tirto.id - Tak lama setelah proklamasi kemerdekaan, para pemuda menggerutu karena tidak puas dengan golongan tua. Salah satu yang membuat mereka jengkel, seperti dituturkan Aboe Bakar Loebis dalam Kilas Balik Revolusi (1992), adalah karena posisi menteri diisi oleh orang-orang bekas pegawai kolonial yang menjadi kepala jawatan di zaman Jepang.
Sementara di sejumlah daerah para pemuda melakukan perebutan kekuasaan dari tentara Jepang, di Jakarta orang-orang dari Asia Timur itu justru masih bercokol. Hal ini membuat para pemuda semakin mangkel. Maka mereka pun berencana mengadakan peringatan sebulan Indonesia merdeka pada 17 September, untuk menegaskan kemerdekaan dan merekatkan secara emosional antara para pemimpin Republik dengan rakyat.
“Gagasan ini segera disampaikan kepada kelompok pemuda Jakarta, dan dibawa ke sidang Komite Nasional Indonesia Daerah Jakarta,” tulis Aboe Bakar Loebis.
Para pemuda segera bergerak. Namun karena persiapannya terlalu mepet, maka peringatan yang semula akan digelar pada 17 September, diundur menjadi 19 September 1945, tepat hari ini 74 tahun lalu.
“Kepada [asrama pemuda] Menteng 31 ditugaskan mengerahkan massa rakyat. Asrama Prapatan 10 mendapat tugas untuk meyakinkan para pemimpin, terutama Presiden Sukarno, Wakil Presiden Hatta supaya datang berpidato pada rapat itu,” imbuhnya.
Para pemuda bekerja keras selama berhari-hari. Komite Nasional Daerah Jakarta kemudian mengumumkan akan diadakannya rapat raksasa. Tempat yang mereka pilih adalah lapangan Ikatan Atletik Djakarta (IKADA), yang kini jadi kompleks Monumen Nasional.
Mengetahui akan ada pengerahan massa besar-besaran, Jepang yang masih berkuasa di Jakarta segera mengeluarkan pengumuman tandingan.
“Para penguasa Jepang di Jakarta mengeluarkan pengumuman melarang penyelenggaraan rapat itu dengan ancaman akan mengambil tindakan untuk mencegahnya,” tulis Loebis.
Senjata Berhadap-Hadapan
Berbeda dengan para pemuda yang senantiasa menolak pelbagai tekanan, para pemimpin Republik justru tak mau mengambil risiko dengan melawan kemauan Jepang. Presiden Sukarno dan pejabat lain mulanya menolak untuk menghadiri pertemuan raksasa itu. Namun para pemuda dari Asrama Prapatan 10 terus membujuknya.
Di tengah pengawasan militer Jepang yang mengerahkan kekuatan militernya untuk mengamankan Jakarta, rakyat tetap berdatangan. Sejak pagi mereka telah memenuhi lapangan Ikada. Menurut Aboe Bakar Loebis, mereka datang dari pelbagai pelosok dan pinggiran Jakarta.
"[Dalam waktu singkat] lapangan Ikada sudah merupakan lautan manusia dan lautan merah putih,” imbuhnya.
Sambil menanti kedatangan para pemimpin Republik dan juga untuk menjaga semangat, mereka terus bernyanyi. Salah satu lagu yang mereka nyanyian adalah "Darah Rakjat".
“Dari pagi, di bawah terik panas matahari khas Jakarta, tidak minum, tidak makan, segala macam nyanyi perjuangan dan yel-yel sudah dikumandangkan,” ucap seorang letnan kolonel Jepang bernama Miyamoto, seperti kutip Harry Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid I Agustus 1945-Maret 1949 (2008).
Miyamoto menambahkan, massa rakyat yang berkumpul sebagian membawa senjata, sehingga rawan terjadi gesekan antara mereka dengan serdadu Jepang yang juga bersenjata. Sedikit provokasi bisa membuat lautan manusia itu berubah menjadi lautan darah.
Situasi genting ini disampaikan juga oleh Pramoedya Ananta Toer, salah seorang pengarang besar Indonesia yang saat itu hadir di lapangan Ikada. Dalam karyanya yang bertajuk Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (2000) seperti dikutip Poeze, Pram melihat ada massa yang bersenjata bambu runcing, keris, dan batu.
Bagi Pram, rapat raksasa Ikada begitu berkesan karena di hari itu rakyat Indonesia berani berhadap-hadapan dengan serdadu-serdadu Jepang, yang bisa saja menghunus bayonet dan mengarahkan kepada mereka.
“Itulah untuk pertama kali aku saksikan bagaimana orang Indonesia sama sekali tidak lagi takut pada Dai Nippon dengan militernya yang masyhur akan kekejaman dan kekejiannya,” tulis Pram.
Rakyat Menunggu Sukarno hingga Petang
Karena Sukarno dan para menterinya tak kunjung datang, maka Walikota Jakarta Soewirjo dan Ketua Komite Nasional Daerah Jakarta, Mr Moh Roem, mengambil alih tanggungjawab lautan manusia itu jika ada sesuatu yang tak diinginkan.
Sementara di tempat lain karena terus didesak oleh para pemuda, Sukarno akhirnya melunak.
“Saudara-saudara menteri, dengarkan putusan saya. Saya akan pergi ke lapangan rapat. Untuk menentramkan rakyat yang sudah berjam-jam menunggu. Saya tidak akan memaksa saudara-saudara untuk ikut saya,” kata Sukarno seperti ditulis Margono Djojohadikusumo dalam memoarnya.
Maka berangkatlah Sukarno beserta Hatta ke tempat rapat. Kedatangan mereka membuat suasana yang semula riuh menjadi senyap. Kepada massa yang berkumpul ia meminta untuk tetap tenang dan percaya kepada pemerintah.
“Kalau memang saudara percaya kepada Pemerintah Republik Indonesia yang akan mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan ini, walaupun kami akan robek karenanya, maka berikanlah kepercayaan itu kepada kami, dengan tunduk kepada perintah-perintah kami dan disiplin. Sesudah perintah kami ini, marilah kita sekarang pulang dengan tenang dan tentram," ucapnya.
Setelah pidato singkat itu, saat hari akan segera gelap, massa akhirnya menurut dan pulang secara baik-baik ke rumahnya masing-masing.
Di tengah lautan massa ternyata hadir pula Tan Malaka, tokoh yang dianggap sebagai dalang dari rapat raksasa, dan dipuja oleh para pimpinan pemuda di Jakarta.
“Di dekat Hatta berjalan seorang laki-laki bertopi helm—tutup kepala Tan Malaka yang tak pernah terlepas—yang kemudian juga berdiri bersama Sukarno di sekeliling podium,” tulis Poeze.
Menurut Aboe Bakar Loebis sebagai salah satu pemuda penggerak, peristiwa rapat raksasa itu adalah sesuatu yang luar biasa. Dalam Kilas Balik Revolusi (1992) ia menulis, “Peristiwa 19 September 1945 di Lapangan Ikada adalah satu puncak, satu manifestasi aspirasi rakyat yang tiada tara.”
Editor: Irfan Teguh Pribadi