Menuju konten utama

Rencana Amnesti KKB Papua Harus Berlanjut pada Dialog Humanis

Menyetop penerjunan pasukan TNI dan Polri di Papua adalah hal pertama yang perlu dilakukan untuk memulai dialog damai.

Rencana Amnesti KKB Papua Harus Berlanjut pada Dialog Humanis
Personel TNI/Polri berada di dekat helikopter yang mendarat di Distrik Kenyam, Kabupaten Ndunga, Papua Pegunungan, Rabu (8/2/2023). ANTARA FOTO/HO/Humas Pendam Cenderawasih/wpa/tom.

tirto.id - Rencana pemerintah memberikan amnesti dan abolisi kepada narapidana terkait konflik Papua–termasuk bagi anggota kelompok separatis bersenjata–amat penting untuk dicermati. Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, menyampaikan bahwa Presiden Prabowo Subianto tengah mempertimbangkan rencana tersebut sebagai bagian dari solusi untuk mengakhiri konflik di Papua dengan jalan damai dan berperspektif HAM.

Secara kemanusiaan, rencana pemerintah itu patut diapresiasi. Papua telah menjadi saksi berbagai tragedi, mulai dari konflik bersenjata hingga deretan kasus pelanggaran HAM. Memberikan amnesti, terutama bagi narapidana yang sakit berat atau mengalami gangguan kejiwaan, merupakan bentuk penghormatan terhadap HAM.

Namun, jika ditelisik lebih mendalam, pemberian amnesti sebenarnya belumlah cukup menjadi solusi untuk persoalan sekompleks dan semultidimensional Papua.

Amnesti memiliki daya tarik dan kelebihannya tersendiri. Kebijakan ini sering kali dipandang sebagai simbol rekonsiliasi yang berpeluang membuka ruang dialog. Persoalannya, sejarah mencatat bahwa penyelesaian konflik bersenjata di wilayah mana pun jarang berhasil hanya dengan mengampuni mereka yang terlibat konflik atau teror.

Konflik akan tetap terulang apabila tak ada kemauan besar untuk menyelesaikan akar permasalahan yang mendasarinya.

Jangan Sekadar Mendongkrak Citra

Kepala Divisi Hukum KontraS, Andrie Yunus, memandang rencana pemerintah memberikan amnesti dan abolisi kepada narapidana konflik Papua harus diperjelas.

Sebelumnya, Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas, justru mengatakan bahwa amnesti akan diberikan kepada narapidana konflik Papua yang tidak terlibat dalam aksi bersenjata. Dari pernyataannya, narapidana yang akan diberikan amnesti adalah individu yang dipidana karena melakukan aktivisme menyuarakan aspirasi rakyat Papua.

Kali ini, Menko Yusril membuka peluang amnesti dan abolisi bagi mereka yang terkait Kelompok Kekerasan Bersenjata (KKB) di Papua. Artinya, pemerintah sendiri belum sampai pada opsi kebijakan yang bulat. Pemerintah juga belum menjelaskan apakah rencana itu merupakan bagian dari upaya pendekatan dialog damai atau kebijakan yang berdiri sendiri.

“Sebagai gambaran, kebijakan pemberian amnesti menjadi kebijakan yang satu kesatuan dengan upaya perundingan antara GAM dan PEMRI yang disepakati dalam MoU Helsinki,” ucap Andrie kepada wartawan Tirto, Kamis (23/1/2025).

Andrie menekankan bahwa KontraS selalu mendorong penyelesaian konflik Papua dengan dialog damai yang partisipatoris. Artinya, dialog damai harus menyentuh atau melibatkan seluruh lapisan pihak yang terlibat dalam konflik. Di dalamnya, harus terdapat representasi seluruh lapisan sosial masyarakat Papua agar tidak terjadi upaya sepihak yang diskriminatif.

Namun, Andrie melihat bahwa tidak menutup kemungkinan rencana amnesti itu cuma omon-omon belaka agar posisi Indonesia di mata internasional membaik. Terlebih, pernyataan Menko Yusril memang sengaja disampaikan usai melakukan pertemuan dengan Duta Besar Inggris, Dominic Jermey.

Dalam persamuhannya bersama Pemerintah Indonesia yang diwakili Yusril awal pekan ini, Jermey menanyakan kebijakan pemerintahan Presiden Prabowo soal konflik di Papua. Sebab, pertanyaan soal Papua sering kali mengemuka di Parlemen Inggris seputar tudingan pelanggaran HAM di Negeri Cenderawasih.

