Menuju konten utama

"Hati-hati Share Berita"

Kampanye Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta justru terasa ramai dan greget di media sosial. Masing-masing tim pemenangan tiga bakal calon mempersiapkan tim khusus untuk melakukan kampanye di dunia maya. Negative campaign dan black campaign berseliweran.

Nukman Luthfie, pakar media sosial

tirto.id - Menjelang perhelatan pemilihan pemimpin baru, baik Pilkada atau Pilpres, tensi di media sosial memang selalu meningkat. Penyebabnya, publik ingin mendapatkan pemimpin pilihan yang dianggap terbaik.

Hal itu disampaikan Nukman Luthfie, pakar media sosial, yang menyebut pertarungan di media sosial terkait Pilkada Jakarta memang sangat luar biasa. “Suara-suara publik banyak sekali bermunculan karena Jakarta adalah ibu kota media sosial di Indonesia,” katanya kepada Dieqy Hasbi Widhana, reporter tirto.id, pada Selasa (15/112016).

Persoalannya, kampanye di media sosial justru sangat kental dengan upaya untuk mencari keburukan masing-masing kandidat yang dilakukan oleh para pendukung kandidat tertentu. Bagaimana kiat memilah mana negative campaign atau black campaign? Mengapa harus berhati-hati saat hendak share sebuah informasi di sosial media? Berikut wawancaranya;

Apa yang harus diwaspadai publik terkait perang kampanye di media sosial antar Tim Pemenangan Cagub DKI Jakarta?

Ini soal publik. Publik itu kamu atau aku, bukan pendukung masing-masing kandidat. Jadi di masa-masa pemilihan pemimpin baru, entah itu Pilkada entah Pilpres, tensi di media sosial selalu meningkat karena publik ingin mendapatkan pemimpin pilihannya yang dianggap terbaik. Karena publik tidak bisa bicara di media konvensional. Mereka tidak bisa bicara di televisi, radio, dan nggak pernah diwawancarai.

Khusus untuk Jakarta, suara-suara publik banyak sekali bermunculan karena Jakarta adalah ibu kota media sosial di Indonesia. Semua tumplek di sini. Ini yang kemudian membuat kontestan sadar betul, kalau ingin menang di Jakarta, mereka harus main di media sosial. Makanya mereka, akun resminya, akun pendukungnya, semua bergerak di media sosial terutama di Facebook dan Twitter.

Kalau kita lihat dari konten-konten calon yang resmi, kelihatannya normatif semua. Tapi akun-akun pendukungnya sudah mulai bergerak ke mana-mana dengan strategi bukan menonjolkan keunggulan masing-masing, tetapi mencari keburukan lawan. Itu yang biasa disebut orang sebagai negative campaign.

Apa bahayanya?

Celakanya, yang namanya menonjolkan keburukan lawan juga mudah terpleset kepada fitnah yang disebut black campaign. Caranya banyak, memanipulasi informasi, memanipulasi kampanye lawan, dan lain-lain.

Kita sebagai publik harus betul-betul pintar terhadap segala macam isu yang kelihatannya negative campaign dan halal hukumnya, meski ternyata black campaign yang bukan fakta. Negative campaign masih boleh karena dasarnya fakta.

Contohnya: ada yang menyebarkan capture di Instagram yang berbayar, seolah-olah itu akunnya AHY dan Sylviana yang kelihatan menonjolkan gambar mereka didukung oleh FPI. Jadi capture ini semena-mena memberikan image bahwa AHY dan Sylvi didukung oleh FPI dan mereka sangat suka. Itu setelah ada tuduhan bahwa gerakan 411 yang dilakukan FPI didukung oleh mereka (Cikeas). Itu intinya mendiskreditkan.

Bagaimana faktanya?

Ternyata tidak benar. Akun resminya AHY dan ‎Sylvi sudah membantah. Itu bukan kampanye mereka, itu akun palsu di Instagram.

Hal seperti itu termasuk negative campaign atau black campaign?

Itu black campaign karena menyudutkan.

Ada contoh lain?

Tidak AHY saja, Ahok juga. Contoh: Jokowi kan pernah mengundang ulama Mesir pada Februari lalu untuk membahas terorisme. Itu kan beberapa bulan lalu. Kemarin Kapolri mengatakan bahwa Ahok akan mengundang saksi ahli dari Mesir. Tiba-tiba beredar informasi bahwa Jokowi ketemu ahli tafsir itu hari ini dengan foto yang diambil dalam pertemuan Februari. Ini kan manipulasi. Fotonya memang betul, tapi dimanipulasi seolah ketemu sekarang hanya untuk membela Ahok. Ini yang harus hati-hati.

Bagaimana seharusnya publik bersikap?

Publik harus sadar betul bahwa segala informasi yang menyudutkan lawan politik, jangan dimakan mentah-mentah. Publik harus sadar betul, ada bagian dari negative campaign yang sesungguhnya bukan negative campaign, tapi justru black campaign. Baik yang seolah-olah disebar oleh tim calon tersebut atau dari lawannya.

Tapi bagaimana publik bisa memilah isu-isu yang digelontorkan begitu saja di media sosial?

Untuk memahami itu kan susah. Butuh ilmu. Kita harus memilahnya. Ada cara memilah banjir informasi di media sosial. Pertama, apapun yang membuat kita gatal untuk share di media sosial yang sifatnya negatif, tunda dulu sejenak. Untuk apa? Untuk cek dan ricek. Contohnya, Si A mendukung Ahok. Ada berita negatif atau informasi negatif mengenai AHY. Kan biasanya kalau fans, langsung ikut menyebarkan begitu saja. Harusnya tunda dulu. Jangan-jangan info hoax. Kalau info hoax, repotnya kita bisa terkena pasal-pasal ‎penyebaran informasi hoax meskipun bukan kita yang bikin.

Sekadar menyebar info hoax bisa dijerat?

Undang-Undang kan menjelaskan, yang membuat adalah yang menyebarkannya. Iya itu (batasannya). Itu bisa merugikan banyak orang. Iya kalau cuma memunculkan kesan bahwa calon lawan lebih jelek, tapi kalau menimbulkan gejolak yang tidak perlu kan repot. Makanya kuncinya tunda dulu apabila kamu gatal untuk sharing. Jadi jempol harus hati-hati. Tahan dulu.

Kedua, kalau ada judul berita dan ada link-nya, baca dulu. Jangan cuma baca judulnya, baca juga isinya. Karena antara judul dan isi bisa jadi nggak selaras. Hal itu sering terjadi. Kemudian ketiga, jika itu negatif informasinya, kamu cek dulu dimuat di berapa media atau tidak. Kalau cuma dimuat di satu media, kamu harus hati-hati nge-share-nya. Jangan-jangan itu cuma satu versi.

Akun yang didaftarkan ke KPU, misalnya akun tim kampanye AHY1. Tapi ternyata ada akun AHY2, AHY3, dan seterusnya. Bagaimana publik harus memilih?

Ya pada yang terdaftar saja. Buat apa dipikirin akun-akun yang palsu.

Bagaimana kecenderungan masyarakat Jakarta terkait kampanye di media sosial?

Kalau sekarang, gara-gara tim kampanyenya lebih suka negative campaign atau menjelek-jelekkan lawan, ya publik ikut-ikutan. Coba kalau tim kampanyenya rajin menonjolkan positive campaign masing-masing, bakal terjadi pertempuran dalam konten kampanye positif. Jadi publik ini tergantung bosnya ngapain.

Publik turut beropini tentang suatu isu terkait calon tertentu. Apakah interaksi via media sosial seperti itu positif?

Iya itu bagus. Misalnya sang calon menawarkan program dan kemudian programnya ditantang sama publik. Terbuka seperti itu lebih sehat. Coba kalau negative campaign dikurangi dan fokus pada program, bisa jadi berubah lho petanya.

Bagaimana dengan banyaknya buzzer yang makin membikin ramai. Apa tidak membuat publik pusing memilah?

Iya publik makin bingung, tapi kan publik harus belajar. Nanti kan ada waktu sampai Januari (menjelang akhir masa kampanye). Publik akan belajar mana yang benar dan tidak. Sudah otomatis buzzer itu untuk membentuk persepsi sesuai yang mereka (tim kampanye) mau. Kan ‎buzzer dibayar untuk membentuk persepsi.

Bagusnya, Pilkada kali ini bukan hal baru. Jakarta kan sudah pernah Pilkada tahun 2012. Sama saja, beredar negative campaign dan lain-lain. Pilpres juga begitu. Jadi publik sudah banyak belajar. Cuma sekarang permasalahannya lebih kompleks. Ada kasus dugaan penistaan agama dan sebagainya.

Bagaimana supaya publik tak mudah terpancing?

‎Publik harus cerdas bermedia sosial. Memang kelihatannya berat kalau publik harus cerdas, tapi mau bagaimana lagi? Provokator kan banyak. Jadi kalau dia nggak cerdas, dia sendiri yang akan repot.

Apa perlu peran pemerintah agar publik tak terpancing?

Memang menjadi penting pemerintah harus bagaimana. Pemerintah sudah punya pegangan Undang-Undang ITE, Undang-Undang Pornografi, dan sebagainya. Harusnya dipakai betul. Jadi kalau ada yang menyebarkan kebencian di media sosial, ya harus ditindak dong. Tapi sekarang kan nggak. Malah seolah-olah dibiarkan. Sampai hari ini yang menyebarkan kebencian masih dibiarkan saja.

‎Anda yakin warga Jakarta tak mudah terprovokasi?

Warga Jakarta kan rata-rata tingkat pendidikannya lebih tinggi dan sudah terbiasa bermedia sosial daripada daerah-daerah yang lain.

Menjelang demo 4 November ada hastag di Twitter #AksiBelaIslam dan #Aksi411. Tapi ketika ditelusuri, isinya berubah bukan soal mengajak demo lagi. Hal yang tadinya menegangkan, diplesetkan menjadi guyonan?

Itu normal. Dulu begitu ada bom di Sarinah kan begitu. Hashtag-nya kan jadi guyonan menghina si teroris. Begitu cara masyarakat menghibur diri di tengah kerisauan.

Apakah bukti bahwa publik mulai sadar bahwa media sosial memiliki power untuk menghantam balik?

Iya seperti itu. ‎Otomatis publik akan pintar menyaring informasi.

Baca juga artikel terkait PILKADA DKI JAKARTA atau tulisan lainnya dari Dieqy Hasbi Widhana

tirto.id - Mild report
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti