tirto.id - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) memastikan bahwa Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) baru tetap bisa diterbitkan oleh lembaga penegak hukum usai penetapan tersangka dibatalkan sidang praperadilan. Sprindik baru bisa terbit untuk memperbaiki kesalahan di penyidikan pertama.
Pendapat MK tersebut muncul dalam putusan perkara gugatan uji materi Pasal 83 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang diajukan oleh tersangka kasus restitusi pajak PT. Mobile 8, Anthony Chandra Kartawiria.
Semula status tersangka Chandra dibatalkan oleh putusan hakim sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 29 November 2016. Akan tetapi, penyidik kejaksaan kemudian kembali menerbitkan Sprindik baru untuk dia. Chandra menuding Sprindik baru itu hanya memodifikasi sedikit materi penyidikan terhadap dirinya yang lama.
Karena itu, Chandra mengajukan gugatan itu. Dia beralasan Pasal 83 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dia merasa pasal itu membuat dirinya mengalami ketidakpastian hukum.
Namun, amar putusan MK pada Selasa (10/10/2017) menyatakan menolak permohonan gugatan uji materi yang diajukan oleh Chandra untuk seluruhnya, demikian dikutip Antara.
"Hal ini harus dipahami bahwa sepanjang prosedur penyidikan dipenuhi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, maka penyidikan baru tetap dapat dilakukan," ujar Hakim Konstitusi Anwar Usman ketika membacakan pertimbangan putusan Mahkamah di Gedung MK Jakarta, hari ini.
Putusan MK tidak sependapat dengan argumentasi pemohon yang menyebutkan bahwa persyaratan penetapan tersangka adalah menyertakan dua alat bukti baru yang sah dan belum pernah diajukan dalam sidang praperadilan, serta berbeda dari alat bukti sebelumnya yang berkaitan dengan materi perkara.
Sementara Mahkamah, dalam amar putusannya, berpendapat alat bukti yang digunakan pada penyidikan terdahulu baru dapat ditolak hanya karena alasan formalitas yang tidak terpenuhi.
"Alat bukti tersebut baru dapat dipenuhi secara substansial oleh penyidik pada penyidikan yang baru, dengan demikian sesungguhnya alat bukti dimaksud telah menjadi alat bukti baru," kata Hakim Anwar.
Oleh sebab itu, menurut Hakim Anwar, terhadap alat bukti yang telah disempurnakan oleh penyidik tersebut, tidak boleh dikesampingkan dan tetap dapat dipergunakan sebagai dasar penyidikan baru. Bukti itu sekaligus bisa menjadi dasar untuk penetapan kembali seseorang menjadi tersangka pidana.
Polemik mengenai penerbitan Sprindik baru usai penetapan tersangka dibatalkan oleh hakim sidang praperadilan belakangan menguat di kasus Setya Novanto. Belum lama ini, status Novanto sebagai tersangka korupsi e-KTP dibatalkan oleh Hakim Cepi Iskandar di sidang praperadilan. Tapi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengisyaratkan siap menerbitkan Sprindik baru untuk Ketua DPR RI itu.
Wacana Sprindik baru ditanggapi kuasa hukum Novanto dengan ancaman, Pengacara Ketua Umum Partai Golkar itu, Fredrich Yunadi mengancam akan melaporkan lima komisioner KPK apabila Sprindik baru untuk kliennya terbit. Alasan dia, penerbitan Sprindik baru menentang perintah pengadilan di sidang praperadilan.
Menanggapi Putusan MK terkait Sprindik baru itu, Juru Bicara KPK Febri Diansyah menilai isinya memuat sejumlah poin penting yang mendukung upaya penanganan kasus korupsi, termasuk perkara e-KTP.
"Ada beberapa poin yang penting bagi kerja KPK karena KPK sering diajukan ke praperadilan. Salah satu pertimbangan penting terkait penggunaan bukti yang pernah kami ajukan terkait substansi dan materi perkara masih bisa digunakan. Poin itu sangat membantu KPK," kata Febri.
Dia menyatakan bahwa selama ini praperadilan bersifat formil sehingga lembaganya meyakini dan memahami meski kalah praperadilan kasus pokok tidak akan berhenti.
“Jadi, MK menegaskan lagi kasus tak berhenti," ujarnya. "Sesuai putusan MK itu, praperadilan tak hentikan proses kasus korupsi (termasuk kasus Novanto).”
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Addi M Idhom