Menuju konten utama

Perang di Media Sosial untuk Merebut Jakarta

Dunia maya bukan lagi hal yang patut disepelekan.  Tiga pasang kandidat peserta Pilkada DKI Jakarta mempersiapkan tim khusus untuk bertarung di media sosial. Mereka juga menyebar pasukan maya untuk menguasai jagat dunia maya.

Perang di Media Sosial untuk Merebut Jakarta
Ketua KPU DKI Jakarta Sumarno (kanan) menyaksikan tiga pasangan calon Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni, Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat, dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno menunjukan nomor urut saat rapat pleno pengundian nomor urut Calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI di Jakarta, Selasa (25/10). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A./kye/16

tirto.id - Ketika Donald Trump memenangkan Pemilihan Presiden AS pada 8 November lalu, banyak orang terkejut. Pasar saham anjlok, nilai tukar melemah karena tak menyangka jika Trump yang sebelumnya banyak diberitakan negatif di media itu justru berhasil mengalahkan Hillary Clinton. Padahal, jika ditelusuri lebih lanjut di media sosial, tren kemenangan Trump sebenarnya sudah bisa dilihat.

Hasil analisis BrandEye yang mencermati korelasi antara jumah cuitan di Twitter dengan hasil Pilpres. Pada 7 November atau sehari menjelang pemilihan, dari 200.000 tweet di 11 negara bagian, terlihat lebih dari 50 persen responden di enam negara bagian yang pro kepada Trump. Tak hanya itu, sejak 31 Oktober hingga 6 November, sentimen pro Trump terlihat pada mayoritas negara bagian, kecuali Wisconsin.

Dunia maya memang bisa dijadikan salah satu barometer untuk mengetahui tren kemenangan seorang kandidat. Hasil penelitian yang dilakukan Andranik Tumasjan, Timm O. Sprenger, Philipp G. Sandner, Isabell M. Welpe pada 2010 juga menunjukkan hal yang sama untuk pemilu Jerman. Pada periode 13 Agustus – 19 September 2009, dilakukan pengamatan atas 104.003 twit. Hasil studi menunjukkan bahwa tren di Twitter mendekati hasil pemilihan yang sesungguhya. “Hasil kami menunjukkan bahwa Twitter dapat dipertimbangkan sebagai indikator yang valid untuk opini politik,” jelas hasil studi tersebut.

Pemilu India pada 2016 juga menunjukkan hasil yang sama. Penelitian yang dilakukan Md Safiullah, Pramod Pathak, Saumya Singh, Ankita Anshul (2016) melalui tweet yang mendukung menunjukkan hasil yang sama dengan hasil pemilu. Aam Admi Party mendapatkan suara terbanyak dalam pemilu dan berbanding lurus dengan total tweet yang mendukungnya.

Tim Media Sosial

Pergerakan tren, penguasaan dunia maya merupakan salah satu hal yang kini mutlak dilakukan para kandidat yang ingin memenangkan sebuah pemilihan. Tak terkecuali pemilihan Gubernur DKI Jakarta kali ini. Tiga pasangan kandidat Gubernur -Wakil Gubernur DKI Jakarta sudah jauh-jauh hari berusaha memantau dan menggunakan media sosial sebagai salah satu ajang kampanyenya. Tiga pasangan kandidat bahkan memiliki tim khusus untuk menggarap persaingan di sosial media.

Pasangan Ahok-Djarot kini punya Jakarta Ahok Social Media Volunters (Jasmev). Jasmev memang bukan nama baru di kalangan pengguna media sosial. Setelah sukses membawa Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama ke kursi kekuasaan di Jakarta pada Pilkada 2012, para relawan ini semakin sering terdengar.

Pada Pemilihan Presiden 2014, misalnya, Jasmev kembali muncul dan mengkampanyekan pasangan Jokowi dan Jusuf Kalla. Mereka menamakan diri Jokowi Advanced Social Media Volunteers (Jasmev2014). Kini, mereka kembali muncul untuk mendukung pasangan Ahok-Djarot pada Pilkada DKI Jakarta 2017 dengan menyebut diri Jasmev2017.

Jasmev merupakan kelompok relawan tanpa bayaran ketika pasangan Jokowi-Ahok maju dalam Pilkada 2012. Jaringan relawan ini membiayai diri sendiri dan bersifat otonom. Pada Pilkada kali ini, mereka bersatu dengan Tim Pemenangan Ahok-Djarot di Rumah Lembang. Tugasnya membuat konten-konten positif viral di media sosial.

Kemunculan Jasmev2017 diikuti oleh calon pasangan lain dengan membentuk relawan sejenis. Pasangan Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni misalnya, pada 2 Oktober lalu, resmi didukung oleh para relawannya yang tergabung dalam KaribAGUS. Didirikan atas inisiator teman-teman SMA Agus di Taruna Magelang, Jawa Tengah,

Pasangan Anies Baswedan dan Sandiga Salahudin Uno pun tak ketinggalan. Mereka punya relawan dunia maya yang tergabung dalam jakartamajubersama.com. Melalui akun Twitter resmi @JktMajuBersama, tim pemenangan Anies-Sandi ini mengampanyekan program-program mereka.

Berbagai jargon untuk memikat pemilih pun ditebar dalam berbagai bentuk. Misalnya 23 janji kerja Anies-Sandi. Foto-foto kunjungan ke berbagai tempat pun dipublikasikan. Mereka membangun citra positif dan kerja nyata pasangan Anies-Sandi.

Mardani Ali Sera, Ketua Tim Kampanye Anies-Sandi mengatakan, guna memenangkan pasangan calon nomor urut 3 itu, dia bersama timnya fokus untuk melakukan kampanye di media sosial. Strateginya, membangun citra pasangan Anies-Sandi dengan membuat konten menjadi viral. “Konten the main yang jadi viral,” ujar Mardani kepada tirto.id.

Pilkada DKI 2016

Membayar Netizen

Selain memiliki relawan untuk bergerilya di media sosial, tim sukses para pasangan calon juga memelihara netizen bayaran. Tujuannya untuk merespons pemberitaan negatif dari para pesaing. Mereka bekerja dengan mengamati isu di jejaring media sosial, termasuk mengamati pemberitaan mengenai Pilkada DKI Jakarta. Jika ada konten yang bisa "dimainkan", mereka dengan cekatan akan menggarap isu menjadi viral di media sosial.

Seorang netizen yang menjadi pasukan bayaran menuturkan bagaimana cara kerja pasukan netizen bayaran ini. Tugasnya memantau berbagai isu di media sosial dan juga pemberitaan media massa. “Pokoknya aku nyebar berita dan komentar di setiap berita,” ujar netizen yang meminta identitasnya dirahasiakan itu. Untuk pekerjaan seperti itu, dia mendapat bayaran. “Sebulan Rp 2 juta,” katanya kepada tirto.id.

Menurut penuturannya, seorang netizen bertugas membuat lima akun anonim (samaran) untuk berkomentar di sebuah berita untuk kemudian disebarluaskan. Diupayakan menjadi viral demi mendongkrak pasangan calon yang mereka pasarkan.

Pasukan netizen bayaran tidak masuk dalam struktur resmi Tim Sukses atau terdaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Mereka bekerja dari luar struktur. “Tidak sampai 100 orang,” ujarnya.

Keberadaan buzzer atau pasukan media sosial ini, menurut Yose Rizal dari Political Wave.com, bisa dianalogikan sebagai tim sukses. Meski tak masuk struktur, mereka kepanjangan dari inisiator tim kampanye. Sebab, kesuksesan calon pasangan dipercaya mempunyai hubungan nyata dengan kampanye di medis sosial.

Yose mencontohkan peran media sosial yang turut membantu kemenangan Jokowi-Ahok pada Pilkada DKI Jakarta 2012. Saat lembaga survei mengarahkan kemenangan pada Fauzi Bowo, para netizen justru berupaya memenangkan Jokowi.

