Menuju konten utama

Piknik Metal Bersama Dream Theater di Ancol

Konser Dream Theater di Jakarta, menjadi penutup tur yang mengesankan: suguhan musik yang tiada cela, dan suasana yang seperti piknik.

Piknik Metal Bersama Dream Theater di Ancol
Dream Theater menghibur penggemarnya di Ancol, 12 Mei 2023. FOTO/Arsip Rajawali Indonesia

tirto.id - Tak ada spanduk atau papan soal acara hari ini. Saya hanya tahu pukul 20.00 WIB mereka akan menampakkan diri. Sisa 20 menit lagi, saya masih mencari lokasi acara, berputar-putar. Maklum, saya belum pernah mendatangi tempat tersebut.

Akhirnya saya tiba setelah melintasi Pasar Seni. Belum sempat saya memarkir motor, beberapa calo menawarkan tiket dengan harga lebih murah di bawah harga tiket resmi paling murah: Rp600 ribu.

Urusan putar-putar rampung. Karena nihil penunjuk, saya ikuti rombongan orang berpakaian hitam melewati Ecovention Hall. Benar, saya berhasil mencapai tujuan. Lantas saya menghampiri tenda registrasi wartawan, hendak mengambil ID peliputan sebelum menonton Dream Theater, bandmetal progresif asal Boston yang sudah berusia 38 tahun ini.

Sebelum tenda pemeriksaan, para pengunjung disambut oleh gapura biru setinggi dua-dua setengah meter, dengan lambang ikonik grup musik yang awalnya bernama Majesty, yang dibentuk pada 1985 oleh John Petrucci, John Myung, dan Mike Portnoy, saat mereka belajar di Berklee College of Music.

Usai petugas mengecek tubuh dan barang bawaan, saya harus berjalan sekira 150 meter. Sejak itulah saya mendengar "The Alien" tengah dibawakan. Suara khas James LaBrie begitu akrab. Maklum, sejak ia bergabung pada 1991, suaranya memenuhi telinga pendengar.

Hamparan rumput dengan kontur tanah naik-turun di beberapa titik yang dihiasi kerikil, menyambut saya. Saya berjalan mendekati area Festival B, ini adalah area tanpa pagar pembatas. Sementara di depannya, Festival A, dibatasi pagar; ini merupakan titik terdekat dengan panggung dan tentu saja dipenuhi penonton.

Dua layar videotron dipasang vertikal di kiri-kanan panggung, tepat di belakang Mike Mangini, si penggebuk drum. Tata cahaya dan suara cukup bagus, tak membuat kuping sakit karena bunyi statis. Ditambah dengan layar besar yang menampilkan tematik lagu, hampir membuat saya melupakan bahwa saya menginjak rumput hampir setinggi mata kaki. Beruntung hari itu tak hujan.

Di area luar Festival B, berjejer setengah lingkaran tenda-tenda penganan, toilet, dan suvenir resmi. Jangan kaget jika harga sebotol air mineral 600 mililiter dihargai Rp20 ribu. Tentu para pengunjung telah mengantisipasi perbedaan harga ini.

Dream Theater 2023

Dream Theater menghibur penggemarnya di Ancol, 12 Mei 2023. FOTO/Arsip Rajawali Indonesia

Kota Terakhir

Jakarta adalah perhentian terakhir Dream Theater dalam tur Asia –sesuai dengan tema Last Stop on “Top of The World Tour”, setelah menyambangi Korea Selatan, Jepang, Filipina, Thailand, Singapura, Malaysia.

Indonesia bukanlah negara asing bagi LaBrie, Petrucci, Myung, Mangini, dan Rudess. Tahun 2012 dan 2014 merupakan kunjungan untuk membuktikan kepiawaian di Ibu Kota, kemudian lima bapak itu tampil di Yogyakarta dan Solo pada 2017 dan 2022.

Mangini menggebuk drumnya, disusul jemari Rudess memencet tuts kibor Korg berefek, lantas kromatik mengalir dari Petrucci. Intro "6:00" begitu hafal di telinga penggemar, lagu ini sering mereka mainkan bahkan pernah dilantunkan ketika mereka main di Urawa, Jepang, tahun 1995.

Ingin sekali saya mengikat rambut Myung yang menutup matanya ketika ia sibuk menaklukkan fret-fret bass, tapi itu bukan halangan bagi pria yang memainkan biola sejak usia 5 tahun hingga ia diminta untuk memainkan bass elektrik di sebuah band lokal saat berusia 15 tahun.

Apik. Itu kesan yang saya dapat ketika lagu "Sleeping Giants", "Bridges in the Sky", "Caught in a Web" dan "Answering the Call" turut mereka mainkan. Saya memilih menikmati permainan mereka sembari duduk. Saya pejamkan mata, lalu mendengarkan saksama nada-nada yang keluar. Saya merasa naik kereta luncur Dufan!

Mengapa?

Dream Theater biasa dan bisa membawa pendengar seakan terombang-ambing, naik-turun, meliuk, karena "babak" dalam lagu. Ini adalah ciri khas mereka. Saya mendapatkan suasana pedesaan ketika "Solitary Shell" dimainkan, lalu diajak memacu mobil atap terbuka kala "About to Crash (Reprise)" terdengar.

Ketukan-ketukan berubah dalam bebebapa lagu. Bagi Anda yang tak paham, bisa saja terkecoh itu lagu selanjutnya. Pembabakan juga ada dalam penampilan kali ini. Sebut saja "Losing Time/Grand Finale" sebagai lagu yang cukup santai, lalu disusul "Pull Me Under" –salah satu lagu masyhur mereka– yang penuh dengan dobel pedal, palm mute, juga shred. Apalagi bagian refrein yang "menjual" dan penonton turut bernyanyi.

Beberapa nada tinggi LeBrie masih sama, meski ia menua. Toh usia mereka tak menggugurkan, bahkan bisa diabaikan, oleh penonton. Apakah kecepatan shred Petrucci berkurang? Saya tak mendengar selip meski gitar itu terlihat kecil di pelukan badan besarnya.

Dream Theater

Dream Theater menghibur penggemarnya di Ancol, 12 Mei 2023. FOTO/Arsip Rajawali Indonesia

Pemandangan dari Puncak Dunia

"How you doin' everyone? I'm so fucking out of breathe out here. Holy shit. It's fucking heat! kata LaBrie. Padahal acara di area terbuka. Saya pun melepaskan sweater karena malam itu cukup gerah. Penonton riuh karena idolanya menyapa.

Interaksi sekitar dua menit itu juga berisi candaan. "At this point tonight, we gonna have some strippers on stage. I'm fucking joking!"

Dream Theater 2023

Dream Theater menghibur penggemarnya di Ancol, 12 Mei 2023. FOTO/Arsip Rajawali Indonesia

"A View from the Top of the World" lagu durasi 20 menit ini menjadi karya kesebelas yang dimainkan. Penonton dimanjakan dengan kerja sama empat pemain, kecuali LeBrie yang baru "bekerja" setelah 3 menit 23 detik intro lagu.

A View from the Top of the World adalah album studio ke-15, rilis pada Oktober 202. Ini adalah album pertama yang direkam di studio mereka sendiri, Dream Theater Headquarters. Total durasi album ini 70 menit dari tujuh lagu.

Petrucci dan Mangini tidak mendominasi permainan. Rudess, dengan partitur digital dan alas lingkaran berputarnya, menunjukkan kelincahan jari; begitu juga Myung yang jemarinya ribet tanpa terbelit, tetap berhasil sebagai penjaga tempo. Usai Petrucci shred hingga ujung fret terakhir, dramaturgi lagu mereka hadirkan kembali.

Bahkan penonton yang menikmati sembari berbaring atau duduk di rerumputan sambil menyesap es teh lemon dan mengganyang shawarma, bukan pemandangan aneh; ada juga yang sibuk lalu-lalang membeli penganan sambil menganggukkan kepala, bahkan ibu-bapak-balita berjalan santai melewati barisan tenda dan aparat keamanan. Mereka menikmati permainan Dream Theater dengan cara masing-masing.

