Menuju konten utama

Petaka Pinjol Ilegal yang Terus Berulang

Pinjaman online ilegal marak. Korban sudah berjatuhan. Mereka dipermalukan dan diintimidasi baik fisik atau mental.

Petaka Pinjol Ilegal yang Terus Berulang
Ilustrasi HL Pinjaman Online. tirto.id/Lugas

tirto.id - Mahmudi tidak pernah menyangka bila pinjaman online (pinjol) yang ia ajukan dua tahun silam berbuntut trauma tak berkesudahan. Uang yang didapat tak seberapa, kurang dari dua juta, tapi efeknya begitu besar: diteror secara verbal maupun fisik. Penyebabnya: telat bayar tagihan.

Beruntung kejadian nahas itu tidak berlangsung lama. Masalah dengan pinjol, ilegal tentunya, ia bereskan dalam kurun waktu sepekan. Setelahnya ia bisa sedikit hidup tenang kendati dalam beberapa kesempatan rasa takut secara tiba-tiba menyelimuti sekujur badan, tatkala ada telepon masuk dari nomor tak dikenal.

“Perasaan kayak gitu yang masih kebawa, bahkan sampai sekarang. Ada nomor masuk, enggak ada namanya, saya langsung keringat dingin,” ceritanya kepada saya akhir Juni lalu. “Karena langsung keinget sama yang nagih pinjaman dulu.”

Mahmudi meminjam uang karena kebutuhan mendesak. Waktu itu ia sedang tak punya pekerjaan, sementara uang sekolah untuk anaknya, yang berjumlah dua orang, mesti segera dilunasi. “Saya sudah coba pinjam tetangga, beberapa teman, dan juga keluarga lainnya. Tapi, enggak ada hasil,” katanya, pelan. “Pusing sekali rasanya. Mana saya juga nganggur dan cuma bisa kerja serabutan sebagai tukang ojek.”

Di tengah keputusasaan itu, sang istri lantas memberi kabar: Kita bisa minjam lewat hape. Tanpa pikir panjang, Mahmudi menyetujui ajakan tersebut. Tiga langkah ia selesaikan, dan dua hari berselang sejumlah uang sudah nangkring di rekening.

Mahmudi takpernah menyadari bahwa tiga langkah itu adalah petaka.

Tak Punya Banyak Opsi

Proses mendapatkan uang dari pinjol ilegal, menurut Zhuhruf, memang praktis. Modalnya hanya gawai, internet, serta berkas dan data lain seperti KTP sampai nomor rekening. Orang tak perlu lagi repot-repot mengantre ke bank dan mengurus banyak berkas. Teknologi membuat pola-pola konvensional itu tergantikan dengan sekali tekan di layar gawai. Tak sampai satu jam, semua tahapan sudah selesai dan tinggal menunggu kabar kapan uang bakal dikirim.

“Kayaknya itu yang bikin pinjol ilegal ini banyak dimanfaatkan orang-orang. Karena, ya, praktis aja. Enggak perlu ribet ini dan itu,” ujar lelaki 30 tahun yang pernah jadi korban pinjol ilegal ini ketika dihubungi Tirto akhir Juni kemarin.

Zhuhruf memulai proses registrasi dari tautan yang masuk ke kotak pesan di gawainya. Tanpa pikir panjang, Zhuhruf, yang tengah terdesak kebutuhan untuk memperoleh “dana segar”, langsung menekan tautan itu, yang kemudian menuntunnya pada situs pinjol.

Ia tak curiga dengan tampilan situs tersebut. Dalam pikirannya hanya terbesit kemudahan dapat uang, yang nantinya dipakai untuk menutup kebutuhan hidup.

Pada tahap pertama, Zhuhruf diminta mengisi kolom identitas diri. Standar. Nama dan alamat ia masukkan. Berikutnya, giliran kolom berisikan KTP, jumlah pinjaman yang diminta, serta nomor rekening yang harus diisi. Lagi-lagi, Zhuhruf melakukannya tanpa halangan berarti.

Baru ketika masuk tahap terakhir Zhuhruf merasa ada yang tak lazim. Sebuah instruksi muncul layar, berbunyi kurang lebih demikian: penyedia layanan pinjol meminta akses ke kontak calon peminjam. “Ngapain pakai minta izin ke kontak segala? Perasaan ini urusannya cuma pinjam duit,” ia heran. “Tapi, saya lanjut aja. Enggak ada pilihan untuk enggak pencet setuju.”

Akhirnya ia memberi izin terhadap akses tersebut. Penyedia pinjol telah mendesain fitur yang memaksa calon peminjam berkata “ya” atas akses ke kontak. Jika tidak diisi, maka proses pendaftaran dan permohonan jalan di tempat.

Tiga hari proses selesai ditempuh Zhuhruf mendapatkan pinjaman yang ia inginkan, meski jumlahnya tak sama persis dengan angka yang diajukan.