“Tahun itu terlihat hanya Jokowi-Ahok yang memanfaatkan posisi strategis medsos hingga mengenalkan relawan medsos. Ada lebih dari 500 ribu akun yang melakukan percakapan Jokowi-Ahok. Kini medsos menjadi salah satu basis kampanye untuk menjangkau pemilih muda dan menengah di Jakarta,” kata Yose Rizal kepada tirto.id.

Yose mengaku susah menghitung berapa pengeluaran untuk berkampanye menggunakan media sosial. Sebab tidak semua buzzer politik dibayar. “Masalah biaya digital ini tidak seperti televisi. Buzzer ini susah perhitungannya. Walau da yang dibayar, tapi ada juga yang tidak. Agak sulit mengetahui nilainya karena biasanya mereka bekerja di bawah tanah,” katanya.

Ibu Kota Media Sosial

Seksinya kampanye Pilkada DKI Jakarta di dunia maya memang bukan tanpa alasan,apalagi Jakarta merupakan kota dengan jumlah tertinggi pengguna media sosial di Indonesia.

Berdasarkan data Pusat Kajian Komunikasi Universitas Indonesia (Puskakom UI) tahun 2015, pengguna internet di Jakarta mencapai 40 persen dari total pengguna internet di Indonesia yang sebesar 88,1 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Jakarta merupakan kota dengan pengguna Twitter terbesar di dunia.

Sementara data Political Wave terkait Pilkada Jakarta menunjukkan, angka pengguna media sosial terus meningkat. Hal itu bisa dilihat dari kenaikan masing-masing calon pasangan. Misal percakapan pasangan Ahok-Djarot. Pada 9 November mencapai 30 ribu dan menjadi 46 ribu pada 11 November. Tiga hari kemudian, angkanya mencapa 56 ribu. Pasangan ini unggul dengan 295 ribu atau 82,5 persen.

Sedangkan pasangan Agus-Sylvi, pada 9 November, juga naik dari 2.,000 ke 4.000 percakapan. Kemudian naik hingga 11 ribu pada 13 November. Dua hari berikutnya, berangsur turun di kisaran 5.000-3.000 percakapan. Total percakapan pasangan ini mencapai 40.000 atau 11,2 persen.

Sementara pasangan Anies-Sandi, percakapan di media sosial yang awalnya dimulai dari angka 3.000 naik menjadi 4.000. Kemudian berfluktuasi di angka 3.000 dan 2.000. Pada 15 November turun menjadi 1.200 percakapan dengan total hasil percakapan mencapai 22.000 atau 6,3 persen.

Menurut Nukman Luthfie, pakar media sosial, tensi di media sosial memang meningkat di setiap masa pemilihan pemimpin baru, seperti Pilkada atau Pilpres. Sebab publik ingin mendapatkan pemimpin terbaik dengan men-share segala info yang menguntungkan kandidat pilihannya. Karena mereka tidak bisa berbicara di media konvensional, maka media sosial menjadi jalan keluar.

Terlebih Pilkada yang digelar di Jakarta yang merupakan ibu kotanya media sosial di Indonesia. “Ini yang kemudian membuat kontestan sadar betul. Kalau ingin menang di Jakarta, mereka harus main di media sosial. Makanya mereka, akun resminya, akun pendukungnya, semua bergerak di media sosial terutama di Facebook dan Twitter,” kata Nukman kepada tirto.id, Selasa (15/11/2014).

Perang di media sosial selama kampanye Pilkada DKI Jakarta masih akan terus bergulir dan hampir pasti semakin ramai. Akankah “penguasa” di dunia maya bakal jadi pemenang di akhir perang?

Baca juga artikel terkait PILKADA DKI JAKARTA atau tulisan lainnya dari Kukuh Bhimo Nugroho

tirto.id - Indepth
Reporter: Aditya Widya Putri, Mawa Kresna & Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Kukuh Bhimo Nugroho
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti