Menuju konten utama

Industri Pinjol 2019: Pertumbuhan Tinggi, yang Ilegal juga Marak

Industri fintech P2P Lending tumbuh hingga 166,51 persen. Namun, pesatnya pertumbuhan disertai maraknya pinjol ilegal.

Industri Pinjol 2019: Pertumbuhan Tinggi, yang Ilegal juga Marak
Ilustrasi pinjaman online. FOTO/Istockphoto

tirto.id - Pinjaman online (pinjol) atau bahasa kerennya Fintech P2P Lending sangat marak selama 2019. Pertumbuhan pinjol sangat pesat hingga membuat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kewalahan untuk mengawasinya.

Maraknya perkembangan pinjol itu disertai sejumlah pelanggaran yang membuat nasabahnya menjadi korban.

Misalnya, yang terjadi pada seorang nasabah pinjol asal Surakarta pada Juli 2019. Saat pembayaran utangnya tersendat, perilaku tak pantas langsung diterimanya. Sebuah meme yang mencantumkan foto dan data dirinya beredar.

“Dengan ini saya menyatakan saya rela digilir seharga Rp1.054.000 untuk melunasi utang saya di aplikasi InCash. Dijamin puas, yang minat segera hubungi,” demikian isi caption pada meme tersebut

YI tidak terima dan melaporkan ke Polresta Surakarta. YI menyebut pembuat meme dari pihak InCash dan sengaja mempermalukannya. Tak hanya dipermalukan, utang yang disebut membengkak yang tercantum di meme itu jauh dari yang diperhitungkan.

Pada Februari 2019, seorang sopir taksi mengakhiri hidupnya karena terjerat utang di pinjol yang membuatnya tertekan. Ia meminjam untuk menutupi kebutuhan hidupnya, tetapi bunganya membengkak. Ia menyebut pinjaman online sebagai “jebakan setan”.

Dalam surat wasiatnya, korban meminta lembaga pengendali institusi keuangan untuk menghentikan praktik pinjaman online.

Korban-korban pinjol memang tidak sedikit.

LBH Jakarta mencatat, selama 2018 saja menerima 1.330 pengaduan terkait pinjaman online. Pengacara Publik LBH Jakarta Jeanny Silvia Sari Sirait mengatakan hampir setiap hari pihaknya menerima pengaduan terkait pelanggaran pinjol.

Upaya Memberantas Pinjol Ilegal

Pelanggaran-pelanggaran terkait pinjol memang meningkat seiring tumbuh suburnya bisnis fintech. Mereka yang melanggar umumnya adalah pinjol yang ilegal. Satgas Waspada Investasi OJK yang rutin melakukan penertiban terus menerus menemukan entitas fintech P2P ilegal tersebut.

Pada November 2019, OJK kembali menemukan 125 entitas fintech P2P ilegal. Mereka banyak beredar di website, aplikasi, ataupun penawaran melalui SMS. Sejak 2018 hingga November 2019, OJK telah menindak 1.898 entitas fintech P2P ilegal.

Pada Agustus 2019, OJK dan Bareskrim Polri sepakat menindak tegas pelaku investasi ilegal dan fintech ilegal untuk melindungi kepentingan masyarakat.

“Walaupun Satgas Waspada Investasi sudah banyak menutup kegiatan Fintech Peer to Peer lending tanpa izin OJK, tetap saja banyak aplikasi baru yang muncul pada website dan Google Playstore atau link unduh aplikasi yang diblokir tersebut," kata Tongam Lumban Tobing, ketua Satgas Waspada Investasi OJK.

"Masih banyak yang dapat diakses melalui media lain sehingga masyarakat kami minta untuk tak mengakses atau menggunakan aplikasi Fintech P2P lending tanpa izin OJK,” lanjutnya.

Masyarakat dapat melihat ciri-ciri fintech ilegal, yakni tidak memiliki izin resmi, tidak ada identitas dan alamat kantor yang jelas, pemberian pinjaman sangat mudah, informasi bunga dan denda tidak jelas, bunga tidak terbatas, denda tidak terbatas, penagihan tidak batas waktu, akses ke seluruh data yang ada di ponsel, ancaman teror kekerasan, penghinaan, pencemaran nama baik, menyebarkan foto/ video pribadi, tidak ada layanan pengaduan.

OJK menyarankan agar masyarakat meminjam ke P2P Lending yang terdaftar di OJK. Tak hanya itu, masyarakat disarankan untuk pinjam sesuai kebutuhan dan kemampuan serta meminjam untuk kepentingan yang produktif.

OJK juga menyarankan masyarakat untuk memahami manfaat, biaya, bunga, jangka waktu, denda, dan risikonya sebelum memutuskan untuk meminjam ke Fintech P2P.

Mitigasi di tengah Pertumbuhan Tinggi

Maraknya berita tentang pinjol memang tak menyurutkan minat masyarakat. Angka pinjaman melalui pinjol diketahui terus meningkat. Per November 2019, pertumbuhannya mencapai 166,51 persen menjadi Rp60,41 triliun. Ini tentu saja jauh di atas angka pertumbuhan kredit perbankan secara nasional yang angkanya di bawah 10 persen.

Pertumbuhan pesat ini menjadi magnet bagi investor besar masuk ke segmen ini. Terbaru, konglomerat mantan pemilik perusahaan rokok HM Sampoerna, Putera Sampoerna, masuk ke fintech P2P Lending. Melalui platform Mekar, Putera Sampoerna ingin membidik pinjaman online kepada UMKM di seluruh Indonesia. Izin dari OJK sudah dikantongi sehingga Mekar selanjutnya berharap bisa membiayai 150 ribu UMKM dengan nilai pinjaman Rp400 miliar.

Hendrikus Passagi, Direktur Pengaturan Perizinan & Pengawasan Fintech OJK, mengatakan pihaknya akan terus mendorong agar industri ini tumbuh dengan sehat. Untuk itu, OJK mengambil pelajaran dari perkembangan pinjol di Cina, yang sempat diwarnai praktik shadow banking dan Ponzi Scheme.

Ponzi Scheme membawa kabur dana nasabah. Shadow banking: uang ditempatkan pada investasi bodong yang tidak jelas dan menjanjikan return yang tinggi. Nah, itu semua kami jawab di Indonesia dengan beberapa langkah mitigasi,” jelasnya.

Misalnya untuk mencegah dana nasabah dibawa kabur, OJK mendorong penggunaan virtual dan escrow account. Risiko lain terkait kemungkinan usaha nasabah gagal, atau nasabah yang bersangkutan meninggal dunia.

Hal itu dimitigasi melalui kerja sama dengan asuransi atau penyempurnaan code of conduct oleh Asosiasi Fintech Pendanaan bersama Indonesia (AFPI), sehingga dimungkinkan restrukturisasi utang untuk nasabah yang mengalami kesulitan.

“Ini yang kami katakan mitigasi risiko dengan pendekatan hukum. Ada mitigasi risiko kredit dengan pendekatan asuransi; mitigasi risiko kredit dengan pendekatan langkah hukum, misalnya, restrukturisasi atau mitigasi risiko kredit melalui penggunaan desk collection; juga mitigasi risiko kredit dengan penggunaan dari credit scoring,” jelasnya.

OJK sejauh ini belum berniat membatasi atau melakukan moratorium untuk pinjol.

Ia menjelaskan fintech P2P Lending adalah pendanaan dari rakyat untuk rakyat. “Sehingga ketika kami ditanya berapa jumlah (fintech P2P lending) yang pas, jawaban kami adalah kembali ke kebutuhan rakyat, berapa butuhnya mereka,” jelasnya.

Ia mengatakan semua diserahkan kepada AFPI sebagai asosiasi yang menaungi untuk menghitung berapa jumlah yang dibutuhkan. Sesuai ketentuan, OJK sebatas memberikan izin jika memang semua persyaratan terpenuhi.

“Sebab mereka [AFPI] yang paling paham apa kebutuhan publik,” tambahnya.

“Dihentikan atau di-hold, OJK tidak boleh masuk ke wilayah itu. Kami harus menunggu jawaban dari AFPI. Sebab ini azas demokrasi, azas keterbukaan, azas kemerdekaan. AFPI belum menyampaikan,” ujarnya.

Baca juga artikel terkait PINJAMAN ONLINE atau tulisan lainnya dari Nurul Qomariyah Pramisti

tirto.id - Bisnis
Reporter: Dea Chadiza Syafina
Penulis: Nurul Qomariyah Pramisti
Editor: Gilang Ramadhan