Menuju konten utama

Perpres Pemulihan HAM Dianggap Kemenangan Bagi Pelanggar HAM Berat

Pendekatan yudisial dan non-yudisial bersifat komplementer, sehingga harus ada pengungkapan kebenaran soal apa yang terjadi pada masa lalu.

Perpres Pemulihan HAM Dianggap Kemenangan Bagi Pelanggar HAM Berat
13 Tahun Aksi Kamisan di depan Istana Negara. tirto.id/Riyan Setiawan

tirto.id - Pemerintah tengah menggodok Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pemulihan Korban Pelanggaran HAM Berat, yang salah satunya mengamanatkan pembentukan Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat melalui Mekanisme Nonyudisial (UKP-PPHB). Namun langkah ini dipandang tidak akan memberikan keadilan bagi korban.

"Saya pikir keseluruhan draf ini adalah kemenangan bagi pelaku pelanggaran HAM," kata Dosen Program Studi Ilmu Politik UPN “Veteran" Jakarta Sri Lestari Wahyuningrum dalam diskusi yang diselenggarakan KontraS pada Kamis (8/4/2021).

Dalam draf Pepres tersebut, Sri menjelaskan pemerintah sangat menekankan aspek reparasi korban pelanggaran HAM berat dan rekonsiliasi, setelah reparasi dilakukan maka masalah dianggap selesai.

Sementara, aspek pengungkapan kebenaran sama sekali tidak diungkit dalam draf tersebut, baik sebelum reparasi dilakukan atau sesudahnya.

Sri mengeluh pendekatan yudisial dan non-yudisial yang kerap kali dibenturkan, dan pendekatan yudisial digunakan untuk kabur dari tanggung jawab pemenuhan keadilan. Padahal tidak demikian. Pendekatan yudisial dan non-yudisial, menurut Sri bersifat komplementer. Sebelum dilakukan reparasi, harus ada pengungkapan kebenaran soal apa yang terjadi pada masa lalu.

"Pemulihan itu hanya satu instrumen. Dia tidak menyelesaikan masalah, karena dari semua mekanisme ini yang kita tuju adalah akuntabilitas memutus impunitas," katanya.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Instrumen HAM Kementerian Hukum dan HAM Timbul Sinaga selaku penyusun draf menyampaikan tugas dari UKP-PPHB adalah menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu dengan pemenuhan hak dasar korban.

Kelak, korban bisa menyodorkan kebutuhan individu seperti akses kesehatan, akses pendidikan, akses perumahan, akses modal, dan akan dipenuhi oleh pemerintah. Korban secara kolektif juga bisa mengajukan pemenuhan kebutuhan kolektif, seperti pembangunan jalan atau pembangunan rumah ibadah, dan akan dipenuhi pemerintah.

Timbul menyebut hal serupa sudah dilakukan di Lampung untuk kasus Talangsari.

"Kalau sudah dipulihkan [pemenuhan hak dasar] ya rekonsiliasi dong. Masa kalau sudah dipulihkan tidak rekonsiliasi masih mengingat masa lalu?" kata Timbul.

Setelahnya, pemerintah memberikan jaminan peristiwa serupa tidak akan terjadi di masa depan. Namun Timbul menegaskan pemerintah tidak akan meminta maaf.

Peneliti KontraS Tiolia Pretty menyebut pemerintah sejak 2015 sudah membentuk sejumlah tim dengan tugas serupa, mulai dari Komite Rekonsiliasi bentukan Jaksa Agung, Komite Pengungkapan Kebenaran, Dewan Kerukunan Nasional bentukan Menko Polhukam Wiranto, dan pada 2019 Kemenko Polhukam membentuk Tim Terpadu Penanganan Dugaan Pelanggaran HAM.

Tim terakhir bergerak ke Lampung untuk menangani korban Talangsari. Berdasar temuan KontraS, perwakilan warga korban Talangsari menyatakan pemenuhan keadilan bagi korban harus dilanjutkan meski ada reparasi oleh pemerintah, tetapi dalam dokumen pemulihan yang disodorkan Tim Terpadu, poin itu tidak dimasukkan.

"Jadi ini sifatnya bukan dua arah, ini satu arah. Pemerintah siap dengan draf dan ketika korban memberi masukan, ditolak," kata Pretty.

Baca juga artikel terkait PELANGGARAN HAM atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Bayu Septianto