tirto.id - Empat dari lima tersangka pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J menjalani tes kebohongan. Asisten rumah tangga Irjen Pol Ferdy Sambo, Susi, turut mengikuti uji kejujuran itu.
Namun, polisi enggan memberitahukan hasil uji tersebut ke publik. “Untuk hasil deteksi kebohongan yang sudah dilakukan kemarin terhadap PC dan juga S, sama. Setelah saya berkomunikasi dengan Puslabfor dan juga operator poligraf bahwa hasil itu adalah pro justitia," kata Kadiv Humas Polri, Irjen Pol Dedi Prasetyo, di Mabes Polri, Kamis, 8 September 2022.
Penyampaian hasil tes tersebut merupakan kewenangan langsung penyidik, kata Dedi.
“Penyidik yang berhak mengungkapkan kepada teman-teman (wartawan), termasuk penyidik juga akan menyampaikan ke persidangan," imbuh Dedi.
Alasan lainnya lantaran hasil uji kebohongan itu merupakan barang bukti, jadi tidak sembarangan dipublikasikan.
Alat pendeteksi kebohongan yang digunakan Polri bersertifikat The International Organization for Standardization (ISO), berasal dari Amerika tiga tahun lalu, dan berakurasi 93 persen. "Dengan syarat tingkat akurasi 93 persen, maka itu pro justitia. Kalau (hasil) di bawah 90 persen itu tidak ranah pro justitia. Jika pro justitia berarti hasilnya diserahkan ke penyidik," terang Dedi.
Bharada Richard Eliezer, Bripka Ricky Rizal, dan Kuat Ma'ruf telah melewati tes kebohongan pada 6 September. Kemudian dilanjutkan Putri Candrawathi dan Susi pada 7 September. Sehari setelah istrinya, giliran Sambo yang direncanakan menghadapi poligraf.
Tak Semua Petunjuk Diungkap
Hasil uji kebohongan merupakan barang bukti yang mendukung pembuktian di persidangan dan akan divalidasi oleh keterangan ahli atau keterangan surat. “Untuk menjamin due process of law, (hasil tes) itu seharusnya baru bisa dibuka di persidangan,” kata Fachrizal Afandi, dosen hukum pidana Universitas Brawijaya, kepada Tirto, Kamis, 8 September 2022.
Jika aparat penegak hukum konsisten mengikuti suatu proses hukum yang baik, benar dan adil, maka tersangka tak boleh di-konferensi pers-kan atau diperlihatkan kepada publik, misalnya. Problemnya, lanjut Fachrizal, aparat penegak hukum di Indonesia belum konsisten.
Contohnya, kata dia, polisi bisa ‘memajang’ tersangka pencuri ayam di hadapan pewarta; sementara, jika dikaitkan dengan kasus Sambo, Sambo tidak diperlihatkan ketika dia resmi menjadi tersangka.
Kemudian, bila lagi-lagi dikaitkan dengan perkara Sambo, Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Pol Andi Rian Djajadi menyatakan “hasil sementara uji poligraf terhadap RE, RR, dan KM, hasilnya 'no deception indicated' alias jujur,” ucap dia, Selasa, 6 September. Sedangkan ‘hasil sementara’ Putri dan Susi, tidak diberitahukan.
“Kalau polisi menganggap (hasil uji merupakan) materi pro justitia dan tidak bisa diumumkan kepada publik, artinya ketika mereka mengumumkan (hasil uji) Brigadir RE, (polisi berbuat) salah,” terang Fachrizal.
Bisa muncul asumsi publik ihwal penyidik membedakan perlakuan kepada para tersangka, meski tidak memberitahukan detail hasil tes kebohongan. Pun penyampaian detail atau tidak, itu ialah diskresi kepolisian.
Bila hasil tes merupakan ‘rahasia’, namun diberitahukan kepada masyarakat, maka si informan itu bisa dikenakan sanksi etik karena sama saja merusak proses pembuktian. “Jika memang konsisten (due process of law), maka (pengumuman) sebelumnya harus dinyatakan tidak sah.”
Peneliti dari Pusat Penelitian Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Muhamad Haripin berkata, secara mekanisme penyidikan, ada hal-hal yang menjadi diskresi penyidik seperti barang bukti cum pernyataan saksi.
“Tidak semuanya boleh diungkap ke publik meski ada desakan dari masyarakat, misalnya karena kasus besar yang melibatkan petinggi. Diskresi itu juga yang harus dijaga dalam konteks penegakan hukum,” kata dia kepada Tirto.
Di sisi lain, Polri tak bisa buta dan tuli lantaran masyarakat mencermati kasus kematian Brigadir Yosua. Pun yang bisa dilakukan Korps Bhayangkara yaitu strategi komunikasi.
“Bagaimana Polri bisa meyakinkan publik bahwa hasil tes poligraf seperti apa, karena harus ada penjelasan kepada masyarakat. Jangan serta-merta ini tertutup dan menjadi hak penyidik, tapi ada hal-hal yang bisa diungkapkan juga oleh polisi,” kata dia.
Permasalahan lainnya penyidik juga mesti bisa menjaga bahwa hasil tes tersebut apa adanya, nihil manipulasi, intervensi, atau kompromi banyak pihak. Itu dilematik. Maka Polri bisa memaksimalkan pengawas internal kepolisian, tak hanya Divisi Profesi dan Pengamanan dan Bagian Pengawasan dan Penyidikan.
Misalnya, kata Haripin, meningkatkan kerja Inspektorat Pengawasan Umum Polri, mereka tak sekadar normatif turun tangan soal anggaran atau pengadaan. Inspektorat Pengawasan Umum Polri juga berwenang mengawasi proses penegakan hukum.
Publik pun kerap meminta agar reformasi kepolisian bisa dilakukan secara benar, total, dan utuh, demi profesionalitas institusi tersebut –meski setiap Kapolri mempunyai programnya—.
Haripin berkata, usai Polri berpisah dengan TNI, tren yang bertelur dari kepolisian seperti wewenang Polri semakin luas dan anggaran semakin besar.
“Namun pengawasan terhadap kepolisian tiada peningkatan signifikan dari zaman reformasi sampai sekarang. Kompolnas dengan tiga perannya, ya begitu-begitu saja, misalnya,” tutur Haripin. Bahkan rekam jejak Komisi III DPR mengawasi polisi pun kurang memuaskan.
Apa yang perlu ditingkatkan? Yaitu mekanisme pengawasannya. Apalagi kasus Sambo ini mencoreng Divisi Profesi dan Pengamanan alias si ‘polisinya polisi’, mestinya divisi tersebut mengawasi para personelnya yang berbuat melenceng, namun Sambo selaku kepala divisi malah nekat berulah.
“Memang babak belur agenda pengawasan dalam reformasi kepolisian ini. Jadi tidak ada sama sekali pengawasan (terhadap) polisi selama 20 tahun terakhir. Polisi bisa melakukan apa pun dengan anggaran yang naik tiap tahun, kewenangannya luas, tapi di sisi pengawasan tak ada terobosan,” jelas Haripin. “Mudah-mudahan kasus ini jadi momen memperkuat pengawasan.”
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz