tirto.id -
Zaenur mengatakan hal tersebut masih terus langgeng terjadi sampai saat ini karena masih adanya patronase junior partai terhadap seniornya.
Apalagi kader yang melakukan korupsi itu diminta oleh elite partai yang jabatannya lebih tinggi.
Sehingga junior tersebut sangat sulit untuk menolak permintaan dari seniornya di partai tersebut.
"Saya sampaikan itu karena faktor senior. Semakin senior [jabatannya] sehingga juniornya itu patron kepada orang yang lebih senior," ucapnya kepada Tirto.
Zaenur menerangkan, dengan adanya patronase, membuat banyak kader yang ingin memiliki jabatan strategis di struktur partai.
Tetapi sayangnya, kader yang hanya memiliki kedekatan dengan para petinggi partai saja yang akan mendapatkan jabatan strategis.
Dibandingkan dengan kader yang berkualitas dan berdedikasi tinggi terhadap partai namun tidak memiliki kedekatan dengan pimpinan.
"Di internal partai sendiri gagal untuk diterapkan demokratisasi. Ini butuh reformasi partai agar dapat melakukan perbaikan partai," ucapnya.
Tak hanya faktor kedekatan, Zaenur menuturkan kader yang paling banyak berkontribusi memberikan uangnya kepada partai dalam skala besar saja yang akan dimudahkan untuk mengisi jabatan strategis.
"Padahal seharusnya kaderisasi partai untuk mengisi jabatan strategis bukan karena faktor kedekatan dan finansial saja," pungkasnya.
Senada dengan Zaenur, Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW Donal Fariz mengatakan patronase memang menjadi faktor penyebab Bowo Sidik menuruti apa yang menjadi permintaan Nusron.
Termasuk salah satunya diminta untuk menyiapkan amplop sebanyak 400 ribu yang diduga akan digunakan pada serangan fajar.
"Iya, itu [patronase] merupakan salah satu penyebabnya," ujarnya kepada Tirto.
Sehingga ia pun berharap agar Komisi Pemberantasan Korupsi segera mengusut kasus tersebut.
Ia juga meminta agar Bowo Sidik menyebutkan siapa saja orang yang terlibat dalam kasus tersebut.
"Kami berharap Bowo buka bukaan. Sampaikan saja siapa yang terlibat dan asal uang tersebut," pungkasnya.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Nur Hidayah Perwitasari