensional. Dalam bisnis sepakbola laporan keuangan yang bagus tak serta merta menjadi ukuran keberhasilan sebuah klub dan akan menjadi tak berarti jika tak ditunjang keberhasilan di lapangan.

“Di mata para suporter Arsenal, klub mereka adalah mesin penghasil uang yang mengorbankan penampilan [di lapangan] untuk memaksimalkan keuntungan yang masuk ke kantong para pemegang saham,” tulis Oliver Sietz.

Baca juga artikel terkait ARSENAL atau tulisan lainnya dari Bulky Rangga Permana

tirto.id - Olahraga
Reporter: Bulky Rangga Permana
Penulis: Bulky Rangga Permana
Editor: Zen RS