tirto.id - Wafatnya Sultan Bayanullah pada 1521 tidak hanya memunculkan duka yang mendalam, tapi juga kegamangan terkait suksesi kepemimpinan di Kesultanan Ternate, salah satu kerajaan Islam terbesar di Kepulauan Maluku.
Lantaran putra mahkota Pangeran Hidayat belum cukup umur, maka disepakati bahwa roda pemerintahan untuk sementara akan dijalankan dua orang, yaitu janda Sultan Bayanullah, Ratu Nukila, dengan dibantu Pangeran Taruwese, saudara almarhum sultan.
Maka, Kesultanan Ternate mengukir sejarah baru. Pada 1522, sang ratu dinobatkan dengan gelar Ratu Nyai Cili alias Sultanah Nukila atau dikenal pula sebagai Rainha Boki Raja. Ia menjadi pemimpin perempuan pertama dalam sejarah Kesultanan Ternate meski tidak dianggap sebagai raja resmi karena memerintah hanya untuk sementara.
Yang terjadi selanjutnya ternyata tidak seperti yang diharapkan. Atas pengaruh Portugis, Kesultanan Ternate dilanda kisruh yang berkepanjangan. Ratu Nukila pun difitnah dengan tuduhan pengkhianatan, lantas dibawa ke India untuk diadili raja muda Portugis di sana.
Sultanah yang telah dilengserkan ini memang lolos dari hukuman. Tapi, Nukila tidak pernah pulang lagi ke Ternate, bahkan kemudian berpindah keyakinan menjadi pemeluk Katolik dengan menyandang nama baru: Dona Isabella.
Sultanah Pertama Ternate
Ratu Nukila ibarat duta perdamaian untuk mengakurkan dua kerajaan Islam terbesar di Kepulauan Maluku: Ternate dan Tidore. Dua kesultanan ini memang kerap terlibat persaingan, bahkan pertikaian, serta diperkeruh campur tangan Portugis dan Spanyol.
Penelitian M. Junaidi berjudul “Sejarah Konflik dan Perdamaian di Maluku Utara” yang dimuat di jurnal Academica (Vol. 1, No. 2, 2009) memaparkan, Ternate meluaskan wilayah hingga ke Timor, Nusa Tenggara, Buton, hingga Kepulauan Mindanao (Filipina). Tidore pun tak mau kalah dengan menyasar Ambon, Seram, sampai Papua termasuk Raja Ampat (hlm. 240).
Sebagai salah satu upaya damai, maka Nukila dinikahkan dengan penguasa Kesultanan Ternate yaitu Sultan Bayanullah (memerintah 1500-1521). Nukila sendiri adalah putri kesayangan Sultan Al Mansur (1512-1526), pemimpin Kesultanan Tidore.
Meskipun perseteruan antara dua kesultanan itu belum reda sepenuhnya, lantaran Portugis dan Spanyol juga memainkan kepentingan mereka di sana, namun setidaknya bisa diminimalisir setelah pernikahan Sultan Bayanullah dengan Ratu Nukila.
Dua anak lelaki lahir dari perkawinan tersebut. Anak tertua adalah Pangeran Hidayat (disebut juga dengan nama Dayalu atau Dayalo) yang lantas dijadikan pewaris takhta alias putra mahkota Kesultanan Ternate. Adapun putra kedua bernama Pangeran Abu Hayat atau Boheyat.
Hingga akhirnya, Sultan Bayanullah meninggal dunia pada 1521. Ratu Nukila naik takhta sembari menunggu Pangeran Hidayat beranjak dewasa, dengan dibantu oleh iparnya, Pangeran Taruwese, untuk menjalankan pemerintahan Kesultanan Ternate.
Sebenarnya, Pangeran Hidayat juga sempat dinobatkan dengan gelar Sultan Hidayatullah atau Sultan Dayalo (Dayalu) pada periode itu. Namun, kendali pemerintahan tetap dipegang oleh duet Nukila dan Taruwese karena Sultan Hidayatullah masih berumur 6 tahun.
Pemerintahan Kesultanan Ternate di bawah pimpinan Sultanah Nukila memang bisa berjalan selama beberapa tahun, sebelum Pangeran Taruwese terhasut untuk melakukan tindakan makar yang berujung kudeta.
Di sinilah Portugis bermain demi menguasai Kepulauan Maluku yang kaya rempah-rempah. Sedangkan Spanyol secara pengaruh dan kekuatan memang lebih lemah karena lebih fokus untuk menaklukkan kepulauan seberang, Filipina. Spanyol nantinya benar-benar harus hengkang dari Maluku sesuai hasil Perjanjian Zaragosa tertanggal 22 April 1529.
Taruwese mulai menunjukkan rasa permusuhan terhadap Nukila. Taruwese merasa paling berhak atas takhta Ternate ketimbang iparnya itu. Menurut Sejarah Sosial Kesultanan Ternate (2010), Portugis mengambil peran dengan berdiri di pihak Pangeran Taruwese (hlm. 9).
