tirto.id - PT Kioson Komersial Indonesia Tbk. (KIOS) dilabel sebagai startup pertama di Indonesia yang melantai di bursa. Startup ini masih merugi semenjak mereka lahir 2015 lalu. Namun, keputusan Kioson memilih dan mendapatkan dana segar di lantai bursa menjadi pembeda dibandingkan startup lain.
Startup yang mencoba mencari sumber pendanaan di bursa memang tak biasa. Umumnya geliat startup masih mengandalkan dana venture capital atau modal ventura
“Saya bangga ada Kioson, kemarin ada Mcash, masuk ke bursa saham. Umumnya kalau masuk bursa saham harus untung dua tahun. Di Indonesia sudah berubah cara pandangnya. Itu suatu hal yang sangat positif sekali,” kata Jonathan Sudharta, Chief Executive Officer Halodoc.
Baca juga:Menanti Pembuktian Startup Pertama di Bursa
Di luar negeri, startup yang mencari sumber pendanaan melalui bursa saham bukan hal baru. Garena, startup asal Singapura yang kini berubah nama menjadi SEA. Ia melakukan pelepasan saham perdana atau initial public offering (IPO) di New York Stock Exchange. Garena memperoleh dana sebesar $884 juta. Garena memiliki tiga merek utama yaitu Garena, Shopee, dan AirPay, merupakan startup bergelar unicorn atau perusahaan teknologi dengan valuasi lebih dari 1 miliar dolar.
Baca Juga:Kecil-Kecil Berani IPO
Capaian Garena dalam memperoleh modal dari bursa memang tak bisa disandingkan dengan Kioson yang hanya meraup $3,3 juta atau sekitar Rp45 miliar dari IPO. Jumlah ini setara dengan rata-rata dana Seri B dari Venture Capital pada startup-startup di Indonesia. Pendanaan seri B di Indonesia berkisar di angka Rp22-80 miliar.
“Itu jumlahnya nggak banyak. Itu kalau mau cari dari Chinese Capital juga gampang,” ucap Dea Surjadi, Business Development Golden Gate Ventures.
Pertanyaan adalah dari mana startup seharusnya mendapatkan pendanaan modal?
Sumber modal dari Venture Capital dan bursa saham memberikan ruang gerak yang berbeda bagi para startup. Fleksibilitas gerak menjadi acuan yang tidak bisa dihindarkan. “IPO kan geraknya udah beda, udah transparan publik. Habis itu mau dibawa kemana, itu pertanyaan besarnya. Kalau private lebih fleksibel,” kata Dea.
Antonio Davila dalam jurnalnya berjudul “Venture-Capital Financing and the Growth of Startups Firms” mengatakan bahwa terdapat perbedaan yang mencolok antara startup yang didukung dengan Venture Capital dengan yang didukung oleh permodalan tradisional. Umumnya, pada startup yang didukung Venture Capital jauh lebih inovatif dibandingkan startup yang ditopang dari pendanaan lainnya.
Alasannya karena selain menanamkan modal, Venture Capital juga menaruh sumber daya manusia pada startup yang diberi modal. Menurut Davila, startup yang didukung Venture Capital tumbuh lebih cepat bila dibandingkan startup yang mendapat sumber dana dari yang lain. Selain itu, reputasi Venture Capital juga akan memengaruhi startup yang didukungnya. Makin besar nama yang mendukung, makin mudah menuju kejayaan bagi startup yang mendapat kucuran dana.
Sementara itu, Alon Brav dalam jurnalnya berjudul “Myth or Reality? The Long-Run Underperformance of Initial Public Offering” Evidence from Venture and Nonventure Capital-Backed Companies” mengatakan bahwa startup yang didukung Venture Capital, saat startup tersebut melakukan IPO, cenderung memiliki kinerja yang jauh lebih baik daripada startup yang tidak didukung Venture Capital.
Kesimpulan ini ia dapat setelah meneliti 934 startup yang didukung Venture Capital dan kemudian melakukan IPO, ia lalu membandingkan dengan 3.407 startup yang tidak didukung oleh modal Venture Capital dan kemudian melakukan IPO. Mencari modal dari Venture Capital, artinya tak melulu berperkara dengan uang. Kekuatan sumber daya manusia yang dimiliki Venture Capital akan memberikan tambahan kekuatan bagi suatu startup.
Sedangkan menurut Dea, idealnya startup mencari pendanaan awal dari Venture Capital, setelah mereka membesar, bisa melakukan IPO di bursa saham. Ini lazim dilakukan oleh startup di luar negeri.
“Harusnya Ventur Capital, IPO itu sebenarnya you want to go public itu kalau sudah besar. Angkanya dana yang didapat juga lebih besar. Sebelum ke sana ya Venture Capital. Kayak Garena lah, sudah gede listing di Nasdaq,” kata Dea.
Awal Venture Capital
Venture Capital tengah naik daun sebagai sumber modal para startup di banyak negara tak kecuali Indonesia. Perkembangannya sudah muncul sejak beberapa dekade lalu. Ihwal Venture Capital, merujuk apa yang diungkapkan Paul Gompers dalam jurnalnya berjudul “The Venture Capital Revolution” muncul kali pertama pada 1946.
Baca juga:Ramai-Ramai Tanam Uang di Startup
American Research and Development (ARD) merupakan Venture Capital pertama yang didirikan oleh Karl Compton, yang merupakan President Massachusetts Institute of Technology dan George F. Doriot, profesor di Harvard Business School.
ARD awalnya melakukan investasi tinggi risiko dengan memberikan dana pada perusahaan berbasis teknologi yang sedang mengembangkan perangkat bagi Perang Dunia II, Digital Equipment Company (DEC). ARD mengucurkan dana sebesar $70 ribu pada DEC. Dalam perkembangannya, DEC menjadi perusahaan dengan nilai valuasi $355 juta.
Peranan Venture Capital tak melulu memberikan dana untuk menyokong startup berbasis teknologi. Namun, capaian Venture Capital terus berkembang dan sukses sebagai sumber dana startup untuk perusahaan teknologi dalam rentang 1980-an dan 1990-an. Sehingga Venture Capital melekat sebagai penopang perkembangan perusahaan teknologi. Di penghujung dekade 1990-an, hampir 60 persen dana yang disumbang Venture Capital masuk ke startup berbasis teknologi. Sebanyak 10 persen dana lainnya, meluncur pada startup kesehatan.
Di rentang dua dekade tersebut nama-nama perusahaan besar seperti Apple Computer, Cisco Systems, Genentech, Microsoft, Netscape, dan Sun Microsystems, tercipta berkat bantuan Venture Capital.
Di abad ke-21, Venture Capital masih memainkan peran untuk perkembangan dunia startup teknologi di tengah sumber pendanaan lainnya seperti bursa saham. Keduanya bisa jadi kekuatan modal bagi perkembangan perusahaan rintisan.
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra