tirto.id - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) akan memperingati hari jadinya yang ke-17 Pada 8 Agustus 2025. Mengusung tema "Terdepan Melindungi, Berbakti untuk Negeri," peringatan ini menjadi momentum untuk penguatan peran LPSK dalam perlindungan saksi, korban, pelapor, saksi pelaku dan/atau ahli.
HUT ke-17 juga momentum bagi LPSK untuk memperkuat perlindungan saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana serta pemenuhan hak asasi manusia (HAM). Hal ini sejalan dengan agenda transformasi layanan akses keadilan yang inklusif dan substansial seperti tertuang dalam RPJMN 2025–2029.
Sepanjang 17 tahun LPSK berdiri, harapan masyarakat mengakses layanan perlindungan terus meningkat tiap tahun. Selama 2008-2024, LPSK telah menerima 45.511 permohonan perlindungan dari para Saksi, Korban, Pelapor, Saksi pelaku dan/atau Ahli.
Khusus pada 2025, LPSK menerima 8.522 permohonan. Permintaan tertinggi berasal dari saksi dan korban dalam tindak pidana pencucian uang (5.558), kekerasan seksual anak (891), serta tindak pidana lainnya (734).
Hingga semester I 2025, LPSK menggelar 7.121 program layanan perlindungan. Tertinggi berupa layanan fasilitasi restitusi (3.427, lalu bantuan medis (1.210), dan pemenuhan hak prosedural (992).
Peran Strategis LPSK dalam Sistem Peradilan Pidana
LPSK merupakan lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban sebagaimana diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014.
Jaminan perlindungan dari LPSK memiliki peran penting dalam proses peradilan pidana. Sebab, dengan keterangan saksi dan korban yang diberikan secara bebas dari rasa takut dan ancaman, suatu tindak pidana dapat terungkap.
Selama 17 tahun, LPSK telah berkembang menjadi bagian penting dalam reformasi sistem peradilan pidana yang tidak hanya berfokus pada pelaku, tetapi juga memperhatikan kepentingan saksi dan korban. LPSK juga terus memperkuat sinergi dengan aparat penegak hukum pada setiap tahapan proses hukum.
Melalui UU Nomor 31 Tahun 2014, cakupan subjek yang dilindungi oleh LPSK telah diperluas. Subjek hukum yang dilindungi oleh LPSK saat ini mencakup pelapor (whistleblower), saksi pelaku (justice collaborator), dan ahli sebagai orang yang dapat memberikan keterangan terkait suatu perkara pidana.
Terbaru, terbit dua regulasi terbaru pada tahun ke-17 berdirinya LPSK. Keduanya adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 2025 tentang Dana Bantuan Korban (DBK) dan PP Nomor 24 Tahun 2025 tentang Justice Collaborator (JC).
Terbitnya PP DBK merupakan tonggak penting dalam perjalanan perlindungan korban di Indonesia. Keberadaan Dana Bantuan Korban atau DBK bukan semata urusan administratif atau sekadar pelengkap dari putusan pengadilan. Lebih dari itu, DBK adalah simbol kehadiran negara yang aktif dan bertanggung jawab terhadap pemulihan korban.
DBK hadir sebagai mandat dari Pasal 35 ayat (4) UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yang mewajibkan negara memberikan kompensasi kepada para korban melalui mekanisme yang dikelola oleh LPSK. Sumber dana untuk DBK berasal dari APBN, filantropi, tanggung jawab sosial perusahaan, hingga masyarakat.
Selanjutnya, dalam PP Nomor 24 Tahun 2025 tentang Justice Collaborator, LPSK mendapatkan mandat untuk memverifikasi dan merekomendasikan pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum dalam pengungkapan tindak pidana terorganisir.
Seperti dalam kasus narkotika dan korupsi, JC memainkan peran krusial untuk membuka jalur ke aktor utama. Dalam implementasi di lapangan tidak sederhana, JC sering kali menghadapi risiko tinggi: ancaman pembunuhan, pengucilan sosial, bahkan stigma dari aparat penegak hukum.