Masalah muncul tatkala Zhuhruf telat membayar empat hari dari tenggat yang telah ditentukan. Teror dari debt collector tak hanya menyasar dirinya, melainkan orang-orang di sekitarnya, yang tak tahu bahwa dirinya meminjam uang.

“Satu teman saya bilang bahwa ia dapat SMS dari pinjol. Isinya mengingatkan agar saya segera mengembalikan uang pinjaman, dengan kalimat yang penuh tanda seru,” jelasnya. “Ancaman juga ada di situ. Katanya, kalau tidak segera bayar, mereka akan pukulin saya.”

Derita tak berhenti sampai situ. Zhuhruf dikagetkan dengan undangan masuk ke dalam grup WhatsApp. Ada sekira sepuluh orang di grup tersebut, mulai anggota keluarga terdekat, teman kerja, sampai tetangga. Satu pesan lalu membuka keheningan grup: Zhuhruf diminta segera membayar pinjaman, dan apabila terlambat lagi maka akan dipermalukan di depan mereka.

Pengirim pesan adalah pihak pinjol ilegal, dan grup WhatsApp tersebut merupakan bentuk teror lain yang dialamatkan kepada Zhuhruf.

Praktik seperti kasus di atas merupakan hal yang jamak dilakukan pinjol ilegal, demikian ungkap Teguh Apriyanto, ahli teknologi dan informatika. Pangkalnya yakni akses terhadap kontak yang dimiliki calon peminjam. Teguh menyebutnya sebagai pencurian data. “Mereka [pinjol ilegal] punya sistem yang bisa men-download kontak peminjamnya. Di aplikasi sistem itu dipasang dan digunakan,” ucapnya. “Termasuk WhatsApp yang nantinya dipakai buat meneror peminjam.”

Pengguna mesti meningkatkan kesadaran terhadap pentingnya melindungi akses pinjol ke data pribadi, sebab konsekuensi membuka izin ke kontak tidak main-main: sama dengan memperbesar peluang kena teror. “Edukasi soal pinjol ini makanya jadi relevan banget di situasi sekarang. Jangan sampai terbuai dengan kemudahan yang ditawarkan, tanpa lebih dulu melihat pinjol itu seperti apa. Bagaimanapun, ini juga demi kepentingan pengguna secara khusus dan masyarakat secara umum.”

Kejadian buruk yang terjadi dua tahun lalu membikin Zhuhruf kapok. Walaupun sudah lewat, ia masih merasa malu ketika bergaul dengan lingkungan sekitarnya lantaran kabar soal teror dari pinjol ilegal menyebar begitu cepat. “Kapok dan enggak pengin ngulang lagi,” katanya singkat. “Semepet apa pun kondisi keuangan, jangan sampai terjebak sama pinjol.”

Borok di Balik Capaian Gemilang

Titik mula gelombang pinjol atau fintech lending berdasarkan laporan PwC Indonesia terjadi pada 2014. Dua tahun berikutnya, OJK menunjuk Asosiasi FinTech Indonesia (AFTECH) sebagai Asosiasi Penyelenggara Inovasi Keuangan Digital berdasarkan POJK No.13/2018. Tujuannya yakni memberikan perlindungan kepada konsumen. Hingga sekarang, AFTECH memiliki lebih dari 350 anggota, yang terdiri dari 359 perusahaan fintech, 24 institusi keuangan, 13 mitra riset, dan enam mitra teknologi. Di tahun yang sama, OJK mengeluarkan beleid untuk mengatur fintech lending lewat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.

Sejak saat itu gemuruh pinjol makin nyaring terdengar dan aktivitas di dalamnya pun berdenyut kencang. Data PwC Indonesia menyebut sampai 2019 total pinjaman yang dicairkan penyedia jasa mencapai Rp25,9 triliun—menyasar kurang lebih 5,2 juta peminjam.

Pandemi yang memukul dunia tak terkecuali Indonesia tak bikin geliat pinjol lesu. Yudit Saputra, Marketing Communications Manager PAYFAZZ, salah satu penyedia jasa fintech lending, mengatakan pinjol selama pandemi “meningkat cukup signifikan.” “Hal ini dikarenakan selama pandemi banyak orang yang kehilangan pekerjaan sehingga membutuhkan biaya atau dana guna membiayai kebutuhan sehari-hari. Salah satu pinjaman yang cepat proses dan cair dananya adalah melalui pinjaman online,” katanya kepada Tirto.

Data yang dihimpun OJK memperlihatkan sepanjang dari Januari hingga Juni 2021, jumlah dana yang disalurkan untuk peminjam cenderung meningkat. Pada Juni, ada sekitar Rp14 miliar yang disalurkan kepada hampir 9 juta peminjam.

Praktik-praktik culas atau ketika penyedia jasa yang tidak mematuhi aturan hukum terjadi di tengah pasang naik tersebut. Pada Juli 2021, ambil contoh, Satgas Waspada Investasi (SWI), yang beranggotakan 13 kementerian maupun lembaga, menutup 172 pinjol ilegal. Berdasarkan daftar yang dirilis OJK, ratusan pinjol tersebut mayoritas berbentuk aplikasi dan situs web. Tangkapan ini menambah panjang daftar perburuan SWI. Sejak 2018, mereka telah memberangus lebih dari tiga ribu fintech lending yang beroperasi secara ilegal—tidak terdaftar dan tidak berizin OJK.

