tirto.id - Kapal USS Perch, USS Pope, dan USS Houston punya makna penting bagi Amerika Serikat (AS). Ketiganya adalah kapal yang berperan saat Perang Dunia II. Kapal-kapal ini tenggelam bersama para awaknya. Statusnya mirip "taman makam pahlawan" sebagai tempat bersemayam orang-orang yang dianggap berjasa bagi negara.
USS Houston yang tenggelam pada tengah malam pada 1 Maret 1942 di Selat Sunda misalnya, tenggelam bersama 300-an pelaut dan Marinir AS.
Namun, sindikat penjarah kapal perang jaringan internasional membuyarkan tempat keramat tersebut. Bangkai kapal USS Pope tinggal tersisa 20 persen.
Sementara itu, USS Houston tinggal 80 persen. Bahkan USS Perch, berjenis kapal selam, sudah tidak ada sama sekali. Logam yang berasal dari kapal-kapal itu mungkin kini telah didaur ulang. Mungkin sudah jadi komoditas yang entah ada di mana.
Penjarahan ini terjadi di teritori Indonesia. Investigasi Tirto sepanjang tiga bulan menemukan penjarahan terjadi dalam kurun waktu 2014-2016, dan dimungkinkan karena adanya penyalahgunaan wewenang otoritas lokal, dalam hal ini Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Dirjen Hubla).
Dalam penjarahan itu tidak hanya bangkai kapal saja yang diangkut—secara tidak sengaja—juga tengkorak-tengkorak orang-orang yang terkubur bersama kapal.
Ujung dari penjarahan ini adalah Fujian Jiada, pemasok grab dregder ke perusahaan salvage di Malaysia dan Indonesia asal Cina.
Selain kapal AS yang tenggelam di Indonesia, ada kapal Belanda dan Inggris yang bernasib serupa. Pemerintah negara tersebut sudah mengeluarkan pernyataan resmi dengan nada keras. Andre Bosman, salah seorang anggota parlemen Belanda misalnya, mengatakan bahwa publik Belanda "marah" karena kapal-kapal mereka dicuri sindikat.
Bedanya, AS lebih datar dalam berkomentar. Tirto menghubungi Kedutaan Besar AS untuk Indonesia untuk dimintai tanggapan. Salah satu pertanyaan kami adalah langkah apa yang akan diambil atas kejahatan penjarahan kapal tersebut dan kemungkinan untuk menempuh jalur hukum.
Juru Bicara Kedubes AS Rakesh Surampudi tidak menjawab poin tersebut. Ia hanya mengatakan bahwa pihaknya akan tetap berkomitmen untuk "bekerja sama dengan pemerintah Indonesia untuk menangani perlindungan kapal-kapal perang AS yang tenggelam di perairan Indonesia."
Rakesh Surampudi melalui pesan elektronik mengaku "prihatin" atas laporan penjarahan kapal. Pemerintah Indonesia, katanya, menyadari hal itu dan berupaya untuk mendaftar seluruh bangkai kapal AS plus koordinatnya yang diduga ada di perairan Indonesia.
Meski demikian posisi AS terhadap bangkai kapal sama seperti Inggris atau Belanda, yaitu bahwa kapal perang adalah tempat yang harus dihormati. Rakesh mengatakan bahwa kapal perang yang tenggelam "harus tetap menjadi tempat peringatan bagi keluarga pelaut dan militer yang gugur dalam perang."
Negara-negara yang bangkai kapal bersejarahnya dicuri di perairan Indonesia memang sudah berkonsolidasi dengan pemerintah. Februari tahun lalu rapat pertama digelar di Jakarta dengan mengundang perwakilan pemerintah Belanda. Disusul Australia, Inggris, dan AS. Semua berada di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman.
Menko Bidang Maritim Luhut Binsar Panjaitan pada 9 Januari lalu mengaku belum melakukan inventaris terhadap bangkai kapal bersejarah. Ia hanya berjanji bahwa pengawasan terhadap kapal seperti ini di Indonesia akan dilakukan lebih intensif demi mengantisipasi kejadian serupa terulang.
"Kalau memang sudah diketahui titik-titiknya, pastilah akan ada patroli. Artinya, ada pengawasan... Jadi kami akan lihat, karena sudah ditentukan titiknya," kata Luhut kepada Tirto.
Belum ada pernyataan lebih lanjut selain dari Juru Bicara Kedubes AS, termasuk dari Menteri Pertahanan AS, James Mattis, yang berkunjung ke Indonesia beberapa hari lalu. Hal ini diinformasikan oleh Menteri Pertahanan Indonesia Ryamizard Ryacudu. Ryamizard mengaku tidak ada pembicaraan apapun soal penjarahan kapal ketika bertemu Mattis di Kantor Kementerian Pertahanan, pada 23 Januari lalu.
Mattis hanya mengetengahkan betapa pentingnya peran Indonesia dalam mengelola keamanan perairan di kawasan Pasifik.
"Wilayah maritim Indonesia di Pasifik sangat vital. Kami akan membantu Indonesia mengelola kedaulatan hak atas laut itu, di Laut Cina Selatan dan Laut Natuna Utara. Kami merencanakan bantuan itu dalam waktu dekat, kita harus bekerja sama," kata Mattis.
Mengapa AS Tak Bereaksi Keras?
Kesan pemerintah AS kurang serius menyikapi persoalan ini juga terjadi di Inggris, yang tujuh kapal bersejarahnya dijarah di Indonesia. Hal ini dikatakan Philip Weir, sejarawan yang bekerja untuk Parlemen Inggris di All Party Parliamentary Group on War Heritage.
"Untuk saat ini publik Inggris bisa dibilang membisu," katanya kepada Tirto melalui e-mail.
Selain publik, media di Inggris juga tidak terlalu mengekspos masalah ini. Beda dengan media Belanda, De Telegraaf, yang beberapa kali memberitakan soal ini lengkap dengan komentar para pejabat.
Ada beberapa alasan mengapa demikian. Salah satunya, kata Weir, bisa jadi karena Perang Laut Jawa itu sendiri yang dinilai kurang signifikan bagi sejarah Inggris.
"Mungkin saja Pertempuran Laut Jawa adalah salah satu pertempuran Angkatan Laut Inggris yang kecil di Perang Dunia II," katanya.
Namun, berdasarkan laporan The Guardian, media terkemuka Inggris, Juru bicara Kementerian Pertahanan Inggris mengatakan bahwa pemerintah negaranya "mengutuk gangguan yang tidak sah dari setiap rongsokan kapal karang yang berisi jasad manusia." Lebih jauh, mereka menyebut kapal-kapal sisa perang dan artefak terkait jelas dilindungi oleh hukum internasional sehingga harus dijaga betul keberadaannya.
Kapal-kapal Inggris yang jadi korban penjarahan antara lain HMS Exeter, HMS Encounter (sisa 20 persen), HMS Electra (40 persen), HMS Repulse, HMS Prince of Wales, HMS Banka, Tien Kuang [HMS Tien Kwang], HMS Kuala, Lock Ranza, HMS Thanet, dan Hachian Maru (dua bendera: Jepang/Inggris). Dari sepuluh kapal itu, tujuh dijarah di Indonesia dan 4 kapal lain di perairan Malaysia.
Penulis: Rio Apinino