tirto.id - Mabes Polri mengklaim tidak ada korban jiwa dalam insiden bentrok antara aparat keamanan gabungan dengan warga Pulau Rembang, Batam, Riau pada Kamis (8/9/2023). Insiden itu terjadi saat penjagaan proses pengukuran untuk pengembangan kawasan Rempang Eco City di wilayah itu.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Ahmad Ramadhan mengatakan, kepastian tak ada korban jiwa setelah polisi melakukan pengecekan.
"Sekali lagi tidak ada korban, baik di pihak masyarakat maupun di aparat keamanan. Jadi itu tidak benar ada siswa pingsan, kemudian apalagi ada yang menginformasikan seorang bayi meninggal, itu tidak benar. Kita sudah lakukan pengecekan itu tidak benar," kata Ramadhan di Mabes Polri, Jumat (8/9/2023).
Ramadhan mengatakan peristiwa yang terjadi karena tindakan pengamanan oleh aparat kepolisian dengan menyemprotkan gas air mata. Gas air mata itu tertiup angin, sehingga menyebabkan warga terganggu penglihatannya.
"Ketiup angin sehingga terjadi gangguan pengelihatan untuk sementara. Pihak Polda Kepri sudah membantu untuk membawa ke tim kesehatan," tutur Ramadhan.
Lebih lanjut, Ramadhan mengatakan perihal delapan warga yang ditangkap karena membawa senjata tajam, ketapel hingga membawa benda berbahaya lainnya.
"Terkait beberapa orang yang diamankan oleh pihak aparat keamanan, kami sampaikan ada delapan orang. Mengapa diamankan? Karena delapan orang tersebut membawa beberapa senjata tajam, ada yang membawa ketapel, ada yang membawa batu dan membawa barang-barang atau benda-benda yang berbahaya," tukas Ramadhan.
Ia juga memastikan kepolisian beserta aparat keamanan lainnya berusaha mengedepankan dialog, menjembatani, menengahi antara warga masyarakat dan pihak BP Batam. "Tentu semua ini kepentingannya adalah untuk kepentingan masyarakat," tutup Ramadhan.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Kepri Kombes Zahwani Pandra Arsyad mengatakan, insiden di Pulau Rempang semula karena Badan Pengusahaan (BP) Batam hendak merencanakan untuk melakukan tiang pancang di lokasi pembangunan.
Pandra mengatakan, beberapa kali dari tim terpadu akan melakukan pengukuran dan pematokan. Namun, ada sejumlah kelompok masyarakat selalu menghalang-halangi dan mengatakan tidak setuju rencana proyek Rempang Eco City.
"Jadi, mereka sudah mengatasnamakan satu kelompok-kelompok dan ini yang membuat menghasut. Padahal, sebenarnya dari kegiatan ini sudah ada beberapa badan usaha kemudian perorangan sudah sukarela menyerahkan kepada pemerintah dalam hal ini dari BP Batam untuk dilakukan proses pembangunan dalam jangka ke depannya untuk mereka mendapatkan cara kehidupan yang lebih baik," kata Pandra saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (8/9/2023).
Perwira menengah Polri itu mengklaim rencana baik itu justru dihasut oleh sejumlah pihak lewat sosial media.
Narasi-narasi yang kerap digaungkan, kata dia, tertindas dan lain-lain. Padahal, kawasan itu, semula merupakan kawasan hutan, sedangkan tak jauh dari situ ada otoritas BP Batam.
"[Tapi] ini dikacaukan situasi-situasi seperti ini dibuatlah di sosmed bahwa kami tertindas, kami sebagai warga Rempang. Padahal, itu kawasan hutan. Awalnya itu kawasan hutan," ucap Pandra.
Ia mengklaim BP Batam juga telah menyiapkan relokasi dan ganti rugi kepada warga setempat. Namun, masyarakat tetap menolak.
"Sudah disiapkan, itu kemarin itu sedang melakukan pematokan dan juga pengukuran, tetapi dihalang-halangi oleh sekelompok masyarakat," jelas Pandra.
Lebih lanjut, ia mengatakan perihal penggunaan gas air mata yang berujung ricuh antara warga Rempang dan aparat sejatinya sudah sesuai standar operasional prosedur (SOP).
Pandra mengatakan semula masyarakat dinegosiasi oleh tim Polwan. Namun, warga tetap menghalangi. "Kedua adalah tim Samapta, menghalau, masih kita bertahan jangan sampai dibubarkan," tukas Pandra.
Permasalahannya, kata dia, warga menuduh aparat menghalau jalan dan menghasut melalui sosial media. Kemudian, ratusan warga datang dengan niat bentrok sama aparat keamanan.
"Mereka membawa bom molotov, sebongkah batu, ketapel bahkan membawa senjata tajam yang diarahkan ke petugas," klaim Pandra.
Semula aparat sudah berusaha membubarkan massa dengan negosiasi. Namun, tak diindahkan. Lalu, petugas berusaha membubarkan dengan menyemprotkan dengan water cannon. "Dari water cannon tetap gak mau kita pakai gas air mata," kata Pandra.
Pandra menambahkan jika ada warga yang terluka, itu hanya dampak. Sebab, asap gas air mata mengarah ke salah satu sekolah.
"Polisi bukan ngejar-ngejar ke sekolah, justru polisi yang mengevakuasi terhadap anak-anak sekolah ke rumah sakit dan datanya ada di kita ada 11 orang. 1 orang guru, dan 10 siswa. Sudah kembali seperti biasa," klaim Pandra.
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Anggun P Situmorang