Selain persoalan pencurian data pribadi, menurut Nelson Simamora, pengacara publik LBH Jakarta, problem yang lahir dari pinjol ilegal adalah penggunaan kekerasan, penetapan bunga yang tinggi, bahkan pelecehan seksual.

“LBH Jakarta sendiri membuka posko aduan pada Oktober 2018. Laporan banyak masuk. Ada yang dipecat gara-gara pinjol ilegal, ada yang berantem sama mertua, sampai ada yang disuruh nari telanjang di kereta kalau pengin pinjamannya lunas,” katanya kepada Tirto. “Kejadian-kejadian yang masuk ke LBH Jakarta ini memperlihatkan betapa mengerikannya praktik pinjol ilegal.”

Pemerintah boleh saja menepuk dada atas langkah yang diambil. Akan tetapi, bagi banyak pihak, upaya itu hanya ada di permukaan tanpa menyentuh akar masalah dan melihat ini sebagai perkara sistematis. “Masalah pinjol ilegal itu kompleks. Kalau cuma blokir, besok lagi juga bakal ada pinjol ilegal lagi. Praktiknya sama, cuma beda nama, begitu seterusnya,” ujar Teguh.

Perlu upaya yang lebih terukur dan tegas dari pemerintah seperti, misalnya, melacak dan kemudian membekukan aset yang dimiliki pinjol ilegal. Dengan begitu, pinjol ilegal tak lagi mudah bersalin nama dan rupa. “Sejauh ini pembekuan aset belum pernah dilakukan. Solusinya terus blokir dan blokir. Padahal, hal itu sudah perlu dilakukan mengingat pinjol ilegal ini sudah bikin banyak masalah.”

Selain langkah yang lebih keras, Nelson menambahkan bahwa koordinasi antarlembaga mesti berjalan beriringan. OJK, sebagai pengawas dan regulator, harus menjadi kepala sekaligus perekat antarlembaga—termasuk SWI—alih-alih memperburuk situasi dengan lempar tanggung jawab. “OJK kerap kali tidak menindaklanjuti aduan yang timbul di masyarakat. Seringnya kalau enggak diam saja, ya, lempar kewenangan ke APFI (AFTECH) yang mana melenyapkan setengah dari kewenangan OJK itu sendiri. Selain juga APFI ini terbatas geraknya, enggak sebesar dan sekuat OJK.”

Nelson juga menganggap OJK tak maksimal dalam mengatur fintech lending. Partisipasi mereka hanya mewujud lewat instrumen surat edaran (SE) serta menyerahkan pengaturan kepada pasar dengan berbekal kode etik yang disusun AFPI. “Pada intinya, OJK tidak mau terlalu mengatur peer-to-peer lending karena takut overregulated,” jelas Nelson.

Infografik Petaka Pinjol

Infografik Petaka Pinjol. tirto.id/Quita

Ketua SWI Tongam L. Tobing mengungkapkan pemerintah akan terus mengupayakan yang terbaik untuk memberantas pinjol ilegal. Ia menegaskan bahwa sejauh ini pemerintah telah berada di jalur yang benar dengan mengedepankan penindakan yang tegas, edukasi, serta peningkatan literasi digital di masyarakat.

“Masyarakat belum peka. Mereka kurang memiliki literasi. Asal yang muncul penawaran di Google, lewat App Store. Enggak lihat daftar OJK,” jelasnya. “Masyarakat harus sadar untuk mencari informasi dan melaporkan ke kepolisian jika ada kejanggalan. Di lain sisi kita berusaha melindungi masyarakat.”

Melaporkan ke pihak berwenang pernah dilakukan Zhuhruf. Ia datang ke satu polres di Jakarta Selatan, memberi tahu aparat bahwa dirinya merupakan korban praktik pinjol ilegal, seraya menyodorkan bukti-bukti untuk memperkuat posisinya. Sayang, bukannya dibantu, Zhuhruf justru diceramahi dengan petuah-petuah yang menyudutkan: makanya jangan main pinjol.

“Saya datang buat dapat perlindungan, supaya ke depan tidak kejadian lagi kayak gini. Sama polisi malah diceramahi. Yang bener aja. Masa iya masalah udah berat kayak gitu selesai dengan denger mereka ceramah?” kenangnya.

Klaim pemerintah, dalam hal ini OJK, bahwa mereka sudah melakukan yang terbaik untuk menindak praktik ilegal dari pinjol tidak bisa ditelan mentah-mentah. Menempatkan masyarakat sebagai titik masalah, entah sebab literasi digital yang rendah, memperlihatkan betapa pemerintah seperti abai akan kompleksnya permasalahan yang ada.

Baca juga artikel terkait PINJAMAN ONLINE atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Hukum
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Rio Apinino