tirto.id - Teddy Kusnendy, 60 tahun, dianggap "tokoh masyarakat" Kampung Akuarium, terlihat berbincang dengan Ian Wilson, dosen politik Murdoch University, Australia, saat proses pemungutan suara Pemilu 2019 di dua TPS Kampung Akuarium, Rabu kemarin. Mereka tampak akrab layaknya kawan lama.
“Ngopi, Mister? Mau kopi apa?” tawar Teddy kepada Wilson. Wilson mengangguk dan memesan segelas kopi hitam.
Ujung ibu jari dan telunjuk kanan Teddy berwarna tinta ungu, tanda ia sudah mencoblos. Di sebelah Wilson, Dharma Diani, 43 tahun, menyimak perbincangan mereka, sesekali menimpali dengan semangat.
“Saya pilih Prabowo karena saya kira dia bisa dipercaya. Habis mau siapa lagi? Pilihannya cuma dua. Kalau ada tiga, mungkin yang ketiga yang saya pilih,” kata Teddy.
Teddy kecewa. Ia mengingat "kontrak politik" yang dibuat Joko Widodo bersama warga Kampung Akuarium pada pemilihan gubernur Jakarta 2012. Saat itu Jokowi berpasangan dengan Basuki Tjahja Purnama. Jokowi berjanji tak akan menggusur warga Kampung Akuarium, tapi akan memberikan sertifikat resmi untuk rumah dan tanah mereka. Alhasil, Jokowi-BTP menang sekitar 85-90 persen suara.
Kesuksesan itu berlanjut hingga Pilpres 2014 saat Jokowi berpasangan dengan Jusuf Kalla. Lagi-lagi, namanya masih mewangi di kampung dan berhasil mengantongi sekitar 75 persen suara.
Dua tahun setelahnya, Pemprov DKI nyatanya menggusur kampung yang bersebelahan dengan Museum Bahari itu. Ratusan rumah ludes. Begitupun kepercayaan Teddy terhadap Jokowi. Ia dan sekitar hampir 500 kepala keluarga di sana merasa dikhianati.
Teddy sempat ditawari tinggal di rusun bersama warga lain. Tapi ia memilih bertahan tinggal di tenda-tenda. “Demi perjuangan harus sakit. Tempat tinggal bukan buat tidur doang, tapi juga pekerjaan," kata Teddy. "Susah pekerjaan kalau di rusun. Sementara saya pekerjaannya nelayan."
Usai penggusuran, menurut warga, Jokowi sama sekali tak pernah menyambangi Kampung Akuarium. “Malu kali,” gumam Teddy.
Warga sempat ke Istana Merdeka untuk diagendakan bertemu Jokowi. Namun, pertemuan ini cuma berakhir suguhan teh manis tanpa kehadiran sang presiden.
“Kami tidak perlu wajah-wajah sederhana, merakyat. Kami butuh kepastian untuk mendapatkan hak tempat tinggal,” keluhnya, sembari meneguk lagi kopi hitam.
“Kalau 01 Menang, Siap-Siap Digusur Lagi”
“Nol dua!” seru Taopaz Juanda, Ketua KPPS TPS 040, saat proses perhitungan suara.
“Whoooooo!” sambut warga bersuka cita.
“Nol satu!”
“Huuuuuuu!” Kali ini teriakan warga lebih keras. Mencemooh.
“Serangan fajar itu. Serangan fajar.”
“Ceburin ke laut!”
“Siapa itu? Siapa itu?”
Beragam celetukan warga Kampung Akuarium terlontar saban Taopaz menyebut pasangan calon 01. Namun, semuanya masih dalam keadaan bergurau, yang disambut tawa warga lain.
Begitupun saat Dharma Diani berceloteh sebelum perhitungan suara di TPS itu. “Kalau 01 menang, siap-siap packing baju lagi. Siap-siap digusur lagi,” seru Diani kepada para tetangga yang berkumpul untuk menyaksikan perhitungan suara.
Ia sempat bergurau akan mencari warga yang mencoblos paslon nomor urut 01. “Gue cari itu siapa yang nyoblos. Marunda dan Luar Batang. 02 udah menang. Tidur semua,” katanya, disambut tawa warga.