Saya merasa Dream Theater mengajak piknik penggemarnya: LaBrie cs sebagai guru yang mengisahkan pahit-manis manusia dan permasalahan isi bumi; sedangkan pengunjung adalah murid yang memperhatikan baik-baik materi yang diberikan pengajar.

Bahkan Malika, seorang penonton asal Jakarta, menangis ketika mendengarkan Petrucci mengisi bagiannya dalam lagu terakhir.

"'The Count of Tuscany' memang jadi penutup yang sempurna. Terima kasih Petrucci untuk melodi yang indah dan menyentuh. Itu seperti dapat pelukan hangat, menenangkan. Mungkin berlebihan, tapi aku tak tahan untuk tak menangis," ujarnya.

Begitu juga Adhi Warsito, pengunjung asal Bekasi, yang mengaku telah tiga kali menonton Dream Theater. Dia berselonjor dan mengoperasikan ponselnya setelah para pemain undur diri. "Ini mantap, apalagi sebagai penutup tur. Ini keren banget! Meski belum tahu tahun depan ada album baru atau tidak, tapi ini keren."

Kali ini LaBrie dkk memang tidak membawakan banyak hit populer seperti "The Spirit Carries On", "Panic Attack", "Another Day", atau lagu santai seperti "Hollow Years", "Wither" dan "Through Her Eyes".

Adhi bilang, "sebenarnya memang menunggu hit-hit lama, tapi karena ini tur lagu baru, mungkin fokusnya itu."

Selepas dari Jakarta, Dream Theater akan menggelar tur "Dreamsonic 2023" di beberapa kota di Amerika Serikat.

Dream Theater 2023

Dream Theater menghibur penggemarnya di Ancol, 12 Mei 2023. FOTO/Arsip Rajawali Indonesia

Merchandise yang Tandas

Anas Alimi, pendiri Rajawali Indonesia menyampaikan pihaknya senang sekali bisa membawa Dream Theater ke Indonesia, khususnya bisa menjadi penutup tur dunia.

"Ini juga sesuai dengan permintaan penggemar Dream Theater Indonesia, agar bisa dihadirkan kembali tapi di Jakarta. Saya harap konser penutup tur dunia ini bisa memuaskan seluruh pihak dan semakin menggairahkan industri pertunjukan musik Tanah Air," kata Anas.

Tapi saya heran ketika menepi di tenda suvenir resmi usai menonton dan buang air kecil, barang-barang ofisial ludes! Tersisa poster saja. Saya ogah menebusnya. Semestinya penyelenggara bisa memasok merchandise Dream Theater lebih banyak. Memorabilia mereka di tur ini memang patut dimiliki.

Kesedihan bahkan kekesalan, pengunjung bisa terobati dengan kaus, topi, korek api, kipas, stiker, dan gantungan kunci bootleg yang dijajakan penjual di sekitar arena. Saya menghampiri satu penjual yang dikerumuni pembeli. Kata dia, cendera mata yang dia bawa itu laku-laku saja.

Tepat dua jam Petrucci dan komplotannya menghibur penggemar. Mereka pemberingas yang cadas, tapi juga cerdas lantaran berhasil memadukan porsi dan struktur instrumen masing-masing. Tak melulu alunan keras. Tak ada yang menang sendiri. Semua beres sesuai kodrat.

Ini karena Dream Theater adalah grup yang membawakan lagu-lagu padat, melodis, musikal canggih, dan rekaman berkonsep tematik. Dengan konsep seperti ini, elemen-elemen hard rock,riff-fueled metal, progresif, dan tentunya lirik yang bercerita, adalah kekuatan mereka di belantika musik.

Mereka mampu menghadirkan kompleksitas lagu tanpa merusak kenyamanan pendengar, bahkan tak pelak menyentuh nurani. Kerumitan dan keruwetan yang dihadirkan dalam durasi panjang, tetap asyik!

Baca juga artikel terkait DREAM THEATER atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Musik
Penulis: Adi Briantika
Editor: Nuran Wibisono