Menuju konten utama

Kasus Korupsi Bowo Sidik Buktikan Patronase Korup di Parpol?

Pengamat mengatakan patronase akut terjadi di tubuh partai. Dan kasus Bowo Sidik--yang menyeret nama Nusron Wahid--mempertegas itu.

Kasus Korupsi Bowo Sidik Buktikan Patronase Korup di Parpol?
Tersangka kasus dugaan suap distribusi pupuk, Bowo Sidik Pangarso bergegas menuju mobil tahanan seusai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Selasa (9/4/2019). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/ama.

tirto.id - Politikus Golkar, Bowo Sidik Pangarso, mengaku menyiapkan 400 ribu amplop berisi uang untuk 'serangan fajar' Pemilihan Umum 2019. Bowo mengaku semua dilakukan atas perintah Nusron Wahid, koleganya di Golkar.

"Saya diminta oleh partai untuk menyiapkan 400 ribu [amplop]. Nusron wahid meminta saya untuk menyiapkannya," kata Bowo, Selasa (9/4/2019).

Kini Bowo Sidik resmi jadi tersangka kasus suap dan gratifikasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Meski Nusron sendiri telah membantah, namun bagi peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM Zaenur Rohman, hal ini semakin mempertegas bahwa memang ada relasi patronase di tubuh partai di Indonesia. Relasi ini membuat para junior atau mereka yang jabatannya lebih rendah mau melakukan hampir apa pun yang dikatakan/diperintah orang yang ada di posisi lebih tinggi.

"Itu karena faktor senioritas. Juniornya itu patron kepada orang yang lebih senior," kata Zaenur kepada reporter Tirto, Rabu (10/4/2019).

Bowo Sidik memang junior Nusron di Golkar. Dalam konteks pemilu, misalnya, sebelum kasus ini Bowo Sidik menjabat Ketua Bidang Pemenangan Pemilu Jateng I, sementara Nusron Koordinator Bidang Pemenangan Pemilu Jawa dan Kalimantan.

Bowo Sidik sendiri tercatat mencalonkan diri menjadi anggota legislatif di daerah pemilihan Jateng II, sama seperti Nusron.

Zaenur bilang kalau kasus Bowo-Nusron semakin mempertegas relasi patronase karena kasus ini diduga tak hanya terjadi di Golkar, tapi partai lain.

Pada 2013 lalu, misalnya, Diana Maringka, Ketua Dewan Pimpinan Cabang Minahasa Tenggara Demokrat, mengaku dapat uang dari Ketua DPP Demokrat Umar Arsal terkait pemenangan Anas Urbaningrum. Umar sendiri ketika itu membantah.

Selain itu adalah nama Eni Saragih dan Idrus Marham. Dalam persidangan atas kasus PLTU Riau-1 pada 22 Januari lalu, Eni mengaku pernah meminta duit 3 juta dolar AS kepada Johannes B Kotjo. Duit akan dipakai untuk memenangkan Idrus Marham sebagai Ketua Umum Golkar menggantikan Setya Novanto.

Menurut Zaenur, patronase terjadi karena sistem di internal partai sendiri yang tak demokratis, meski misalnya menguntungkan kedua belah pihak. Yang senior mendapat uang atau sumber daya lain, yang junior cenderung punya karier bagus, dibanding, misalnya, mereka yang tak punya jejaring meski berkualitas.

Lantas terjadilah lingkaran setan itu: mereka yang dapat jabatan tinggi dengan cara demikian, akan melakukan hal serupa ke bawahannya.

Menurut Zaenur, ini semua terjadi karena partai gagal menerapkan atau bahkan tidak mengupayakan demokratisasi sama sekali.

"Dan ini butuh reformasi," kata Zaenur.

Selain sanggahan Nusron, yang belum jelas dari kasus ini juga adalah untuk apa amplop-amplop itu. Bowo Sidik belum menjelaskan apakah uang-uang itu dipakai untuk keperluan pemilihan presiden atau legislatif.

"Yang jelas partai kami [Golkar] mendukung 01 [Joko Widodo-Ma'ruf Amin," kata Bowo.

Baca juga artikel terkait OTT BOWO SIDIK atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Politik
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Rio Apinino