Seumur hidupnya, Diani hanya mengenal satu tempat tinggal, yakni Kampung Akuarium, kawasan di Penjaringan, Jakarta Utara. Ia lahir dan besar di sini. Setelah menikah, ia dan suaminya mencicil membeli empat rumah dua lantai, juga di kampung itu, masing-masing seluas 6x9 meter persegi.
Pada April 2016, semua yang dimiliki Diani ludes. Pemprov DKI Jakarta, saat itu dipegang Basuki Tjahja Purnama, memutuskan meratakan semua bangunan di Kampung Akuarium.
“Jerih payah 20 tahun saya langsung menjadi nol lagi. Bahkan minus. Dan tanpa ganti rugi sepeser pun.” Diani bercerita dengan mata berkaca-kaca.
Ia mengingat hari penggusuran itu. Sekitar empat ribu personel aparat keamanan dikerahkan untuk "menertibkan" warga. Anjing-anjing pelacak dikerahkan memasuki kampung. “Memangnya kita ini apa? Kita di sini cuma 500-an KK. Itu pun setengahnya sudah minggat karena takut. Siapa yang bisa lawan? Di mana [rasa] manusiawi?”
Saat kampanye Pilgub 2012 dan Pilpres 2014, Diani mengaku ia berdialog langsung dengan Jokowi. Saat itu ia dan warga lain kesengsem dengan citra dan janji yang diberikan Jokowi. Namun, setelah penggusuran, segalanya berubah total.
Diani bukan hanya menuntut sertifikat resmi rumahnya di Kampung Akuarium. Menurutnya, itu hal kecil dan egois jika hanya mementingkan kepentingannya sendiri. Ia menuntut presiden terpilih nantinya "berpihak" kepada rakyat, terutama memenuhi hak memiliki tempat tinggal dan penghidupan layak.
Bergesernya pilihan politik Diani serta mayoritas warga Kampung Akuarium tak cuma karena menyampirkan harapan bahwa, jika presiden berganti, ia bisa mendapatkan sertifikasi tanah, tapi juga ia sulit memenuhi kebutuhan pokok akibat basis mata pencahariannya tergusur serta ia menilai kebijakan pemerintahan Jokowi "sembarangan". Maka, ia pun memilih Prabowo-Sandiaga.
“Ibarat kata, saya sudah mencicipi makanan dan itu enggak enak," ungkap Diani menggambarkan pilihannya lima tahun lalu kepada Jokowi. "Masak mau saya coba lagi? Mending saya pilih menu baru walaupun penuh risiko juga."
'Menyesal Pilih Jokowi'
Seorang wanita berusia sekitar 60 tahun, yang enggan menyebut nama aslinya, terlihat lemas setelah melihat hasil perhitungan cepat di stasiun televisi.
“Aduh bagaimana kalau bapakku kalah? Padahal kami udah nyoblos. Menang di sini. Aduuuuh….”
Duduk di teras musala di depan TPS 040, ia sesekali menyeka wajahnya yang berkeringat dengan ujung kain jilbab hitam. Ia mengurut dada. Raut muaknya kecewa. Matanya menerawang. Ia menyebut "bapak" untuk Prabowo Subianto, capres pilihannya.
Di Kampung Akuarium, ia berjualan warung kecil-kecilan. Namun, setelah penggusuran, ia praktis menganggur. Bahkan sekalipun ia mengerahkan semua kekuatan dalam dirinya, ia sulit membangun kembali warung miliknya yang dulu. Untuk tempat tinggal saja, ia harus bertahan di tenda darurat selama hampir dua tahun. Berdesakan dengan 103 kepala keluarga lainnya.
“Saya nyesel pilih Jokowi dulu. Saya enggak tahu di sampingnya itu si Ahok. Saya enggak kenal. Tahu [kalau] dia bakal gusur, saya enggak akan pernah pilih,” katanya.
Sementara Eka, warga lain di kampung tersebut, memilih emoh melihat hasil perhitungan cepat. Ia lebih baik menunggu hasil resmi dari KPU ketimbang hatinya kebat-kebit melihat kemenangan Jokowi-Ma’ruf.
“Bisa syok saya. Enggak mau liat, deh,” katanya sembari menggendong bayi.
