Menuju konten utama

Polda Metro & Kejati Digugat Rp750 Juta sebab Salah Tangkap Anak

LBH Jakarta menuntut agar Majelis Hakim Praperadilan menghukum Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya dan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta terkait kasus penangkapan hingga penyiksaan dua anak Andro dan Nurdin, yang sempat menjadi terpidana kasus pembunuhan Diki Maulana di Cipulir, Tangerang Selatan.

Polda Metro & Kejati Digugat Rp750 Juta sebab Salah Tangkap Anak
ilustrasi kekerasan pada anak.foto/shutterstock.

tirto.id - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menuntut agar Majelis Hakim Praperadilan menghukum Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya dan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta terkait kasus penangkapan hingga penyiksaan dua anak Andro dan Nurdin, yang sempat menjadi terpidana kasus pembunuhan Diki Maulana di Cipulir, Tangerang Selatan.

"[Menuntut] untuk meminta maaf dan menyatakan mereka telah melakukan salah tangkap, salah proses, dan penyiksaan terhadap para anak-anak pengamen Cipulir, dan memerintahkan negara [Kementerian Keuangan Republik Indonesia] untuk memberikan ganti rugi materiel dan imateriel terhadap anak-anak yang kini sudah dewasa tersebut," tegas pengacara anak-anak tersebut, Okywiratama, dalam keterangan tertulis pada Rabu (17/7/2019).

Hari ini, Selasa (17/7/2019) akan dilangsungkan Sidang Perdana Praperadilan ganti rugi terhadap Kejati DKI dan Polda Metro Jaya.

"Mengajukan permohonan praperadilan ganti kerugian dengan pihak Kepolisian RI dan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta sebagai Termohon dan Kementerian Keuangan RI sebagai Turut Termohon," kata Okywiratama.

Okywiratama pun menyampaikan bahwa total ganti rugi yang diminta senilai Rp750,9 juta. Nilai tersebut dihitung dari ganti rugi materiel senilai Rp662,4 juta dan imateriel senilai Rp88,5juta.

Anak-anak pengamen Cipulir, yakni Fikri (17), Fatahillah (12), Ucok (13), Pau (16)) ditangkap oleh Unit Kejahatan dengan Kekerasan (Jatanras) Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya pada Juli 2013 dengan tuduhan membunuh sesama pengamen anak bermotif berebut lapak mengamen.

"Tanpa bukti yang sah secara hukum mereka, kemudian ditangkap dan dipaksa mengaku dengan cara disiksa semasa berada di dalam tahanan Kepolisian. Dengan bermodalkan pengakuan dan ”skenario" rekayasa hasil penyiksaan, mereka kemudian diajukan ke pengadilan oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta sehingga harus merasakan dinginnya jeruji penjara sejak masih kanak-kanak," jelas Nelson.

Namun, akhirnya terbukti di persidangan bahwa mereka bukanlah pembunuh korban. Mereka kemudian dinyatakan tidak bersalah oleh Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 131 PK/Pid.Sus/2016.

"Total, mereka sudah mendekam di penjara selama 3 tahun atas perbuatan yang tidak pernah mereka lakukan, ditambah mereka hanyalah anak-anak yang dengan teganya disiksa oleh Kepolisian dengan cara disetrum, dipukuli, ditendang, dan berbagai cara penyiksaan lainnya," ungkap Okywiratama.

Melalui Peninjauan Kembali, MA menyatakan ”bahwa alasan penyiksaan, tidak ada pendampingan Penasihat Hukum sehingga keterangan tersebut terpaksa dikarang dan tidak sesuai dengan fakta dapat dibenarkan karena Para Terpidana masih anak-anak yang gampang untuk ditakut-takuti dan tidak ada saksi lain yang mendengar sendiri, melihat sendiri, atau merasakan sendiri pada saat kejadian. Oleh karena itu, tidak diperoleh bukti yang cukup untuk menyatakan Para Terpidana sebagai pelaku tindak pidana pembunuhan terhadap korban”.

Baca juga artikel terkait SIDANG PRAPERADILAN ANAK atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Hukum
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Maya Saputri