tirto.id - Pada 8 Juni 2021, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 2021–2025. Regulasi tersebut memuat sasaran strategis dalam rangka melaksanakan penghormatan, perlindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan HAM terhadap kelompok sasaran.
Empat kelompok yang disasar adalah perempuan, anak, penyandang disabilitas, dan kelompok masyarakat adat. Namun kelompok keluarga korban pelanggaran HAM berat masa lalu tak termasuk di dalam peraturan ini. Maria Catarina Sumarsih, ibu dari Bernardinus Realino Norma Irawan--pemuda yang tewas dalam Tragedi Semanggi I 1998--merespons soal Perpres Ranham.
“Terbitnya Perpres Ranham membuat saya prihatin terhadap tutur kata Presiden Jokowi yang tidak sejalan dengan tindakan,” kata dia dalam siaran pers daring, Rabu (23/6/2021).
Padahal menurut Sumarsih, pada peringatan Hari HAM Internasional 2020, presiden menginstruksikan Menko Polhukam untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Begitu juga Kejaksaan Agung yang jadi aktor kunci perampungan perkara untuk menindaklanjuti kasus-kasus tersebut.
“Tapi kenyataannya penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu tidak dimasukkan ke Ranham,” sambung Sumarsih. Ketidaktegasan dan ketidakseriusan Jokowi menyelesaikan perkara ini, bahkan menjadikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu hanya jadi komoditas politik, tercermin ketika mengangkat Wiranto sebagai Menko Polhukam kala itu.
Janji menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat dituangkan Jokowi dalam RPJMN 2015-2016 dan Nawa Cita. Namun, dalam tindakannya, Jokowi kontradiktif. Jokowi setidaknya merangkul tiga purnawirawan jenderal yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM berat.
Tiga jenderal yang mengunci Jokowi itu adalah Menko Polhukam Wiranto, yang patut dimintai pertanggungjawaban dalam kasus Trisakti, Semanggi I, Semanggi II, dan Timor Leste; Hendropriyono dalam kasus Talangsari dan pembunuhan Munir Said Thalib; serta Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu dalam kasus pembunuhan pemimpin Papua Theys Hiyo Eluay.
Lantas, Bedjo Untung, dari Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) '65, merasa Jokowi tidak pro rakyat dan ia kecewa dengan upaya pemerintah saat ini dengan menerbitkan Perpres Ranham. Padahal Bedjo berharap kepala negara itu melunasi utang penyelesaian pelanggaran HAM berat.
“Sekarang sudah dua periode pemerintahannya, (penuntasan kasus) itu semakin tidak jelas dengan ditekennya Ranham. Bagaimana kelanjutan kasus kami?” tutur Bedjo. Ia tidak berharap banyak dengan rezim ini, maka dia mengajak para korban, aktivis, dan masyarakat sipil untuk mengajukan gugatan perwakilan kelompok (class action) karena Jokowi ingkar janji.
Anggota Divisi Pemantauan Impunitas Kontras Jane Rosalina Rumpia berujar dalam kontestasi politik di Indonesia, ada kandidat ‘menjual’ penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu sebagai cara menarik dukungan publik. “Tapi setelah terpilih, isu HAM masa lalu dan penyelesaiannya selalu dikesampingkan. Kami memandang, pada rezim Jokowi, penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu hanya komoditas politik dan tebang pilih isu untuk melegitimasi kepemimpinannya,” kata Jane.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Restu Diantina Putri