Menuju konten utama

RI Punya Harta Karun 400 Giga Ton untuk Tekan Emisi, Apa Itu?

Indonesia memiliki 400 giga ton reservoir dari migas dan saline aquifer yang dapat dimanfaatkan untuk mengurangi emisi di sektor migas.

RI Punya Harta Karun 400 Giga Ton untuk Tekan Emisi, Apa Itu?
Area pemukiman di sekitar PLTU Suralaya (3/6/2021). Warga Suralaya, Cilegon, Banten mengalami berbagai masalah kesehatan dan kegagalan panen akibat polusi udara dan debu batubara yang dihasilkan oleh PLTU Suralaya. (tirto/Bhagavad Sambadha)

tirto.id - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, Indonesia memiliki 400 giga ton reservoir dari migas dan saline aquifer yang dapat dimanfaatkan untuk mengurangi emisi di sektor migas. Dia juga menyebut penerapan Carbon Capture Storage (CCS) menjadi strategi penting dalam jangka pendek untuk mengurangi emisi di sektor migas.

"Berdasarkan sejumlah studi, Indonesia punya potensi besar kapasitas penyimpanan CO2 antara 10 hingga 400 giga ton di reservoir migas dan saline aquifer," katanya dikutip Antara, Jakarta, Senin (24/7/2023).

Pengembangan metode CCS dengan berverifikasi dan validasi dapat disiapkan lewat proyek percontohan atau pilot project. Hal itu sebagaimana dilakukan dalam pengembangan mangrove di Kalimantan Utara, di mana pemerintah membangun pilot proyek blue carbon yang bisa memproduksi 59,6 juta ton untuk bisa dikreditkan.

“Ya itu paling tidak 400 giga ton yang kita ketahui sekarang. Angka itu bisa sekali lebih karena kita ini, menurut saya, (berada di) ring of fire,” kata Luhut.

Dengan potensi tersebut, Luhut menyebut Indonesia memainkan peranan besar dalam perdagangan karbon dunia karena menjadi salah satu negara yang mampu menampung CO2. Ia bahkan menyebut potensi nilai perdagangan karbon di Indonesia mencapai hingga 15 miliar dolar AS per ton.

Mantan Menko Polhukam itu pun akan segera melakukan penataan dan penertiban hutan, mangrove, lahan gambut hingga depleted reservoir (reservoir migas yang telah habis) dan saline aquifer untuk menyambut diluncurkannya bursa karbon pada September mendatang.

"Semua akan kita tertibkan dan semua kita digitalkan, dengan digitalisasi ini saya pikir akan bisa membuat negara kita lebih efisien lagi," katanya.

Luhut menjelaskan, berdasarkan studi, depleted reservoir atau reservoir migas yang telah habis dan saline aquifer merupakan tempat yang paling cocok untuk diinjeksi karbon dioksida atau CO2 dalam teknologi carbon capture and storage (CCS/penangkapan dan penyimpanan karbon) untuk mengurangi emisi.

Reservoir migas yang telah habis dinilai jadi kandidat penyimpanan karbon yang efektif karena kapasitas ruang penyimpanan yang sudah terbukti serta kondisinya yang di bawah permukaan.

"Saya baru tau 3 bulan lalu di AS. Jadi, mereka dari hasil studinya mereka, hutan mangrove, peatland (gambut), segala macam itu tidak akan bisa zero emission itu. Yang bisa itu depleted reservoir dan saline aquifer karena itu bisa di-inject banyak CO2 ke dalamnya. Pilot project sudah dibikin dengan Chevron dengan BP," kata Luhut.

Indonesia berkomitmen untuk menurunkan jumlah emisi karbon sektor energi sebesar 358 juta ton CO2e pada 2030 melalui penerapan efisiensi energi, peningkatan pemanfaatan energi baru terbarukan, penerapan teknologi energi bersih untuk pembangkit listrik, penggunaan bahan bakar rendah karbon, dan reklamasi pasca tambang.

Komitmen Indonesia untuk mencapai net zero emission 2060 merupakan sebagian dari transformasi yang diperlukan dalam upaya menjadi negara maju di 2045.

Upaya tersebut meliputi diversifikasi ekonomi dari konsentrasi sumber daya alam, pembangunan ekonomi di seluruh wilayah Indonesia yang didorong oleh pengetahuan, teknologi, inovasi serta memanfaatkan keunggulan kompetitif pada berbagai rantai nilai energi bersih.

Baca juga artikel terkait EMISI KARBON

tirto.id - Ekonomi
Sumber: Antara
Editor: Anggun P Situmorang