tirto.id - Dalam pertemuan dengan perwakilan Federasi Serikat Pekerja Perkebunan Nusantara (FSPBUN) di Istana, Jakarta, Kamis (21/2/2019), Joko Widodo mengemukakan rencana memberikan tanah 1.000 meter persegi (satu hektare) kepada masing-masing pegawai PTPN yang telah bekerja 10 tahun atau lebih.
Jokowi menyampaikan rencana ini langsung ke Menteri BUMN Rini Sumarno yang turut hadir dalam pertemuan tersebut.
"Jadi Presiden meminta saya untuk melihat bagaimana bila karyawan-karyawan dari perkebunan ini, yang sudah mengabdi 10 tahun ke atas, bisa mendapatkan lahan 1.000 meter persegi," kata Rini selepas pertemuan.
Rencana bekas Gubernur DKI Jakarta dan Wali Kota Solo itu ditentang sejumlah pihak. Di antaranya juru bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Viva Yoga Mauladi. Anggota DPR Komisi VI itu mengatakan lahan PTPN berstatus hak guna usaha dan tertulis dalam aset perusahaan. Konsekuensinya, tanah itu tidak bisa diserahkan begitu saja ke pihak lain.
"Aset BUMN tidak dapat diserahkan pengelolaannya ke pegawai PTPN karena di samping melanggar hukum juga akan mengurangi pendapatan atau penerimaan negara," kata Viva saat dihubungi reporter Tirto, Sabtu (23/2/2019).
Berdasarkan data yang dihimpun tim riset Tirto, PTPN XI yang beroperasi di Jawa Timur saja pada 2009 lalu sudah memiliki 14.160 karyawan. Dengan demikian, jika diasumsikan mereka masih bekerja sampai sekarang dan rencana Jokowi terealisasi tahun ini juga, maka PTPN XI harus melepaskan lahan 14.160.000 meter persegi.
Luasan lahan yang dilepas tentu akan bertambah besar seiring semakin banyaknya penerima.
Politikus PAN itu juga berpendapat rencana ini tidak sejalan dengan program reforma agraria melalui perhutanan nasional. Pasalnya, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang telah membuat masterplan tanah objek reforma agraria, dan tanah PTPN tidak termasuk di dalamnya.
Lagipula, dalam reforma agraria melalui perhutanan nasional, status hukum dari lahan yang akan dikelola penerima program hanyalah hak pengelolaan saja.
"Jadi status hukum lahan yang akan dikelola penerima program perhutanan sosial itu masih lahan milik Perhutani," katanya.
Ia pun khawatir akan timbul kecemburuan dari pegawai BUMN lain yang tidak mendapat perlakuan serupa pegawai PTPN.
PT Perkebunan Nusantara sendiri merupakan BUMN yang terdiri dari 14 perusahaan, mulai dari PT Perkebunan Nusantara I hingga XIV. Lokasi perkebunan tersebar mulai dari Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Lampung, Bandung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan.
Kritik juga datang dari Kepala Departemen Kampanye dan Manajemen Pengetahuan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Benni Wijaya. Benny menilai rencana Jokowi itu bisa memicu konflik horizontal dengan masyarakat sekitar karena awalnya lahan PTPN banyak yang merupakan hasil pengambilalihan lahan masyarakat.
"Ini bisa jadi konflik lagi. Karyawan PTPN berasal dari berbagai macam wilayah. Sementara kenyataannya tanah yang diserobot oleh HGU ini sudah lama digarap masyarakat," ujarnya kepada reporter Tirto.
Beni pun menilai seharusnya pemerintah lebih dulu menyelesaikan konflik agraria yang menyelimuti lahan garapan PTPN. Konflik kerap terjadi antara perusahaan pelat merah itu dengan masyarakat sekitar.
"Konflik agrarianya enggak pernah diselesaikan," ucap Benni.
Kalau memang ngotot bagi-bagi tanah, kata Benny, sebaiknya sasaran utamanya adalah masyarakat yang sempat kehilangan tanah. Prioritas kedua pun masih harus mengutamakan masyarakat yang benar-benar mengusahakan lahan itu jadi produktif.
Tim Jokowi: Jangan Curiga Dulu
Berbeda dengan narasumber lain, Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf, Irma Suryani Chaniago, menyambut baik rencana ini. Politikus dari Partai Nasdem itu menilai karyawan yang telah berkontribusi lebih dari 10 tahun memang layak mendapatkan penghargaan.
Ia bahkan merasa pemberian itu belum ada apa-apanya dibanding pengabdian mereka selama satu dekade terakhir (dan lebih).
"Saya kira presiden perlu diapresiasi. Itulah sejatinya pemimpin, bukan penguasa," katanya kepada reporter Tirto.
Terkait kritik soal status hukum, menurut Irma hal itu tak perlu dipikirkan karena pasti ada mekanisme tertentu yang memungkinkan rencana ini terealisasi. Ia pun meminta para pengkritik Jokowi tak perlu terus-terusan curiga.
"Enggak usah curiga dulu, kenapa? Negara hadir salah, tidak hadir salah. Terus maunya apa?"
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino