tirto.id - Dalam satu dekade terakhir, pembangunan dan investasi di Papua telah menjadi fokus utama pemerintahan Joko Widodo. Selama kepemimpinannya, Presiden Jokowi ingin masyarakat Papua tidak hanya menjadi penonton di tanahnya sendiri, tapi juga ikut serta dan menikmati manfaat langsung dari pembangunan yang terjadi di tanah mereka.
Salah satu aspek kunci dalam pengembangan ekonomi Papua yang dilakukan Jokowi adalahpelibatan investasi lokal. Investasi lokal diklaim bakal memberi dampak positif bagi perekonomian daerah.
Berbagai kebijakan proinvestasi pun diupayakan agar investor mau masuk ke Papua. Papua pun didorong untuk lebih terbuka terhadap pembangunan sektor industri, pertanian, dan infrastruktur.
"Di awal pemerintahan, fokus kita adalah mempermudah perizinan dan menarik investor, baik dari dalam maupun luar negeri. Hasilnya, investasi di Papua terus tumbuh pesat," ujar Staf Ahli Bidang Ekonomi Makro Kementerian Investasi/BKPM, Imam Soejoedi, dalam Dialog Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) yang mengangkat tema “10 Tahun Membangun Papua dengan Pendekatan Indonesia-Sentris”, di Jakarta, Senin (14/10/2024).
Menurut data BKPM, realisasi investasi di Papua dan wilayah Indonesia Timur terus mengalami peningkatan sejak awal pemerintahan Jokowi pada 2014. Bahkan, distribusi investasi yang semula didominasi oleh Pulau Jawa kini telah berbalik menjadi lebih tinggi di luar Pulau Jawa.
Kondisi itu menunjukkan adanya perubahan signifikan dalam distribusi investasi. Papua sendiri berhasil menarik perhatian investor karena peningkatan infrastruktur serta potensi sumber daya alamnya.
"Jika pada 2014, sekitar 57 persen investasi masih terpusat di Jawa, saat ini lebih dari 52 persen investasi berada di luar Jawa, dengan Papua menjadi salah satu fokus utama," jelas Imam.
Jika melihat sebaran realisasi investasi khusus penanaman modal dalam negeri (PMDN) hingga kuartal II-2024 di Pulau Papua, investasi terbesar terjadi di Provinsi Papua Barat sebesar Rp276,1 miliar dengan total 402 proyek. Lalu, diikuti Provinsi Papua Barat Daya sebesar Rp253,7 miliar dengan total 778 proyek.
Selain itu, nilai investasi di Provinsi Papua tercatat Rp152,4 miliar dengan total proyek 798, Papua Tengah sebesar Rp77,8 miliar (476 proyek), Papua Selatan Rp50,5 miliar (277 proyek), dan Papua Pegunungan Rp31,2 miliar (57 proyek).
Sementara untuk investasi penanaman modal asing (PMA), yang terbesar dalam kuartal II-2024 terjadi di Provinsi Papua Tengah dengan nilai US$224 juta dengan total proyek 37. Diikuti Provinsi Papua Barat sebesar US$137 juta, Papua Selatan sebesar US$81,3 juta, Papua Barat Daya sebesarUS$27,8 juta, dan Papua sebesar US$0,5 juta.
Peneliti ekonomi makro dan keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Riza Annisa Pujarama, mengatakan bahwa tren investasi PMDN di provinsi-provinsi Pulau Papua memang cenderung meningkat dalam sepuluh tahun terakhir. Lonjakan PMDN itu mulai terjadi pada 2020. Namun sebaliknya, tren PMA di Papua justru mengalami penurunan.
Secara rata-rata, kata Riza, porsi PMDN Pulau Papua dalam periode 2014-2023 masih sebesar 0,47 persen dari total PMDN nasional. Sementara itu, rata-rata porsi PMA Pulau Papua 4,15 persen. Artinya, dibandingkan dengan provinsi lainnya, provinsi-provinsi di Pulau Papua investasinya masih tergolong kecil.
“Meski demikian, di 2023, porsi investasi PMDN provinsi-provinsi di Pulau Papua sebesar 0,72 persen [tidak sampai 1 persen dari PMDN nasional], sementara PMA sebesar 2,36 persen,” ujar Riza kepada Tirto, Selasa (15/10/2024).
Imam mengatakan bahwa keberhasilan investasi tersebut memang tidak hanya diukur dari besarnya jumlah uang yang masuk, tapi juga dari bagaimana investasi tersebut memberikan manfaat nyata bagi masyarakat setempat melalui transfer teknologi dan pengetahuan.
Beberapa investasi tersebut pun menurutnya juga harus disertai dengan kesiapan SDM lokal. Tanpa keterlibatan masyarakat lokal dalam rantai pasok dan sektor tenaga kerja, ada risiko mereka hanya akan menjadi penonton, sementara manfaat ekonomi dirasakan oleh pihak luar.
Investasi Tak Menjawab Kesejahteraan Masyarakat Papua
Klaim pemerintah bahwa masyarakat Papua telah menikmati manfaat langsung dari investasi dan pembangunan yang terjadi di tanah mereka sebenarnya masih jauh panggang dari api.
Faktanya, investasi yang masuk ke Papua menurut Direktur Eksekutif Walhi Papua, Maikel Primus Peuki, belum sepenuhnya dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat setempat.
“Bahwa sampai saat ini, investasi di Papua belum menjawab kesejahteraan orang Papua,” ujar Maikel kepada Tirto, Selasa (15/10/2024).
Jika menilik angka kemiskinan saja, persentase penduduk miskin di Provinsi Papuapada Maret 2024 menempati posisi ke-32 dari 38 provinsi. Persentase kemiskinan di Provinsi Papua bahkan lebih tinggi dari angka persentase kemiskinan nasional Maret 2024.
Penduduk miskin di Provinsi Papua berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2024 tercatat sebesar 17,26 persen. Sementara itu, Provinsi Papua Pegunungan menjadi wilayah dengan persentase penduduk miskin tertinggi, yaitu sebesar 32,97 persen.
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Papua dari hasil Sakernas Februari 2024 pun masih tercatat tinggi, yakni sebesar 5,81 persen. TPT merupakan indikator yang digunakan untuk mengukur tenaga kerja yang tidak terserap oleh pasar kerja dan menggambarkan kurang termanfaatkannya pasokan tenaga kerja.
Hal ini berarti dari 100 orang angkatan kerja di Papua, terdapat sekitar lima hingga enam orang pengangguran.
Dalam setiap proses pembangunan, kata Maikel, masyarakat Papua juga tidak pernah dilibatkan, terutama melalui mekanisme tradisional melalui para-para adat. Padahal, jika pemerintah memangberniatmnyejahterakan masyarakat Papua, ia mestinya mengajak para-para adat duduk bersama membahas hak tanah, budaya, dan lainnya.
“Masyarakat di Papua mau seketika investor ada atau ada pembangunan masuk di Papua, mereka perlu dilibatkan di diajak berdiskusi di sana. Ini salah satu contoh bagaimana kita melihat bahwa masyarakat itu perlu dilibatkan dalam setiap proses yang terjadi,” jelas Maikel.
Misalnya, dalam soal pengelolaan SDA dan SDM di Papua. Masyarakat Papua mestinya mendapat porsinya agar mereka bisa mencapai kesejahteraan. Pun demikian, masyarakat harus tahu juga soal dampak lingkungan macam apa yang bisa timbul dari eksploitasi SDA di tanah mereka.
“Sampai saat ini, itu belum tercapai proses-proses itu,” kata Maikel.
Sementara itu, Deputi Bidang Pengembangan Regional Kementerian PPM/Bappenas, Tri Dewi Virgiyanti, mengatakan bahwa institusinya akan mengedepankan pendekatan partisipatif, termasuk musyawarah bersama masyarakat adat. Ini dilakukan agar pembangunan di Papua bukan hanya berlangsung cepat, tapi juga berkesinambungan dan menyentuh langsung kebutuhan masyarakat.
“Upaya ini bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat lokal melalui lapangan kerja yang bisa berdampak pada penurunan angka pengangguran dan kemiskinan di Papua. Kami telah menetapkan target investasi yang besar untuk pembangunan infrastruktur dan ekonomi lokal, termasuk industri pengolahan dan food estate," kata Virgiyanti.