RUU PSDK dan Penguatan Kelembagaan LPSK
Komisi XIII DPR RI memasukkan rencana perubahan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban ke dalam Prolegnas prioritas tahun 2025.
Pembahasan revisi UU yang sedang berproses di Komisi XIII DPR RI itu menjadi momentum untuk penguatan kelembagaan LPSK. Maka itulah, LPSK memberikan sejumlah rekomendasi dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban (RUU PSDK).
Di antara rekomendasi LPSK adalah penetapan jenis tindak pidana prioritas, pembentukan polisi khusus untuk saksi dan korban, pembentukan rutan khusus untuk para JC, hingga pembentukan perwakilan LPSK di seluruh provinsi.
Berbagai rekomendasi itu bukan sekadar untuk perluasan kewenangan LPSK, melainkan merespons realitas lapangan yang makin kompleks. Misalnya, usulan pembentukan polisi khusus saksi dan korban diharapkan dapat mengawal proses hukum secara menyeluruh dari sisi perlindungan.
Adapun rumah tahanan khusus bagi JC direkomendasikan untuk memberikan rasa aman dan dukungan pemulihan kepada mereka yang sudah bersedia mengungkap jaringan kejahatan besar dan terorganisir. Tanpa rutan khusus, risiko pembalasan dan stigma terhadap JC akan terus menghambat proses penegakan hukum.
Sementara itu, usulan pembentukan perwakilan LPSK di setiap provinsi bertujuan untuk memperluas jangkauan layanan dan mengatasi hambatan geografis serta keterlambatan respons terhadap permohonan perlindungan. Keberadaan perwakilan LPSK di seluruh provinsi akan memastikan akses perlindungan yang merata di seluruh Indonesia.
RUU PSDK juga diharapkan mengukuhkan posisi LPSK di seluruh tahapan proses peradilan pidana, dari penyelidikan hingga pemulihan pascaputusan. Ini diperlukan agar perlindungan tidak lagi bersifat insidental atau reaktif, melainkan melekat sebagai bagian dari sistem keadilan yang utuh.
Sebagai bagian dari penguatan kelembagaan, LPSK juga mengusulkan pembentukan struktur kedeputian untuk menunjang kerja-kerja lintasfungsi. Misalnya, untuk penyediaan layanan psikososial, advokasi kebijakan, serta pengelolaan bantuan negara bagi korban.
Sejalan dengan berbagai rekomendasi tadi, LPSK pun aktif memberikan masukan terhadap Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) guna mendorong reformasi sistem hukum nasional. Salah satu poin penting dari usulan LPKS adalah pengakuan eksplisit terhadap hak-hak korban. Di antaranya hak menyampaikan victim impact statement, memperoleh restitusi melalui penyitaan dan pelelangan aset pelaku, serta kejelasan mekanisme eksekusi vonis restitusi.
Refleksi 17 tahun LPSK ini kilas balik sekaligus penegasan komitmen mendorong penguatan kelembagaan demi perlindungan saksi dan korban, pemenuhan dan penghormatan HAM, serta transformasi akses terhadap keadilan.
Pimpinan LPSK Periode 2024-2029:
- Brigjen. Pol. (Purn) Dr. Achmadi, S,H., M.AP (Ketua)
- (Dr.iur.) Antonius PS. Wibowo, S.H., M.H (Wakil Ketua)
- Susilaningtias, S.H., M.H (Wakil Ketua)
- Mahyudin, S.H., M.H (Wakil Ketua)
- Sri Suparyati, S.H., LL.M (Wakil Ketua)
- Wawan Fahrudin, S.Sos., M.E (Wakil Ketua)
- Sri Nurherwati, S.H (Wakil Ketua).
Masuk tirto.id


































