Menuju konten utama

PSI Minta Tarif Sewa SUJT Disepakati di Raperda Jaringan Utilitas

Fraksi PSI DPRD DKI berharap Raperda Jaringan Utilitas fokus dalam penyediaan jaringan utilitas yang aman, nyaman, dan berkeadilan bagi warga Jakarta.

PSI Minta Tarif Sewa SUJT Disepakati di Raperda Jaringan Utilitas
Pengendara bermotor melintas di samping proyek pembangunan saluran kabel utilitas di kawasan Jalan Otto Iskandardinata, Jakarta, Kamis (7/11/2019). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/aww.

tirto.id - Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta telah menyusun Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Jaringan Utilitas sebagai pengganti Perda No.8 Tahun 1999 yang sudah berusia 20 tahun lebih.

Menanggapi hal tersebut, Anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) William Aditya Sarana berharap nantinya aturan baru tersebut tidak hanya fokus pada kepentingan estetika kota saja, melainkan juga dalam penyediaan jaringan utilitas yang aman, nyaman, dan berkeadilan bagi masyarakat Jakarta.

“Perda Nomor 8 Tahun 1999 sepertinya perlu diperbaharui dan belum dapat berjalan maksimal. Kita masih menemukan banyak kabel-kabel saling silang, atau tiang-tiang yang berdempetan di pinggir jalan dan trotoar. Belum lagi, pelaksanaan pembangunan jaringan utilitas yang kurang terkoordinasi sering berakibat pada galian yang membuat kemacetan terjadi berulang kali,” kata William Aditya Sarana di Gedung legislatif, Jakarta Pusat, Selasa (19/10/2021).

PSI mengatakan Pemprov DKI sedang membangun Sistem Jaringan Utilitas Terpadu (SJUT) dengan menugaskan Jakpro dan Sarana Jaya. Sayangnya, ada perbedaan pendapat dengan operator yang akan menggunakan SJUT yang didasari oleh pengenaan besaran tarif sewa SJUT kepada operator.

Sebagai gambaran, tarif sewa yang dikenakan oleh Jakpro per Desember 2019 lalu menurut Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi (APJATEL) berubah drastis, dari sebelumnya Rp16.500 per 10 tahun menjadi Rp50ribu - Rp70 ribu per tahun. APJATEL mengungkap tingginya angka tersebut akan memaksa para operator untuk menaikkan biaya layanan internet pada konsumen.

Oleh karena itu, Fraksi PSI, kata William meminta Pemprov DKI Jakarta untuk berkoordinasi dengan APJATEL, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI), PT. Telkom Indonesia, dan PT PLN, serta pemangku kepentingan lainnya guna menyepakati tarif sewa tersebut.

"Jangan sampai gara-gara kurang koordinasi, maka ada peningkatan biaya pelayanan kepada masyarakat yang secara tidak langsung membuat biaya hidup warga Jakarta turut membengkak. Kalau bisa undang mereka ke rapat dengar pendapat,” ucapnya.

PSI juga meminta kepada Pemprov DKI untuk memastikan lokasi pembangunan SJUT sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), dan Peraturan Zonasi (PZ).

Pembangunan SJUT oleh Jakpro dan Sarana Jaya akan selesai pada akhir 2021 dengan target 68 ruas jalan dan panjang sekitar 213 kilometer sesuai Kepgub Nomor 645 Tahun 2021.

Namun, sayangnya penunjukan lokasi pembangunan tersebut belum mempertimbangkan RPJMD, RTRW dan RDTR, dan PZ. Padahal ketiga dokumen tersebut menjadi penting karena menjadi dasar pertimbangan Rencana Induk Jaringan Utilitas (RIJU).

Penunjukan lokasi pembangunan SJUT yang sedang berjalan sudah seharusnya punya dasar justifikasi yang jelas. Apalagi lokasi yang sedang dikerjakan pasti dimasukkan ke dalam RIJU.

"Lalu, apa mendasari penunjukkan lokasi tersebut? Apakah hanya ruas jalan yang didominasi oleh zonasi perkantoran, perdagangan dan jasa, dan zonasi campuran saja? Bagaimana dengan zona hunian?” tanya William.

Selanjutnya, PSI meminta pembangunan SJUT harus dibarengi dengan pembangunan trotoar yang merata dan berkeadilan. Tidak hanya pembangunan SJUT, PSI juga mendorong Pemprov DKI Jakarta untuk secara paralel menata dan membangun trotoar secara merata di seluruh Jakarta yang juga memperhatikan akses difabel dan lansia.

“Kami berharap pembangunan trotoar yang nyaman tidak hanya di jalan protokol atau di kawasan Sudirman-Thamrin yang dikelilingi bangunan megah dan gedung-gedung tinggi. Tapi juga di perkampungan atau perumahan yang tersebar di seluruh Jakarta,” tuturnya.

Menurutnya, pembangunan trotoar yang merata dan berkeadilan akan menjadi salah satu indikator bagus dalam perencanaan kota Jakarta, mengingat beberapa bulan lalu Jakarta dinobatkan sebagai kota dengan perencanaan terburuk versi situs arsitektur Rethinking The Future (RTF).

"Kami harap jangan sampai pembangunan masih terpusat tapi sudah seharusnya merata di seluruh Jakarta,” imbuhnya.

Terakhir, PSI meminta kepada Pemprov DKI untuk melakukan langkah alternatif untuk mempercepat pembangunan SJUT.

Dengan luasnya Jakarta dan besarnya kebutuhan SJUT, PSI meminta Pemprov DKI Jakarta aktif melakukan kerjasama dengan badan usaha dengan skema public private partnership (PPP).

"Tidak hanya melalui BUMD atau skema pelaksanaan kewajiban pemegang izin pemanfaatan ruang saja. Dengan pelibatan badan usaha maka penyelesaian SJUT akan berlangsung lebih cepat,” tukasnya.

Dengan kerjasama dengan badan usaha, PSI berharap dapat menghindari terulangnya kondisi pada 2020, dimana pekerjaan SJUT sempat terhenti total karena tidak adanya anggaran dari APBD. Pemprov DKI Jakarta dapat mencontoh beberapa kota dan negara lain yang telah sukses melaksanakan PPP.

“Jangan sampai rencana pembangunan SJUT tidak maksimal yang diakibatkan karena pemerintah kurang lihai dalam mencari alternatif penyelesaian,” pungkasnya.

Baca juga artikel terkait JARINGAN UTILITAS BAWAH TANAH atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Bayu Septianto