tirto.id - Pembatalan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 3 Tahun 2018 tentang Penerbitan Surat Keterangan Penelitian (SKP), dianggap tidak menyelesaikan masalah. Kemendagri memutuskan aturan SKP kembali pada aturan lama yang juga sama-sama bermasalah.
Misalnya, berdasarkan prosedur pengajuan izin penelitian, Permendagri lama memakan waktu yang panjang dan rumit karena melibatkan lebih banyak birokrasi.
Ketentuan soal SKP sebelumnya diatur dengan Permendagri Nomor 7 Tahun 2014 tentang Penerbitan Rekomendasi Penelitian juncto Permendagri Nomor 64 Tahun 2011. Permendagri ini mengatur pengajuan izin riset dengan lingkup nasional (dilakukan di dua provinsi atau lebih) diajukan peneliti kepada Kemendagri melalui Direktur Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik (Dirjen Kesbangpol).
Setelah izin keluar, peneliti wajib menyampaikan dokumen itu kepada kepala daerah tempat dimana riset dilakukan, melalui Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang membidangi urusan Kesbangpol.
Bandingkan dengan aturan baru, pada Permendagri 3/2018, izin hanya perlu diurus sesuai dengan lingkup penelitian. Misalnya, ketika penelitian dilakukan di dua provinsi atau lebih (tingkat nasional), maka peneliti hanya perlu mengurus izin ke Kemendagri tanpa urus izin di provinsi. Begitu pula untuk penelitian untuk lingkup yang lebih sempit (provinsi dan kabupaten/kota).
Persoalan durasi terbitnya SKP keluar pasca seluruh dokumen diserahkan butuh enam hari kerja, padahal dalam aturan baru ditetapkan lima hari kerja.
Dampak lain ketika menggunakan aturan lama, peneliti yang berstatus mahasiswa tingkat akhir juga wajib mengurus izin. Sementara pada Permendagri yang baru dan sudah dibatalkan, SKP hanya wajib diurus peneliti yang bukan dalam rangka memenuhi tugas akhir sekolah atau bertugas dari lembaga negara yang dana risetnya berasal dari APBN atau APBD.
Polemik Permendagri 3/2018
Persoalannya, Permendagri yang baru pun bukan tanpa cela, ada aroma pengekangan dengan berbagai persyaratan yang diatur. Mendagri Tjahjo Kumolo bukan tidak sadar ihwal keruwetan dua aturan ini. Ketika Permendagri baru belum dicabut, Tjahjo mengatakan bahwa peraturan lama memang cenderung birokratis.
"Menyulitkan dalam proses mendapatkan rekomendasi penelitian, mengingat proses mendapatkan rekomendasi penelitian yang berlapis," kata Tjahjo.
Dalam Permendagri 3/2018, juga ada unsur mengatur subtansi sebuah penelitian. SKP tidak akan keluar ketika hasil penelitian berpotensi membawa "dampak negatif". Penilaian negatif atau tidaknya sebuah penelitian ditentukan oleh Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri dan Badan/Kantor Kesbangpol Provinsi atau Kabupaten/Kota, tercantum pada pasal 11 Permendagri 3/2018.
SKP juga berpotensi tidak diterbitkan apabila peneliti tidak mematuhi norma atau adat istiadat setempat. Selain itu, juga bila kegiatannya "meresahkan masyarakat, disintegrasi bangsa, atau keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)." (Pasal 15).
Persoalan dari dua pasal ini adalah tidak ada ukuran yang jelas mengenai definisi "dampak negatif", "norma", dan "adat istiadat". Selain itu, tidak ada keterangan lebih jauh soal itu, ditambah tanpa melibatkan semacam hak jawab bagi peneliti yang permohonannya ditolak, memunculkan anggapan bahwa pemerintah hendak membatasi kemajuan ilmu pengetahuan.
Profesor riset pada Pusat Penelitian Politik (P2P) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dewi Fortuna Anwar, sempat mengatakan bahwa aturan ini membuat Indonesia "seolah kembali ke zaman Orde Baru." "Indeks demokrasi RI bisa semakin turun di bawah Jokowi," katanya.
Libatkan Semua Pihak
Permendagri lama yang kini kembali berlaku lagi, seharusnya juga tak bertahan lama. Alasannya sederhana, sama-sama bermasalah. Semangat ini rupanya ditangkap oleh Mendagri, ia akan membuat aturan baru yang lebih baik. Setidaknya bisa lebih baik dari kedua Permendagri yang pernah terbit.
Untuk itu, kemendagri akan meminta masukan dari Kementerian/Lembaga (K/L) terkait dan para peneliti. Langkah ini memang sebaiknya dilakukan, agar Kemendagri tidak kembali mengeluarkan produk hukum yang kontroversial.
"Libatkan semua pemangku kepentingan, dari mulai pemerintah, peneliti, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Indonesia sudah tertinggal jauh dalam bidang Iptek, jangan justru [aturan terkait] mempersulit aktivitas penelitian," kata Dewi.
Sekarang hanya perlu langkah tepat dari Kemendagri untuk segera melakukan revisi agar aturan sebagai pintu masuk penelitian bisa mendengar aspirasi para peneliti.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Rio Apinino