Menuju konten utama

Pukat UGM Mengecam Putusan Hak Angket DPR terhadap KPK

Pengajuan hak angket DPR terhadap KPK ini menurut Pukat adalah pelanggaran hukum dan akan mengganggu proses peradilan kasus dugaan korupsi e-KTP.

Pukat UGM Mengecam Putusan Hak Angket DPR terhadap KPK
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah (kanan) bersama Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Yenti Garnasih menjadi pembicara dalam diskusi Dialektika Demokrasi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (16/3). Diskusi tersebut membahas tema 'Perlukah Pansus Hak Angket e-KTP ?' ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.

tirto.id - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya setuju untuk mengajukan hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menyusul keberatan KPK yang menolak permintaan Komisi III DPR untuk membuka rekaman pemeriksaan Miryam S Haryani dalam kasus korupsi e-KTP.

Hak angket ini disetujui dalam Rapat Paripurna yang digelar hari ini Jumat (28/4/2017).

Langkah DPR ini mendapat kritik dari Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, yang dengan tegas menyatakan hak angket ini merupakan bentuk serangan balik dari DPR ke KPK.

“Hak angket ini tidak lebih dari serangan balik DPR ke KPK terkait e-KTP, kalau DPR memaksakan diri gunakan hak angket, DPR sedang melanggar hukum. Karena tidak ada dasar hukum yang bisa membuka keterangan Miryam di luar proses peradilan,” kata peneliti Pukat UGM Zaenur Rohman di Yogyakarta pada Jumat (28/4/2017).

Pukat menilai hak angket ini salah alamat karena ditujukan pada KPK, yang bukan lembaga pemerintah, tidak di bawah Presiden, sehingga tidak tepat apabila hak angket ditujukan pada KPK sebagai lembaga independen.

Pukat khawatir pengajuan hak angket ini akan mengganggu proses penegakan hukum.

“Selain karena salah alamat, materi yang ingin diketahui DPR adalah materi persidangan, yang hanya boleh dibuka di proses peradilan, sehingga apabila itu dibuka di proses politik, dikhawatirkan akan mengganggu proses penegakan hukum, khususnya upaya penuntasan kasus korupsi e-KTP yang melibatkan banyak sekali anggota DPR,” ujar Zaenur.

Menurut Zaenur, yang menarik adalah mengapa anggota dewan yang mengusulkan hak angket itu hanya ingin tahu siapa yang mengancam Miryam dalam pemeriksaan.

“Jadi ini tidak hanya soal serangan balik, tapi soal banyak politisi yg terlibat ingin menggunakan KPK untuk mengetahui siapa yang ada di balik semua ini,” lanjut Zaenur lagi.

Jika sampai dibuka, Pukat khawatir hal itu akan mengancam keselamatan Miryam, jaksa, para penyidik KPK dan orang-orang yang menjadi saksi kasus ini. Orang-orang yang disebut Miryam mengancam dirinya, menurut Zaenur bisa saja melarikan diri keluar negeri dan itu akan menjadi kerugian besar.

Sebelumnya, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang berlangsung pada Rabu (19/4/2017) lalu, sejumlah fraksi di DPR, seperti PDIP, Golkar, Gerindra, Demokrat, PPP, dan Nasdem telah menyetujui penggunaan hak angket tersebut. Sementara PAN, PKS, dan Hanura menyatakan mendukung dengan catatan akan berkonsultasi dengan pimpinan fraksinya, sedangkan PKB abstain karena wakilnya tidak hadir saat rapat.

Belakangan diberitakan Partai Gerindra, Demokrat, PKS, dan PKB ramai-ramai meminta anggota-anggotanya di DPR untuk menolak hak angket tersebut. Hal ini diperintahkan langsung oleh pimpinan partai masing-masing, seperti pimpinan Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono, pimpinan Gerindra Prabowo, dan Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini.

Namun dalam Rapat Paripurna yang digelar hari ini, DPR menyetujui untuk gunakan hak angket terhadap KPK. Fraksi DPR dari Partai Gerindra sempat mengajukan protes terhadap putusan, namun diabaikan oleh Pimpinan DPR.

Baca juga artikel terkait HAK ANGKET KPK atau tulisan lainnya dari Dipna Videlia Putsanra

tirto.id - Hukum
Reporter: Dipna Videlia Putsanra
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Dipna Videlia Putsanra