Edi Rulianto, 50 tahun, sama gelisahnya. Ia mengomentari hasil perhitungan suara di kampungnya sendiri. Di TPS 040, Prabowo-Sandi berhasil meraup 163 suara. Sementara ada 32 suara yang memilih pasangan Jokowi-Ma’ruf. Di TPS 033 sebelahnya, Prabowo berhasil menggaet suara 148 suara, sementara Jokowi 15 suara. Jumlah itu di luar prediksinya.
“Saya enggak habis pikir, siapa itu yang pilih Jokowi? Apa dia enggak ada sakit hatinya? Kami sudah digusur begini,” keluh Edi.
Edi menceritakan kepada saya betapa hidupnya sulit di bawah tenda darurat selama hampir dua tahun. Setelah penggusuran, sebagian besar warga memang bertahan dengan mendirikan tenda darurat untuk tempat tinggal. Mereka membangun toilet komunal dari uang hasil pemberian donatur.
Dalam kurun tiga tahun terakhir, sedikitnya 20 warga Kampung Akuarium meninggal. Sebagian besar karena stres memikirkan rumahnya dibongkar.
Merebut Hati Warga Kampung Akuarium
Pergeseran suara di Kampung Akuarium dari Jokowi ke Prabowo menjadi signifikan setelah penggusuran. Pada Pilgub 2012, Jokowi mengantongi hampir 85 persen suara. Sementara saat Pilpres 2014, perolehannya menurun menjadi sekitar 75 persen. Pamor Basuki Tjahaja Purnama, kawan politik Jokowi, menukik tajam pada Pilgub 2017. Rivalnya, Anies Baswedan, berhasil merebut suara di kampung ini.
Memprotes penggusuran lewat jalur hukum, warga Kampung Akuarium melakukan gugatan atau class action ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Namun, gugatan itu dicabut pada Juni 2018 setelah Anies Baswedan, melalui keputusan gubernur, menjamin warga diizinkan kembali tinggal di kampung.
Sejak setahun terakhir, Gubernur Anies membangun shelter atau rumah semi-permanen untuk 103 KK, yang memilih bertahan di Kampung Akuarium. Masing-masing KK mendapatkan kamar seluas 3x5 meter persegi. Dan, dari ratusan KK itu, salah satunya adalah keluarga Diani, tinggal bersama suami dan keempat anaknya.
“Lebih mending sekarang. Dulu muka ibu-ibu di sini pada hitam legam terpanggang sinar matahari terus karena menginap di tenda,” ujar Diani.
Prabowo datang ke kampung ini sebelum ia mencalonkan diri sebagai capres 2019. Ia memberikan bantuan dan santunan setelah penggusuran. “Dia datang atas nama partai. Tapi sebenarnya, dia enggak pernah bilang soal dirinya yang ketua partai waktu ke sini,” kata Teddy Kusnendy.
Kampung ini jadi perhatian para peneliti dan wartawan internasional. Ian Wilson, yang menulis relasi politik jalanan dan politik formal dalam buku Politik Jatah Preman, menyempatkan datang ke kampung saat warga menggelar pemungutan suara. Wilson beberapa kali menyambangi Kampung Akuarium sejak penggusuran.
“Saya mau lihat saja perkembangannya,” kata Wilson.
Uemura Matsumi, jurnalis Jepang berusia 24 tahun dari The Daily Jakarta Shimbun, termasuk di antara wartawan yang berada di TPS Kampung Akuarium, 17 April kemarin. Ia tertarik meliput kampung ini karena sejarah politiknya. Selama 7 tahun terakhir, bagaimanapun, Kampung Akuarium menjadi titik mendidih dalam iklim politik ibu kota bahkan nasional.
“Kami tertarik karena dulu di sini banyak pendukung Jokowi. Lalu berubah setelah penggusuran,” ujar Matsumi.
Sama seperti alasan Matsumi, saya datang ke kampung ini buat menyaksikan tiga ratusan warga mencoblos hingga mereka merampungkan penghitungan suara. Saya pulang dengan membawa ucapan Teddy.
"Kami jangan dianggap sampah, dianggap tidak berguna oleh negara,” kata Teddy, suaranya melemah.
=====
Revisi: Judul artikel ini diubah dari semula 'Kampung Akuarium di antara Politik Kota Jokowi dan Prabowo'.
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Fahri Salam