Menuju konten utama

Puan & Pimpinan DPR Masih Menahan Pembahasan RUU PPRT

RUU PPRT hingga kini belum dapat dibawa ke rapat paripurna DPR untuk disetujui sebagai RUU inisiatif DPR.

Puan & Pimpinan DPR Masih Menahan Pembahasan RUU PPRT
Sejumlah aktivis membawa poster di bawah kain lap raksasa yang dibentangkan dalam aksi damai memperingati Hari Pekerja Rumah Tangga di depan kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (15/2/2023). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/hp.

tirto.id - Ketua DPR RI Puan Maharani menyatakan rapat pimpinan (rapim) DPR RI memutuskan untuk menunda pembahasan Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) ke dalam rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR RI.

Puan mengklaim putusan penundaan bukan atas inisiatif dirinya, melainkan hasil kesepakatan bersama pada rapim DPR pada 21 Agustus 2021 lalu.

“Surat Badan Legislasi (Baleg) tentang RUU PPRT sudah dibahas dalam rapat pimpinan (Rapim) DPR tanggal 21 Agustus 2021,” kata Puan dalam keterangannya pada Kamis (9/3/2023).

Puan menjelaskan keputusan Rapim memutuskan untuk menunda membawa RUU PPRT ke rapat bamus karena DPR butuh sejumlah pendalaman terhadap RUU tersebut.

“Keputusan Rapim saat itu menyetujui untuk melihat situasi dan kondisi terlebih dahulu. Saat itu dirasa belum tepat untuk diagendakan dalam rapat Bamus dan masih memerlukan pendalaman,” ujarnya.

Akibatnya, RUU PPRT belum dapat dibawa ke rapat paripurna DPR untuk disetujui sebagai RUU inisiatif DPR.

“Oleh karenanya RUU PPRT belum diagendakan dalam Rapat Bamus untuk dijadwalkan dalam rapat paripurna untuk menyetujui RUU tersebut sebagai RUU Usul Inisiatif DPR,” ungkapnya.

Dalam hal ini, Puan berupaya menjelaskan kepada sejumlah pihak yang kecewa karena RUU ini belum juga disahkan menjadi undang-undang. Puan mengingatkan, pembahasan legislasi harus mengikuti mekanisme yang ada.

“Sesuai aturan, sebelum dibawa ke Rapat Paripurna harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dalam Rapat Bamus,” jelasnya.

Meski ditunda, dirinya menjanjikan akan mendengar aspirasi masyarakat dalam proses pengesahan RUU PPRT.

“DPR RI akan mempertimbangkan aspirasi dari masyarakat dengan memperhatikan situasi dan kondisi yang berkembang saat ini," ungkapnya.

Padahal, Presiden Joko Widodo sangat berharap DPR RI segera mengesahkan RUU PPRT menjadi undang-undang. Menurut Jokowi pengesahan ini perlu karena sudah sekitar 19 tahun RUU PPRT tak kunjung rampung, sehingga masyarakat yang menjadi pekerja rumah tangga tidak mendapatkan perlindungan hukum secara optimal dari pemerintah.

"Lebih dari 19 tahun RUU PPRT belum disahkan," kata Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui keterangan persnya pada Rabu (18/1/2023) lalu.

Menurut Jokowi, pertimbangannya ada sekitar 4 juta jiwa pekerja rumah tangga yang tersebar di seluruh Indonesia. Dan para pekerja itu, membutuhkan adanya aturan setingkat perundangan untuk memberikan jaminan hukum.

Dengan adanya perundangan itu, akan memastikan hak dari para pekerja rumah tangga dapat dipenuhi sesuai dengan aturan yang berlaku. Sehingga, pemberi kerja dan penyalur kerja dapat dapat mentaati aturan yang telah ditetapkan tersebut.

"RUU PPRT belum disahkan. Jadi hukum ketenagakerjaan di Indonesia saat ini tidak secara khusus dan tegas mengatur tentang pekerja rumah tangga," kata Jokowi.

Sementara itu, Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mengatakan pentingnya RUU PPRT agar segera disahkan menjadi undang-undang karena UUU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga belum mampu untuk melindungi pekerja rumah tangga sehingga membutuhkan payung hukum terpisah.

"Kehadiran Undang-Undang PKDRT saja tidak cukup untuk melindungi pekerja rumah tangga dan karena itu kita membutuhkan payung hukum yang terpisah untuk menegaskan pengakuan dan jaminan perlindungan bagi pekerja rumah tangga," kata Andy Yentriyani dalam webinar Catahu 2023 bertajuk "Kekerasan terhadap Perempuan di Ranah Publik dan Negara: Minim-nya Pelindungan dan Pemulihan", di Jakarta, Selasa 7 Maret 2023.

Menurutnya, kekerasan terhadap pekerja rumah tangga meskipun terjadi di dalam rumah, hal itu merupakan ranah publik sehingga tidak bisa dilindungi oleh UU PKDRT.

Andy Yentriyani menambahkan dalam kasus pekerja rumah tangga, hubungan antara majikan dan korban merupakan relasi yang sifatnya publik.

"Relasi antara korban dan pelaku, dalam hal ini majikan dan pekerjanya adalah sebuah relasi yang sifatnya publik, bukan personal, meskipun mereka tinggal satu atap," katanya.

Baca juga artikel terkait RUU PPRT atau tulisan lainnya dari Irfan Amin

tirto.id - Politik
Reporter: Irfan Amin
Penulis: Irfan Amin
Editor: Bayu Septianto