tirto.id - Pemerintah memutuskan impor beras sebanyak satu juta ton pada 2021 melalui Bulog. Rinciannya: 500 ribu ton sebagai cadangan beras pemerintah (CBP) dan setengahnya lagi sesuai kebutuhan Bulog.
Impor dilakukan dengan alasan stok yang ada sudah digunakan untuk bansos selama Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Pemerintah juga merasa perlu mengantisipasi dampak banjir dan pandemi COVID-19.
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan impor ini telah disetujui dalam rapat koordinasi terbatas (rakortas). “Sudah kami sepakati, sudah kami perintahkan,” ucap Lutfi dalam konferensi pers virtual, Kamis (4/3/2021).
Ia akan mengkalkulasikan kapan persisnya beras akan masuk dengan mempertimbangkan kondisi di lapangan, terutama yang berkaitan dengan produksi petani. “Waktu, tempat, dan harga di tangan saya,” ucap Lutfi.
Namun pernyataannya tak menghilangkan kekhawatiran dan pertanyaan pihak terkait. Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa, misalnya, mengatakan impor beras seharusnya dibatalkan. Dwi bilang keputusan ini sangat tidak wajar salah satunya karena produksi beras tahun ini cukup baik bahkan meningkat dibanding 2020.
Menurut perhitungan sementara Badan Pusat Statistik (BPS) dengan metode kerangka sampel area (KSA), produksi beras Januari-April akan naik dari 11,46 juta ton (2020) menjadi 14,54 juta ton (2021) atau lebih banyak 26,84%. Angka sementara ini juga lebih tinggi dari produksi Januari-April 2019 lalu, 13,63 juta ton.
Per Februari 2021, USDA Foreign Agricultural Services memperkirakan produksi beras RI pada 2021 akan mencapai 35,5 juta ton. Angka ini lebih tinggi dari prediksi USDA Januari 2021 yaitu 34,9 juta ton. Bila prediksi USDA terealisasi, produksi 2021 lebih tinggi dari 2020 yang mencapai 34,7 juta ton dan 2019 sebanyak 34,2 juta ton.
Di luar produksi yang meningkat, Indonesia juga masih diganjar sisa beras dari tahun 2020 sebanyak 6,74 juta ton yang dilimpahkan ke 2021. Angka itu muncul karena menurut data Kementerian Pertanian (Kementan), kebutuhan beras 2020 hanya 30,08 juta ton sementara pasokan mencapai 37,53 juta ton.
Kalaupun ada kekhawatiran mengenai gangguan banjir dan hujan, Dwi memastikan dampaknya minim. Sebagai gambaran, rata-rata luas panen yang mengalami puso biasanya tak lebih dari 100 ribu Ha alias jauh lebih kecil dari total luas panen yang mencapai 11 juta Ha. Hujan lebat karena La Nina ini juga akan sangat membantu di musim kemarau nanti sehingga produksi akan tetap terjaga.
“Stok awal tahun relatif tinggi. Produksi awal tahun meningkat. Lah, kok ini tiba-tiba impor beras?” ucap Dwi kepada reporter Tirto, Selasa (9/3/2021).
Cukupnya stok beras juga tergambar pada tren harga gabah di tingkat petani yang terus turun, kata Dwi. Menurut survei AB2TI, harga gabah September 2020 mencapai Rp4.800/kg lalu terus turun menjadi Rp4.263/kg pada Desember 2020 dan mencapai Rp3.800/kg pada Maret 2021. Setahu Dwi, biasanya tren harga gabah meningkat usai September karena masa panen berakhir dan pasokan beras semakin lama terus berkurang. Kenyataan yang sebaliknya menandakan stok beras lebih dari cukup.
Dwi khawatir bila impor tetap dipaksakan harga gabah di tingkat petani akan semakin tertekan. “Posisi petani terpuruk, harga gabah terus turun, kok, ada ide impor beras?”
Asosiasi petani dari Kelompok Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Nasional juga meminta pemerintah meninjau ulang rencana impor. Jika impor tetap terjadi, praktis harga jual petani akan turun. Alih-alih impor, “diharapkan pemerintah melalui Perum Bulog dapat menyerap dan menampung hasil produksi padi di daerah-daerah,” ucap Sekretaris Jenderal KTNA Yadi Sofyan Noor.
Ketua Departemen Luar Negeri DPP Serikat Petani Indonesia Zainal Arifin Fuat mengatakan impor beras akan semakin menekan harga gabah dan berakibat memburuknya pendapatan petani. Ia khawatir kesejahteraan petani yang sudah terpuruk sejak 2020 akan terus merosot.
Nilai Tukar Petani (NTP)--mengukur daya beli petani dari perbandingan harga jual dengan biaya untuk berproduksi dan memenuhi kebutuhan sehari-hari--terus turun sejak September 2020, 101,53 menjadi 100,34 per Desember 2020. Per Februari 2021 nilainya tinggal 99,21. Idealnya NTP berada di atas 100, yang artinya harga jual lebih tinggi dari harga pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Semakin jauh dari angka 100, artinya petani semakin dalam posisi tekor.
“Kami dari SPI menolak keras impor ini,” ucap Zainal kepada reporter Tirto, Senin (8/3/2021).
Terkait keluhan-keluhan tersebut, Sekretaris Perusahaan Bulog Awaludin Iqbal mengatakan impor tak akan dilakukan sembarang. Bulog akan mempertimbangkan masa panen, jumlah stok CBP yang dikuasai. Dengan demikian kondisi harga beras di hulu dan hilir dapat dijaga agar tetap stabil.
“Di beberapa wilayah sudah mulai panen, dan diperkirakan mencapai puncaknya (panen raya) pada April sehingga Bulog dapat menyerap hasil panen petani dalam jumlah yamg besar,” ucap Awaludin dalam pesan singkat, Kamis (4/3/2021).
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino