tirto.id - Setelah pasangan calon Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mendeklarasikan diri sebagai bakal capres-cawapres pada 9 Agustus 2018 lalu, marak beredar polling Pilpres 2019 di media sosial, terutama Twitter. Baik oleh akun pribadi, maupun lembaga.
Di antaranya adalah polling yang diselenggarakan penyanyi Iwan Fals @iwanfals, Indonesia Lawyers Club @ILC_tvOnenews, dan Faizal Assegaf @faizalassegaf. Semua polling ini dilakukan melalui Twitter.
Hasil final polling Iwan Fals, misalnya, mendapatkan data sekitar 67 persen memilih Prabowo-Sandiaga, 27 persen memilih Jokowi-Maruf dan 6 persen golput. Lalu, Indonesia Lawyers Club (ILC) yang juga telah final pasangan Prabowo-Sandiaga mendapatkan angka 63 persen dari 110.279 responden. Jokowi-Maruf mendapat 26 persen, sedangkan golput 10 persen.
Sementara, hasil polling Faizal Assegaf mendapatkan angka 66 persen untuk pasangan Jokowi-Maruf, 32 persen untuk Prabowo-Sandiaga, dan 2 persen ragu-ragu atau golput. Polling ini masih berlangsung sampai tiga hari ke depan.
Namun demikian, rupanya hasil polling tersebut tak sepenuhnya diamini netizen. Ketua DPP PSI, Tsamara Amany yang aktif di Twitter menilai hasil polling itu tidak dapat dijadikan potret suara di Pilpres 2019, meskipun hanya suara netizen dan pengguna Twitter.
"Saya pikir kalau mau melihat potret suara milenial dan netizen gunakanlah metode yang jelas. Karena polling semacam itu tidak punya gambaran jelas sampelnya dan metodenya bagaimana,” kata Tsamara kepada Tirto, Selasa (14/8/2018).
Sebaliknya, Tsamara menyatakan polling semacam di atas hanyalah alat untuk melakukan pendekatan terhadap calon pemilih dan memancing daya partisipasi publik. “Kalau kami sih sebenarnya tidak berpatok pada polling. Lebih kepada penyediaan konten kreatif, informasi, dan workshop-workshop offline kepada milenial," kata Tsamara.
Pendapat berbeda disampaikan Ketua Divisi Hukum DPP Partai Demokrat, Ferdinand Hutahaean yang aktif di Twitter juga. Menurutnya, meskipun tak bisa dijadikan potret suara riil, tapi polling Twitter merupakan wujud animo masyarakat.
"Polling yang marak di Twitter itu adalah bentuk dari animo masyarakat secara umum, sepanjang itu tidak dikotori oleh akun-akun robot,” kata Ferdinand kepada Tirto.
Bahkan, menurut Ferdinand, bukan hanya memotret keinginan milenial saja, tapi juga segmen-segmen lainnya. Sebab, menurut dia, pengguna Twitter juga berasal dari berbagai kalangan. Dari yang tua sampai muda.
"Sebagai acuan memotret situasi psikologis rakyat, bisa digunakan,” kata Ferdinand.
Lantas sebenarnya bagaimana cara memandang polling di Twitter?
Peneliti dari LSI Denny JA, Rully Akbar menyatakan, polling di Twitter sama sekali tidak bisa digunakan sebagai potret suara riil maupun kecenderungan dukungan publik dalam Pilpres 2019 mendatang. Alasannya, secara metodologi tidak jelas, misalnya sampel dan sebarannya yang acak. Belum lagi soal margin of error yang sulit ditentukan.
“Secara metodologi tidak jelas. Jumlah sampel, segmen sampel, sebaran sampel, sampai margin of error tidak bisa ditentukan,” kata Rully kepada Tirto.
Sementara, kata Rully, sebuah survei harus memenuhi kaidah dan metodologi yang ditentukan dalam ilmu statistik, termasuk survei politik. “Makanya kalau kami pakainya multistage random sampling, margin of error dan tingkat kepercayaan biar bisa dipertanggungjawabkan," kata Rully.
Rully pun menilai polling-polling di Twitter tersebut sekadar berfungsi untuk mempengaruhi opini publik, terutama pengguna media sosial. Menurut dia, hal itu wajar mengingat medsos saat ini cukup efektif sebagai medium kampanye.
“Itu wajar ya kalau mempengaruhi opini. Misalnya, Prabowo yang menang, itu bisa menambah kepercayaan warganet kepada yang bersangkutan,” kata Rully.
Hal senada diungkapkan Pengamat Media Sosial, Nukman Luthfi. Menurut dia, fungsi utama polling memang untuk menggiring opini. Untuk itulah, kata dia, banyak akun robot yang turut disertakan dalam polling di media sosial.
“Akun robot itu akun yang sengaja dibuat dengan mesin. Fungsinya untuk mempengaruhi opini sesuai kemauan pembuatnya. Biasanya hanya untuk membantu memviralkan opini tertentu. Di Twitter metodenya ya retweet," kata Nukman kepada Tirto.
Penggunaan akun robot ini, menurut Nukman, sudah dilakukan sejak media sosial hadir dan tidak hanya untuk kepentingan politik saja, melainkan juga untuk kepentingan promosi bisnis dan sejenisnya.
“Jadi ya begitu, memang jadi salah satu bisnis di sosial media,” kata Nukman.
Akan tetapi, kata Nukman, akun robot berbeda dengan akun anonim. “Akun anonim masih manusia. Kalau robot, ya robot,” kata Nukman.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Abdul Aziz