tirto.id - Anggota Jaringan Masyarakat Sipil (JMS) Pengawal Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS), Mike Verawati menanggapi terkait hanya Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) yang menolak RUU TPKS untuk disahkan menjadi UU dan dilanjutkan ke tingkat kedua di rapat paripurna mendatang.
Sebelumnya, dalam rapat pleno pengambilan keputusan tingkat pertama RUU TPKS, Anggota Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (Baleg DPR RI) Fraksi PKS, Al Muzammil Yusuf memberikan alasan mengapa fraksinya menolak RUU TPKS.
“Sebelum didahului adanya pengesahan RUU KUHP [Kitab Undang-Undang Hukum Pidana] dan atau pembahasan RUU TPKS ini dilakukan bersama dengan pembahasan RUU KUHP dengan melakukan sinkronisasi seluruh tindak pidana kesusilaan yang meliputi segala bentuk kekerasan seksual, perzinaan, dan penyimpangan seksual,” jelas dia dalam rapat tersebut di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (6/4/2022).
Menurut Mike, soal perzinaan yang ingin dimasukkan Fraksi PKS ke dalam RUU TPKS memang konteksnya sulit. “Definisi kekerasan seksual ini hadir sebagai konteks pidana. Sehingga pengaturan zina menjadi kontraproduktif untuk diatur,” kata dia kepada Tirto, Jumat (8/4/2022).
Mike juga mengatakan bahwa ketakutan soal penyimpangan seksual atau soal ketakutan soal lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) juga tidak relevan. Karena ini hal yang berbeda dengan konteks kekerasan seksual (KS). “Pun ketika pelaku atau korban yang LGBT masuk dalam konteks, maka ini persoalan pidananya bukan orientasi seksualnya,” sambung dia.
“Kesusilaan yang diminta diatur ini dalam RUU TPKS sepertinya juga tidak relevan dengan kepentingan pidana KS. Sebab kesusilaan hal yang berbeda, dan mungkin itu diteruskan saja diatur dalam KUHP,” imbuh Mike.
Meski demikian, dia menyebut JMS mengapresiasi penuh kerja parlemen dan pemerintah dalam proses penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU TPKS. Proses selama ini menunjukkan sebuah gambaran proses politik dan kebijakan yang memperlihatkan kerja kolaborasi pemerintah, parlemen, serta masyarakat sipil yang terbuka dan partisipatif.
“Yang sebenarnya jika kita lihat ada beberapa proses kebijakan diproses dengan minimnya keterlibatan masyarakat sipil. Meskipun dalam perjalanannya proses ini tidak mudah. Tetapi menunjukan bahwa komitmen semua pihak sangat kuat untuk memastikan korban kekerasan seksual adalah menjadi perhatian bersama,” ujar Mike.
Dia juga mengatakan JMS menyesalkan, bahwa pengaturan perkosaan tidak diatur secara komprehensif dalam DIM RUU TPKS. “Padahal jika kita melihat, jenis perkosaan ini adalah jantung dari jenis kekerasan seksual yang menjadi spirit mengapa RUU TPKS ini diperjuangkan,” tutur Mike.
Namun, lanjut dia, sayangnya argumentasi pemerintah justru pengaturan perkosaan diminta utuk diperjuangkan dalam Revisi KUHP (RKUHP), di mana belum menjadi jaminan apakah bisa sesuai untuk menutupi gap yang belum diatur di dalam RUU TPKS. “Sementara hari ini korban kekerasan seksual dalam konteks pemerkosaan juga makin tinggi,” ungkap Sekretaris Jenderal (Sekjen) Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) itu.
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) juga merespons soal hanya PKS yang menolak RUU TPKS untuk disahkan menjadi UU dan dilanjutkan ke tingkat kedua di rapat paripurna. “Justru kalau pasal perzinahan ini diatur seperti yang diinginkan Fraksi PKS, ini malah bisa mendiskriminasi dan mengkriminalisasi orang-orang yang pernikahannya itu sulit untuk dicatatkan,” ujar Peneliti dari PSHK, Johanna Poerba kepada Tirto yang dikutip hari ini.
Penulis: Farid Nurhakim
Editor: Maya Saputri