tirto.id - Bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada 8 Maret, International Labour Organization (ILO) menggelar diskusi interaktif dengan mengangkat topik “Saatnya Perempuan Setara dalam Perundingan Perjanjian Kerja Bersama.”
Acara digelar di Hotel Pullman, Jakarta Pusat, Kamis 8 Maret 2018, dan dibuka Direktur ILO di Indonesia Michiko Miyamoto. Dalam pembukaan, Miyamoto menggarisbawahi pentingnya pelibatan perempuan dalam perundingan perjanjian kerja bersama (PKB) untuk menghindari diskriminasi di tempat kerja.
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial Kementerian Ketenagakerjaan Haiyani Rumondang yang menjadi salah satu pembicara mengatakan negara sudah cukup membantu mewujudkan kesetaraan gender di dunia kerja. Langkah ini dilakukan dengan meratifikasi dua konvensi.
Pertama, Konvensi 100 tentang pengupahan yang setara antara perempuan dan laki-laki untuk pekerjaan yang sama. Kemudian, Konvensi 111 tentang penghapusan diskriminasi dalam pemberian pekerjaan dan jabatan berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, keyakinan politik, kebangsaan atau asal dalam masyarakat.
Implikasi dari ratifikasi ini, kata Haiyani, perusahaan semestinya tidak mencantumkan lagi syarat jenis kelamin dalam lowongan pekerjaan yang dibuat.
Pada praktinya, Aline Adita selaku perwakilan dari pekerja dunia entertainment mengatakan, ratifikasi ini belum berjalan di dunia hiburan. Aline menyebut kondisi ini terjadi lantaran ada peran tertentu yang mensyaratkan “perempuan cantik/berpenampilan menarik untuk peran-peran tertentu.”
Masalah diskriminasi ini rupanya tak hanya terjadi di dunia hiburan. Salah seorang hadirin yang datang menyampaikan contoh lain yakni masih sering ditemukan lowongan mekanik dibuka hanya untuk laki-laki.
Ketika terjadi diskirminasi, Haiyani dan sejumlah pembicara yang hadir menekankan pentingnya perempuan berperan aktif meningkatkan kompetensi agar bisa bersaing dengan laki-laki di dunia kerja. Penekanan ini dilontarkan lantaran sebagian perempuan merasa butuh diberikan privilese khusus berdasarkan gender, tetapi alpa memperhatikan pengembangan kompetensi.
“Semakin perempuan membuat dirinya eksklusif, semakin mungkin dia tersisih,” kata Haiyani Rumondang.
PKB dan Kepentingan Perempuan di Tempat Kerja
Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk merealisasikan kesetaraan gender di tempat kerja adalah partisipasi pekerja dalam merumuskan PKB. Peraturan ini bisa mengikat pekerja dan pemberi kerja seperti peraturan perusahaan lantaran bisa mencantumkan syarat kerja, hak dan kewajiban perusahaan dan karyawan, serta aturan yang belum dimuat di peraturan perundang-undangan. PKB juga dapat dibuat bila perusahaan memiliki aturan baru yang hendak disosialisasikan kepada pekerjanya.
Ketua Bidang Program Federasi Garmen dan Tekstil (Garteks) Elly R. Silaban mengatakan baru ada 13 ribu PKB dari sekitar 200 ribu perusahaan hingga saat ini. “Peraturan perusahaan masih mendominasi. Lalu kalau ada PKB, juru runding juga tidak membaca isi PKB-nya. Yang ada, PKB sering kali mengopi dari peraturan perusahaan saja,” ungkap Elly.
Elly menyebut manajemen perusahaan perlu berunding dengan serikat kerja untuk membuat PKB, lantaran aturan ini bertujuan menengahi kebutuhan perusahaan dengan karyawan--termasuk hak-hak perempuan--.
Dalam perundingan ini, Elly mengatakan, keterlibatan perempuan menjadi krusial karena hanya mereka yang mampu menegosiasikan kendala pekerjaan yang berasal dari faktor biologis. Elly mengibaratkan gangguan haid atau kondisi perempuan saat sedang hamil. “Bagaimana mungkin laki-laki [juru runding] bisa menjelaskan soal itu [masalah biologis perempuan].”
Hambatan Realisasi Kesetaraan Gender di Tempat Kerja
Peluang bagi perempuan untuk terlibat dalam serikat pekerja dan untuk turut serta dalam perundingan PKB sebenarnya terbuka, tapi ada kendala yang akhirnya membuat kebutuhan mereka sebagai karyawan terhambat salah satunya karena aktivitas serikat pekerja masih didominasi laki-laki.
“Dalam perundingan antara serikat pekerja dan perusahaan, jarang sekali perempuan datang sebagai juru runding. Kalau pun datang, mereka biasanya menulis notulen, tidak berbicara sedikit pun,” ucap Elly.
Haiyani Rumondang mengafirmasi pendapat Elly. Dalam pelatihan teknik bernegosiasi yang pernah diselenggarakan pemerintah, Haiyani mengatakan, kebanyakan pekerja yang datang adalah laki-laki. Ini berkenaan pula dengan inisiatif para perempuan sendiri untuk aktif berperan dalam serikat buruh atau mengadvokasi pemenuhan hak-hak mereka.
“Kuota [di serikat pekerja] saja belum cukup untuk menjamin terwujudnya pemenuhan kebutuhan perempuan saat merundingkan PKB. Perlu ada kemampuan dan pemahaman mengenai syarat-syarat kerja itu sendiri. Sepanjang perempuan berkompetensi, peluang keterwakilan mereka juga akan terbuka,” ujar Haiyani.
Kendala lain yang juga dibahas dalam diskusi ini adalah masalah domestik yang dihadapi perempuan. Susy Bakara selaku perwakilan manajemen dari perusahaan multinasional Avery Dennison mengatakan, domistikasi menjadi masalah yang kerap dihadapi perempuan secara berulang.
“Ketika masih single, kami [perempuan] bisa bekerja semaksimal mungkin sesuai kemampuan. Tetapi begitu kami menikah, kami perlu minta izin suami untuk beraktivitas di luar. Lalu mertua, apakah mereka mendukung kegiatan kami?” papar Susy.
Pendapat senada disampaikan oleh Darmawati, perwakilan dari lembaga pemberdayaan pekerja perempuan di Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Ia menyatakan, kendala yang dihadapi perempuan pekerja adalah kodrat mereka sebagai ibu dan istri.
Sekalipun kesempatan, niat, dan dorongan untuk terlibat aktif dalam serikat pekerja sudah ada, perempuan masih dihadapkan dengan perkara domestik yang potensial berkonflik dengan keperluan serikat lantaran menuntut waktu lebih dari pekerja perempuan.
“Ketika kami mengikuti kegiatan serikat selama berhari-hari, kami harus meninggalkan anak, [padahal] anak itu sangat membutuhkan ibunya pada malam hari,” kata Darmawati.
Pengembangan Kemampuan SDM, Tanggung Jawab Siapa?
Dede Kurniasih, salah satu perempuan pekerja garmen, menceritakan pengalamannya menghadapi kesulitan untuk meneruskan pelatihan pemberdayaan perempuan ke rekan-rekan di tempat kerjanya saat ini. Pelatihan yang pernah diterima Dede mencakup pengembangan keterampilan berkomunikasi, pengambilan keputusan dan pemecahan masalah, manajemen keuangan, keterampilan mengelola stres, dan menyangkut kesehatan dalam produksi.
Mulanya, ia mendapat pelatihan dari sebuah perusahaan multinasional yang bekerja sama dengan LSM di Indonesia untuk mengembangkan kemampuan SDM. Keinginannya untuk meneruskan pelatihan tersebut terkendala ketiadaan dukungan dari sisi Disnaker.
“Kenapa pelatihan ini harus diprakarsai swasta dan LSM, bukan pemerintah?” kritik Dede.
Menanggapi hal ini, Heiyani berpendapat, “Pemerintah punya keterbatasan bila dibebankan memberi pelatihan untuk pengembangan kemampuan tenaga kerja di semua perusahaan. Undang-undang sebenarnya mewajibkan perusahaan untuk meningkatkan kemampuan pekerjanya. Walau demikian, pemerintah juga punya Balai Latihan Kerja untuk meningkatkan kompetensi SDM.”
Regulasi yang dirujuk Heiyani adalah UU Ketenagakerjaan pasal 12 ayat (1) yang berbunyi “Pengusaha bertanggung jawab atas peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi pekerjannya melalui pelatihan kerja” dan ayat (2) yang berisi “Peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwajibkan bagi pengusaha yang memenuhi persyaratan yang diatur dengan Keputusan Menteri.”
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Mufti Sholih