tirto.id - Pernyataan seseorang dalam persidangan seringkali membuka informasi-informasi yang bisa saja menyudutkan pihak lain yang disebut-sebut. Pernyataan seseorang dalam persidangan sering pula mendapat respons tindakan hukum oleh pihak lain.
Persoalan terbaru misalnya, saat nama mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) disebut-sebut dalam persidangan kasus korupsi e-KTP. Partai Demokrat berencana melaporkan pengacara Setya Novanto, Firman Wijaya, karena dinilai mencemarkan nama baik Ketua Umum mereka sekaligus Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Sebagai penasihat hukum, Firman dituding sengaja mengarahkan saksi, dalam hal ini Mirwan Amir, sehingga menyebut nama SBY di persidangan.
"Kami akan melaporkan yang bersangkutan [Firman Wijaya] ke Polda Metro Jaya atas dugaan penghinaan dan pencemaran nama baik," kata anggota Divisi Hukum dan Advokasi DPP Demokrat Ardy Mbalembout, Senin (29/1/) kemarin.
Pada Kamis, 24 Januari lalu, sidang kasus korupsi KTP-elektronik dengan terdakwa Setya Novanto mengagendakan pemeriksaan saksi Mirwan Amir, Wakil Ketua Badan Anggaran DPR periode ketika kasus korupsi KTP-elektronik terjadi, 2009-2014.
Di sana, Mirwan mengaku ada instruksi langsung dari SBY agar program pengadaan KTP-elektronik tetap dilanjutkan, meski—menurut kesaksiannya sendiri—SBY tahu bahwa proyek miliaran rupiah yang dianggarkan lewat APBN itu bermasalah. Dalam konteks ini, Firman Wijaya selaku pengacara justru berpotensi diperkarakan secara hukum, bukan Mirwan Amir selaku saksi dalam persidangan.
Contoh lainnya yaitu saat anggota Front Pembela Islam (FPI) Habib Novel Chaidir Hasan melaporkan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri, 14 Desember 2016 silam. Novel melaporkan Ahok karena dinilai kembali menista agama saat menyampaikan eksepsi dalam persidangan.
Ucapan Ahok yang dipersoalkan berbunyi: "ada ayat yang sama yang saya begitu kenal digunakan untuk memecah belah rakyat," dan "dari oknum elite yang berlindung di balik ayat suci agama Islam, mereka menggunakan Al-Ma’idah."
Ahok menyampaikan kalimat-kalimat tersebut di depan majelis hakim, sehari sebelum dilaporkan Desember 2016.
Dilindungi Hukum
Perlindungan terhadap saksi, korban, atau bahkan terdakwa ketika memberi pernyataan dalam persidangan telah dijamin Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Namun, dari dua contoh kasus di atas, jaminan hukum tidak cukup menghentikan upaya pihak-pihak tertentu untuk mempermasalahkan pernyataan yang keluar dalam persidangan.
Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Hajar, mengatakan bahwa eksepsi, atau penolakan/keberatan yang disampaikan terdakwa karena dakwaan yang diberikan kepadanya dibuat dengan cara yang tidak benar di persidangan memang tidak bisa diperkarakan untuk memunculkan perkara baru.
"Pada dasarnya pernyataan, pendapat, dan pembelaan di dalam persidangan tidak dapat dilakukan penuntutan, sepanjang dilakukan dengan itikad baik," kata Abdul kepada Tirto, Selasa (30/1/2018).
Dalam kasus Ahok polisi masih konsisten menjalankan hukum. Hal ini terbukti dengan keluarnya Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) yang mengatakan bahwa penyelidikan kasus dihentikan, pada 24 Januari kemarin. Alasannya sama persis dengan pernyataan Abdul, bahwa apa yang dikatakan Ahok dilindungi aturan, tidak ada indikasi pidana sama sekali.
Hal yang sama bakal jadi alasan mengapa pelaporan terhadap Firman Wijaya bisa jadi salah kaprah. Menurut Abdul, selama persidangan Firman dilindungi KUHAP sekaligus Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
"Apa yang dikatakan oleh terdakwa dan/atau penasihat hukum dalam persidangan tidak dapat dilakukan penuntutan," kata Abdul.
Begitu juga menurut pakar hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Chairul Huda. "Itu termasuk yang dilindungi, imunitas advokat," kata Chairul kepada Tirto.
Berdasarkan KUHP, tak ada materi kesaksian di persidangan Novanto yang bisa diperkarakan. Proses hukum hanya bisa diterapkan pada kesaksian palsu, sesuai isi Pasal 242 KUHP yang berbunyi: "barangsiapa... dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, dengan lisan atau tulisan, secara pribadi atau melalui kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun."
Proses hukum terhadap mereka yang memberi keterangan palsu juga harus sesuai aturan. Chairul berkata, penilaian kejujuran saksi dalam persidangan sudah diatur pada Pasal 174 KUHAP yang tertulis: "jika kesaksian seseorang disangka palsu maka hakim ketua sidang bisa mengeluarkan peringatan. Kemudian, apabila saksi tetap menyampaikan keterangan yang diduga palsu, hakim dapat memberi perintah supaya ia ditahan untuk dituntut perkara dengan dakwaan penyampaian sumpah palsu."
Meski dilindungi hukum, tapi bukan berarti tidak ada celah sama sekali. Ada kemungkinan Firman terjerat pidana jika yang kemudian diusut Partai Demokrat adalah keterangan saat diwawancarai wartawan lepas sidang selesai. Menurut Abdul, pernyataan Firman di luar persidangan sulit dikategorikan sebagai perbuatan kuasa hukum dalam membela kliennya.
"Karena itu tindakan di luar sidang, sulit untuk mengukurnya sebagai bagian dari pelaksanaan UU Advokat. Karena itu terbuka kemungkinan untuk dipersoalkan," kata Abdul.
Partai Demokrat belum mengeksekusi wacana pelaporan Firman Wijaya, sehingga pernyataan mana yang akan dilaporkan masih tidak diketahui. Ardy Mbalembout dari Divisi Advokasi Demokrat hanya mengatakan bahwa apa yang dikatakan Firman kepada Wartawan hanya "asumsi dari keterangan saksi."
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Rio Apinino