Terlebih, dalam pantauan KontraS, kata Andrie, eskalasi konflik di Papua pada awal 2025 cenderung meningkat. Sebelumnya, terdapat aparat keamanan yang meninggal karena tertembak KKB di Yalimo, Papua Pegunungan dan di Puncak Jaya.

Kejadian di Puncak Jaya yang menewaskan Brigadir Ronald M. Enok terjadi pada Selasa (21/1/2025). Sementara itu, kejadian di Yalimo menelan korban seorang anggota Brimob Polda Papua, Briptu Iqbal Anwar Arif. Dia tewas tertembak saat patroli dengan kendaraan pada Jumat (17/1/2025).

Di Yalimo, dua warga sipil juga tewas ditembak KKB pada Rabu (8/1/2025). Keduanya merupakan pekerja pemotong kayu yang diserang oleh kelompok Aske Mabel. Aske merupakan mantan anggota polisi yang melarikan diri pada pertengahan 2024 dan bergabung ke kelompok separatis, sementara kedua korban merupakan warga pendatang asal Sulawesi Selatan.

Skeptisisme terhadap rencana amnesti itu juga muncul lantaran di saat bersamaan pemerintah juga tengah memaksakan pembabatan hutan adat demi percepatan proyek PSN Lumbung Pangan di Merauke. Padahal, PSN ini mendapat penolakan keras dari masyarakat adat.

Andrie menilai, situasi ini mencerminkan belum ada keseriusan pemerintah dalam upaya menyelesaikan konflik Papua.

Jangan Manipulatif

Pun, jangan sampai ada upaya manipulasi dalam mendorong proses dialog damai di Papua. Hal paling utama dalam kerangka persiapan dialog damai itu adalah menyetop penerjunan personel TNI dan Polri di Papua dan melakukan penarikan pasukan secara bertahap.

Jika memang Prabowo serius menyelesaikan konflik Papua, penghentian penerjunan sekaligus penarikan pasukan TNI dan Polri yang BKO di Papua adalah hal pertama yang sangat perlu dilakukan. Karena, penerjunan TNI dan Polri ke Papua telah terbukti banyak mudaratnya, seperti jatuhnya korban jiwa yang berasal dari masyarakat sipil.

KontraS mencatat bahwa di periode Desember 2023 hingga November 2024, terjadi 51 peristiwa kekerasan yang menimpa warga sipil di Papua. Peristiwa itu meliputi 22 penembakan, 12 penangkapan sewenang-wenang, 11 kasus pembubaran paksa, 8 tindak penganiayaan, 7 penyiksaan, 7 intimidasi, 2 tindakan tidak manusiawi, dan 1 kriminalisasi.

Jika dirinci lagi, 51 peristiwa kekerasan tersebut menyebabkan 36 orang luka dan 21 orang tewas. Para pelaku terdiri dari berbagai elemen, yakni Polri terlibat dalam 19 peristiwa kekerasan, TNI terlibat di 17 peristiwa, dan TPN-PB atau KKB terlibat dalam 10 peristiwa.

Patut digaris bawahi pula bahwa saban tahun selalu ada anggota TNI atau Polri, anggota kelompok bersenjata prokemerdekaan, dan warga sipil yang tewas akibat ekses dari konflik yang terjadi di Papua.

“Pilihan untuk menentukan juru runding semestinya menjadi opsi yang dibuka, alih-alih ditolak sedari awal atas rencana penyelesaian konflik melalui dialog damai,” ucap Andrie.

Diberitakan sebelumnya, Menko Yusril mengklaim bahwa pihaknya punya komitmen kuat menyelesaikan konflik Papua. Namun, dia memandang bahwa pemerintah saat ini belum memerlukan mediator untuk memfasilitasi perundingan damai dalam menyelesaikan masalah di Papua, sebagaimana dilakukan di Aceh pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Salah satu pihak yang sudah menawarkan bantuan adalah Juha Christensen. Sosok ini adalah aktivis perdamaian asal Finlandia yang pernah terlibat dalam proses perundingan konflik di Aceh. Yusril menyampaikan bahwa Juha menawarkan diri menjadi mediator dialog antara pemerintah dan kelompok-kelompok di Papua, termasuk kelompok pendukung kemerdekaan Papua di luar Indonesia.

“Yang jelas Pemerintah Presiden Prabowo akan lebih mengedepankan hukum dan HAM dalam menyelesaikan setiap permasalahan di Papua," kata Yusril dalam keterangannya, Senin (20/1/2025).