Di sisi lain, Sultanah Nukila dibantu Kesultanan Tidore yang memang kerajaan dari mana ia berasal. Situasi bertambah pelik setelah Sultan Al Mansur, penguasa Tidore, wafat pada 1526. Sultanah Nukila pun berniat menyatukan Ternate dengan Tidore sepeninggal ayahnya itu.
Ambisi Nukila tersebut tentu saja ditentang Pangeran Taruwese yang menginginkan takhta Ternate. Perang saudara pun tak terelakkan. Kubu Taruwese yang didukung Portugis memenangkan pertempuran dan berhasil mengambilalih kekuasaan Kesultanan Ternate.
Difitnah, Beralih Keyakinan
Ratu Nukila dan Sultan Hidayatullah yang sudah beranjak remaja berlindung ke Tidore namun mendapat serangan dari pasukan Pangeran Taruwese bersama Portugis. Dalam suatu pertempuran pada 1529, seperti dikutip dari buku Maluku Utara: Perjalanan Sejarah 1250-1800 Volume 1 karya M. Adnan Amal (2002), Hidayatullah atau Dayalu gugur terkena tembakan tentara Portugis (hlm. 179).
Sementara itu, Taruwese ternyata tidak bisa berlama-lama menikmati takhta Ternate. Ia ditemukan tewas, dan Portugis lah yang ditengarai sebagai pelakunya. Setelah itu, Pangeran Abu Hayat (Boheyat), putra kedua Sultan Bayanullah dan Ratu Nukila atau adik dari Hidayatullah, dinobatkan menjadi pemimpin Kesultanan Ternate dengan gelar Sultan Abu Hayat II.
Sultan Abu Hayat II ternyata sangat menentang Portugis sehingga pada 1531 ia dilengserkan. Raja muda ini difitnah telah mengotaki pembunuhan pejabat Portugis sehingga dibuang ke Malaka hingga wafatnya.
Drama ala Portugis belum selesai sampai di sini. Sultan Ternate berikutnya, Tabariji, mengalami nasib serupa. Toeti Heraty dalam Rainha Boki Raja: Ratu Ternate Abad Keenambelas (2010) mengungkapkan, Tabariji adalah putra Ratu Nukila dari perkawinannya yang kedua dengan pria bernama Pati Sarangi.
Tabariji dan ibundanya, Ratu Nukila, dituding Portugis telah melakukan persekongkolan jahat alias pengkhianatan terhadap Kesultanan Ternate, seperti dikutip dari R. Soekmono dalam Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia (1981: 50). Pada 1534, mereka dikirim ke Gowa, India, untuk diadili di hadapan raja muda perwakilan Kerajaan Portugis di sana.
Di Gowa, Tabariji dan Nukila bertemu dengan bangsawan Portugis di India bernama Jordao de Freitas. Disebutkan dalam buku Bunga Angin Portugis di Nusantara (2008) karya Paramita Rahayu Abdurachman, Freitas menyarankan kepada Tabariji memeluk agama Katolik jika ingin memperoleh takhtanya kembali.
Tabariji mengikuti saran tersebut dan dibaptis dengan nama Don Manuel. Portugis pun akhirnya mengampuni Tabariji serta akan segera mengembalikannya ke Ternate dengan syarat, Kesultanan Ternate harus mengakui takluk kepada Kerajaan Portugis.
Syarat itu disetujui. Tabaraji pun bersiap berlayar pulang ke Maluku serta mengirimkan maklumat bahwa status Kesultanan Ternate kini berubah, dari kerajaan Islam yang independen menjadi kerajaan Kristen di bawah daulat Raja Portugis, demikian catat M. Adnan Amal dalam Kepulauan Rempah-rempah (2016: 15).
Akan tetapi, Tabariji, yang bukan seorang Muslim lagi, ternyata tidak pernah tiba di Ternate. Ia dikabarkan meninggal dunia karena sakit saat kapal yang membawanya sedang berlabuh di Malaka sebelum bertolak lagi ke Maluku.
Bagaimana nasib Ratu Nukila? Sang mantan sultanah ini ternyata mengambil jalan serupa dengan anaknya, yakni beralih menjadi pemeluk Katolik dengan nama baptis Donna Isabella. Begitupula dengan putri tiri Nukila atau anak dari suami keduanya, Pati Sarangi, yang juga ikut berpindah keyakinan, dibaptis dengan nama Donna Catarina.
Akhir riwayat Nukila alias Isabela belum terungkap dengan tuntas. Kabar tentangnya diketahui hanya sampai tahun 1544, yakni ketika Catarina menikah dengan seorang perwira Portugis bernama Balthazar Veloso. Ratu Nukila hidup bersama anak tiri dan menantunya di luar Ternate dan tidak pernah lagi kembali ke kerajaan besar di Maluku yang pernah dipimpinnya itu.
Kendati berpindah agama, seperti yang tercatat dalam sejumlah referensi, namun sosok Ratu atau Sultanah Nukila tetap mendapat tempat di hati rakyat Ternate. Sebagai bukti, namanya kini diabadikan sebagai nama taman indah yang terletak di pusat Kota Ternate, yakni Taman Nukila.
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan