tirto.id - Pusat Pelaporan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) mendeteksi perubahan pola dalam pengumpulan dan pengiriman dana terorisme di Indonesia. Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badarudin menjelaskan penggalangan dana terorisme kini semakin aktif memakai sarana media sosial dan menyasar sumbangan dengan nilai kecil tapi dari banyak sumber.
"Pembiayaan terorisme mengalami perubahan. Kalau dulu mulai dari pengumpulan dana biasanya jadi self fund, tapi sekarang juga melalui sosmed," kata Kiagus di Gedung PPATK, Jakarta, Selasa (19/12/2017).
Dia menjelaskan praktik pendanaan terorisme via media sosial itu mengadopsi metode crowd funding dan menggunakan promosi yang disamarkan. Akibatnya, proses pelacakan dana terorisme menjadi lebih sulit dan memakan waktu lama.
Karena pengiriman dana ke terduga pelaku teror tak terlalu besar, PPATK punya kendala dalam membedakan biaya itu untuk aksi terorisme atau kebutuhan hidup penerimanya. Oleh karena itu, PPATK sulit memberikan laporan pasti kepada Densus 88 apabila diminta mencari total biaya aksi terorisme suatu kelompok.
"Misal suspect (terduga teroris) ialah pemilik bengkel. Masuknya (dana) Rp10 juta, tapi masuknya ini kan macam-macam. Ada yang memang disumbangkan ke pelaku terorisme, ada yang memang buat bisnis," kata Kiagus.
Dia menambahkan perubahan pola juga terjadi pada pemakaian dana terorisme. Saat ini, penggalangan dana terorisme tidak lagi dikirim kepada organisasi tertentu atau untuk menggaji para pelaku teror. Tapi, dana biasa langsung dipakai untuk kegiatan teror. “Dibelikan senjata," kata Kiagus.
Kiagus membenarkan ada juga aliran dana dari luar negeri kepada para pelaku teror di Indonesia. Namun, jumlahnya kini juga tak banyak lagi.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Addi M Idhom