Jangan Cuma Simbolis

Pemerintah Indonesia juga tak boleh berhenti pada simbolisme pemberian amnesti dan abolisi bagi narapidana konflik Papua tanpa membangun upaya dialog yang humanis. Amnesti memang bisa menjadi langkah awal untuk menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia memiliki iktikad baik untuk meredakan ketegangan di Papua. Kebijakan semestinya dilanjutkan dengan sungguh-sungguh membuka pintu dialog lebih lanjut dengan kelompok-kelompok yang merasa dimarjinalkan.

Pemerintah juga mesti ingat bahwa konflik di Papua bersifat multidimensional dan bahkan sudah menjadi isu historis sebagaimana peristiwa Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Belum lagi, isu marginalisasi ekonomi rakyat Papua, diskriminasi rasial, dan pelanggaran HAM yang disertai impunitas. Menimbang semua itu, kebijakan amnesti saja jelas belum cukup untuk menyelesaikan akar masalah di Papua.

Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, menyatakan bahwa pemberian amnesti dan abolisi adalah instrumen hukum yang digunakan sebagai pengampunan atau penghapusan tuntutan pidana terhadap pelaku kejahatan. Dalam konteks konflik Papua, kata dia, amnesti dan abolisi idealnya diberikan untuk kasus hukum yang tidak tergolong sebagai pelanggaran HAM berat.

Pasalnya, pelanggaran HAM berat pada prinsipnya tidak boleh termasuk dalam cakupan kejahatan yang dapat diberikan pengampunan atau penghapusan pidana. Prinsip ini sejalan dengan standar HAM internasional yang menegaskan bahwa pelaku pelanggaran HAM berat harus dimintai pertanggungjawaban di meja hijau.

“Ini penting untuk mencegah terjadinya impunitas,” kata Usman kepada wartawan Tirto.

Oleh karenanya, pemerintah diminta memastikan bahwa pelaku pelanggaran HAM berat di Papua dan di daerah-daerah lain harus tetap diproses melalui mekanisme hukum yang adil dan transparan, yaitu Pengadilan HAM.

Amnesti dan abolisi dalam kasus Papua pun, lagi-lagi, semestinya menjadi bagian dari kebijakan yang lebih besar, yakni mengakhiri rentetan konflik bersenjata dan membangun perdamaian di Tanah Papua.

Negara juga harus memulai pengakuan dan penghormatan atas hak-hak masyarakat adat di Papua. Sikap itu dilakukan lewat pembangunan berkeadilan dan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua, baik yang dilakukan KKB maupun aparat TNI dan Polri.

“Untuk memulainya, pemerintah harus melakukan dialog dengan semua pihak, dari tokoh-tokoh adat, tokoh-tokoh perempuan, tokoh-tokoh gereja, perwakilan masyarakat, maupun kelompok prokemerdekan Papua,” ujar Usman.

Sementara itu, peneliti utama di Pusat Riset Kewilayahan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Cahyo Pamungkas, justru menyangsikan rencana pemerintah memberi amanesti dan abolisi terhadap narapidana terkait konflik Papua. Cahyo menilai bahwa hingga saat ini tidak ada kelompok di Papua yang meminta amnesti dan abolisi kepada Pemerintah Indonesia. TPN-PB atau OPM masih menuntut agar Papua merdeka dan memperjuangkan ideologinya melalui gerakan bersenjata.

Maka dari itu, kata Cahyo, kebijakan amnesti dan abolisi justru tidak tepat sasaran karena bersifat unilateral, bukan keluar dari proses negosiasi atau dialog antara pihak-pihak yang berkonflik di Papua.

Dalam kacamata Cahyo, inisiatif pemberian amnesti justru merupakan salah satu bentuk upaya membentengi citra baik Indonesia dalam menyelesaikan konflik Papua di mata internasional. Namun, inisiatif itu terbukti baru sepihak dari pemerintah saja dan tidak berasal dari tuntutan dari kelompok separatis di Papua.

Pemerintahan Prabowo perlu mendengarkan aspirasi dan suara dari orang Papua yang ingin merdeka. Termasuk, pendapat kalangan akademisi yang memiliki pemikiran berbeda dengan pandangan pemerintah. Langkah tersebut hanya bisa dilakukan dengan membangun dialog dan menghentikan konflik bersenjata di Papua. Jangan lagi ada masyarakat sipil yang tewas seolah menjadi tumbal atas ketidakmampuan negara menyelesaikan persoalannya.

“Pemerintahan Presiden Prabowo dengan demikian hingga saat ini tidak jauh berbeda dari pemerintahan sebelumnya yang tidak memiliki niat baik menyelesaikan konflik [Papua] dengan dialog dan negosiasi damai,” ucap Cahyo kepada wartawan Tirto.

Baca juga artikel terkait KONFLIK PAPUA atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fadrik Aziz Firdausi