Lebih lanjut, Virgiyanti menjelaskan bahwa melalui transformasi ekonomi yang dicanangkan, pemerintah menargetkan penurunan angka kemiskinan dan pengangguran secara signifikan. Target penurunan pengangguran terbuka diharapkan menjadi langkah nyata dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua.
"Selama pemerintahan Presiden Jokowi, kami telah melihat penurunan drastis dalam angka kemiskinan dan kami ingin melanjutkan tren positif ini," ungkapnya.
Dengan langkah-langkah strategis itu, pemerintah optimistis bahwa pembangunan Papua akan terus berlanjut. Ia didukung oleh kolaborasi berbagai pihak dan keselarasan antara rencana induk dan rencana aksi.
Melalui sinergi dan upaya kolektif, Papua diharapkan akan menjadi wilayah yang tidak hanya sehat dan cerdas, tapi juga produktif dalam berbagai aspek kehidupan.
"Kami berkomitmen untuk memastikan bahwa dalam pemerintahan selanjutnya, pembangunan Papua akan berlandaskan pada prinsip-prinsip yang telah ditetapkan dalam RIPP dan RPJMN," tutup Virgiyanti.
Investasi di Papua Belum Optimal
Peneliti Institute For Demagraphic and Poverty Studies (IDEAS), Muhammad Anwar, mengatakan bahwa pemerintahan Jokowi memang memiliki fokus ke Papua. Itu tercermin dari proyek-proyek pembangunan infrastruktur di Papua, seperti pembangunan Trans Papua yang direncanakan sepanjang 3.462 km, bandara, pelabuhan, serta fasilitas lainnya.
Namun, semua itu rupanya belum mampu mendongkrak investasi PMA maupun PMDN secara signifikan.
Hal itu terjadi karena pembangunan yang dilakukan cenderung lebih berfokus pada penyediaan infrastruktur fisik dasar dan belum secara holistik mendorong ekosistem investasi yang diperlukan.
"Infrastruktur yang ada memang memperbaiki aksesibilitas, tetapi belum cukup untuk memecahkan persoalan fundamental lainnya, seperti keterbatasan sumber daya manusia yang terampil, birokrasi yang kompleks, dan kurangnya jaminan keamanan di beberapa daerah," jelas Anwar kepada Tirto, Selasa (15/10/2024).
Lebih jauh, kata Anwar, pembangunan di Papua sering kali tidak diikuti dengan langkah-langkah strategis untuk mendorong sektor-sektor ekonomi potensial lainnya, seperti pengolahan sumber daya alam dan pariwisata berkelanjutan.
Akibatnya, meski infrastruktur terbangun, insentif untuk menarik investor ke wilayah ini masih tetap minim.
"Investor kerap menganggap biaya operasional di Papua tinggi. Ditambah dengan risiko keamanan dan ketidakpastian politik yang membuat mereka ragu untuk berinvestasi," jelas Anwar.
Selain itu, faktor geografis Papua yang terpencil dan terpisah dari pusat-pusat ekonomi besar Indonesia menambah hambatan dalam menarik investasi besar-besaran.
Menurut Anwar, pembangunan infrastruktur merupakan langkah yang penting, tapi tanpa disertai dengan perbaikan iklim investasi secara menyeluruh—seperti peningkatan keterampilan tenaga kerja lokal, insentif fiskal yang lebih kompetitif, serta jaminan stabilitas dan keamanan—Papua akan terus menghadapi tantangan dalam menarik PMA dan PMDN.
Dan yang tak kalah penting juga, kata Anwar, adalah pembangunan di Papua harus dilakukan dengan pendekatan lokal yang humanis, yang menghormati kearifan budaya, adat, dan hak-hak masyarakat setempat. Ini bisa dilakukan dengan cara dialog sosial yang berkelanjutan dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat, terutama terkait dengan penggunaan lahan.
“Pembangunan yang inklusif harus memprioritaskan pemberdayaan masyarakat lokal melalui penciptaan lapangan kerja, pendidikan, dan peningkatan kapasitas, sehingga masyarakat dapat merasakan manfaat langsung dari pembangunan,” pungkas dia.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi