tirto.id - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai pemerintah tak serius menjalankan reforma agraria. Reforma yang dilakukan pemerintah selama ini dianggap tak menyelesaikan konflik lahan di masyarakat.
“Reforma agraria yang digagas Presiden Jokowi dan pemerintah itu bukan reforma agraria dalam konteks penyelesaian konflik. Jadi konfliknya sampai sekarang masih tidak terselesaikan dan hak atas tanahnya tetap tidak pernah kembali,” kata Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan YLBHI Siti Rakhma Mary di Kantor YLBHI, Jakarta Pusat, Selasa (8/1/2019).
Berdasarkan data YLBHI, konflik agraria yang terjadi pada 2018 mencapai 300 kasus. Kasus ini tersebar di 16 provinsi dengan luas lahan sengketa mencapai 488.404,77 hektare.
Konflik yang paling banyak muncul terdapat di sektor kehutanan dengan presentase 37 persen. Angka ini, menurut Mary, lebih besar dibandingakan dengan konflik lahan di sektor perkebunan, pertanian, pemukiman, dan energi.
Mary menjelaskan reforma agraria seharusnya dimulai dengan menyelesaikan konflik lahan, yang melibatkan warga dan perusahaan atau pihak terkait lain, berdasarkan hak masyarakat. Tanah yang disengketakan harus dicabut izinnya terlebih dahulu untuk kemudian dikuasai negara.
“Kemudian [harus] didistribusikan kembali ke masyarakat yang kehilangan tanah,” kata Mary.
Namun dalam konteks ini, reforma agraria tak berjalan. Mary menyebut pemerintah tak mau memberikan tanah yang disengketakan kepada masyarakat jika perusahaan yang diduga mencaplok lahan warga tak memberi izin. Akibatnya, distribusi lahan harus menunggu kerelaaan perusahaan.
Sikap pemerintah seperti ini dikritik YLBHI. Menurut Mary, tak akan pernah ada perusahaan yang rela memberikan lahannya kepada masyarakat dengan cuma-cuma.
“Mereka [perusahaan] mau [memberikan tanah] melalui jalan kemitraan. Itu ditolak masyarakat karena yang diminta itu hak atas tanah bukan kemitraan,” kata Mary.
Bentuk penyelesaian seperti ini disebut Mary terlihat dalam penyelesaian 37 persen sengketa lahan di sektor kehutanan. Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup tak memberikan lahan kepada masyarakat, melainkan dengan jalan program perhutanan sosial.
“Itu tidak ada yang dinamakan dengan penyelesaian konflik agraria,” kata Mary.
Reforma Bukan Pembagian Sertifikat
Selain mengkritik ketidakmauan pemerintah memberikan lahan kepada masyarakat, Mary juga mengkritik pembagian sertifikat. Menurutnya itu bukan bentuk reforma agraria.
Pembagian sertifikat ini terlebih dilakukan terhadap tanah yang memang jelas pemiliknya. Jika memang pembagian sertifikat ini ditujukan untuk menyelesaikan konflik lahan, Mary menyebut sertifikat seharusnya diberikan kepada masyarakat yang tanahnya ada dalam pusaran konflik.
“Reforma agraria yang dilakukan oleh pemerintah sekarang itu melakukan sertifikasi tanah masyarakat sendiri, bukan tanah-tanah hasil dari konflik. Itu sama sekali bukan reforma agraria,” kata Mary.
Bantahan Pemerintah
Kepala Biro Perencanaan dan Kerja Sama Sekretariat Jenderal Kementerian Agraria dan Tata the Ruang (ATR) Harison Mocodompis tidak menyangkal pandangan YLBHI. Ia mengakui banyak konflik agraria yang belum kunjung tuntas diurus.
“Kalau dibilang konflik-konflik masih terjadi, ya memang seperti itu. Logikanya, tanah-tanah tidak bertambah sedangkan kebutuhan masyarakat terus bertambah,” kata Harison kepada reporter Tirto, Rabu (9/1/2019).
Sejumlah upaya, kata Harison, sudah dilakukan pemerintah antara lain retribusi tanah dan pembahasan RUU Pertanahan. Selain itu, kata dia, ada sertifikasi yang juga dilakukan pemerintah.
Soal sertifikasi ini, Harison menampik pandangan Mary dan YLBHI. Menurut dia, sertifikasi justru langkah pemerintah dalam meminimalisir konflik dan merupakan bagian konsesi reforma agraria.
“Justru dengan terdaftarnya seluruh tanah di republik ini, itu menghindari konflik, memberikan kepastian hukum. Ini berangsur-angsur menjadi lebih baik,” jelas Harison.
Pendapat Harison didukung politikus PPP sekaligus anggota Komisi II DPR Achmad Baidowi. Menurut Baidowi, pembagian sertifikat merupakan salah satu cara buat mengurai dan mencegah konflik agraria.
“Konflik agraria bermula dari tidak jelasnya kepemilikan lahan yang berujung saling caplok. Maka kalau sudah diadministrasikan dalam bentuk sertifikat, lahan itu jelas miliknya siapa," jelas Baidowi kepada reporter Tirto, Selasa petang.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Mufti Sholih