tirto.id - Pertarungan menjelang Pilkada DKI Jakarta di media sosial sudah sangat sengit. Beragam kabar termasuk yang bohong sekalipun lalu lalang di media sosial. Hoax atau kabar bohong yang muncul terkadang jauh dari fakta yang ada. Mereka yang tak tahu apa-apa terkadang menjadi korbannya.
Salah satu korban hoax dari gencarnya perang di media sosial terkait Pilkada DKI adalah Presiden Joko Widodo. Ia dianggap sebagai orang dekat Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Karena itu, ketika muncul kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok, Presiden Jokowi pun ikut menjadi bulan-bulanan berita bohong di media sosial.
Menjelang gelar perkara kasus tudingan penistaan agama oleh Ahok, panggilan Basuki Tjahaja Purnama, beredar informasi palsu di dunia maya yang menghantam Presiden Jokowi, Senin (14/11/2006). Dia dituding bertemu seorang ahli tafsir Syekh Mushthofa Amru Wardani dari Mesir ke Istana Negara, Jakarta Pusat. Kebohongan dikemas sedemikian rupa, sehingga seolah benar-benar fakta bahwa Jokowi mendatangkan Wardani untuk menjadi saksi ahli bagi Ahok.
Info tersebut awalnya disebar beberapa media online. Sebut saja pos-metro.com, pojoksatu.id, mediankri.net, koranriau.net, bangsagaruda.com dan nusanews.co. Seluruhnya memajang foto Jokowi bertemu Al Thayib dengan teks yang sama persis. Postingan artikel dibubuhi kutipan berapi-api lengkap dengan hujatan yang dilontarkan Ustadz Nandang Burhanudin, alumni Universitas Al Azhar. Belakangan hanya mediankri.net yang menghapus postingan beritanya.
Padahal fakta dari foto tersebut, Presiden Jokowi sedang bersalaman dengan Grand Syeikh atau Imam Besar Al Azhar, Prof. DR. Ahmad Al Thayib, di Istana Negara, pada Senin (22/2/2016). Al Thayib hadir bersama 13 delegasi Al Azhar. Namun pertemuan tersebut dikemas sedemikian rupa seolah terjadi pada Senin (14/11/2016) dan Al Thayib disebut sebagai Syekh Mustofa seorang ahli tafsir.
Persoalan muncul karena berita palsu itu kemudian beredar melalui Twitter. Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera @refrizalskb yang memiliki 4.000 follower, mengunggah foto Jokowi bersalaman dengan seseorang yang dituduhkan sebagai Wardani. Disertai teksnya, "Kalau benar Pak Jokowi mengundang ulama mesir, berarti BTP alias Ahok sangat istimewa di mata Pak Jokowi?"
Tak hanya Refrizal, cuitan senada juga dilakukan Rachmawati Soekarnoputri, pendiri Yayasan Bung Karno. Bahkan sampai 2 seri. Twit pertama di-retwit sebanyak 228 kali dan disukai sebanyak 158 kali. Akun @rsoekarnoputri yang mempunyai 261.000 followers tersebut memposting, “Lagi-lagi Jokowi merusak integritas Indonesia sebagai bangsa berdaulat. Kedatangan Syeik Amru Wardani dari Darul Ifta Mesir atas undangan Jokowi sebagai saksi ahli untuk meringankan Ahok. Jadi untuk apa ada MUI?”
Cuitan senada juga dilontarkan akun Twitter Edy A Effendi @eae18 yang memiliki 234.000 followers. “Pak @jokowi bela Ahok sampai undang ulama liberal Mesir. Duh sampeyan ini. Kok sampai segitunya,” di-retwet sebanyak 134 kali dan disukai 37 kali. Akun lainnya yaitu @SetioDarmadi.
Kampanye hitam sejenis juga dilontarkan Fanpage Facebook yang mengatasnamakan Front Pembela Islam (FPI). Akun tersebut mencoba menjatuhkan pasangan calon Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni. Pasangan tersebut seolah didukung FPI dan bakal membuat publik yakin bahwa Koalisi Cikeas memang berada di balik aksi demonstrasi 4 November yang diinisiasi FPI. Namun Agus Yudhoyono menegaskan bahwa Fanpage tersebut bukan bagian dari tim kampanyenya.
Langkah KPU dan Bawaslu
Kabar bohong di media sosial memang lalu lalang dan semakin memanas mendekati pelaksanaan Pilkada DKI pada Februari mendatang. Lalu bagaimana pihak penyelenggara dan pengawas Pemilu DKI Jakarta bersikap atas berbagai hoax di media sosial?
Ketua Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) DKI Jakarta Sumarno mengatakan bahwa pihaknya mewajibkan setiap tim pemenangan pasangan calon untuk mendaftarkan akun media sosial dan website-nya. Hal itu bertujuan agar KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) DKI Jakarta lebih mudah melakukan kontrol.
Oleh sebab itu, KPUD tak bakal mengontrol akun media sosial dan situsweb di luar tim resmi. “Kalau di luar akun resmi itu, mereka mau melakukan aktivitas dan sebagainya ya itu mungkin saja dari orang-orang pendukung,” kata Sumarno kepada tirto.id, Selasa (15/11/2016).
Bawaslu DKI Jakarta bersikap sama. Mimah Susanti, Ketua Bawaslu DKI Jakarta, mengaku bakal kewalahan jika harus memantau berbagai hal yang dianggap sebagai kampanye di media sosial. Namun jika ada akun yang dinggap telah melancarkan kampanye hitam dan meresahkan, pihak Bawaslu tetap bakal membuka diri sebagai penerima aduan. Selanjutnya laporan bakal dikoordinasikan dengan KPU dan kepolisian.
“(Akun yang tidak terdaftar) Di luar kontrol kita juga. Kalau akun-akun itu tidak didaftarkan, kita akan koordinasikan nanti dengan pihak kepolisian. Dicari tahu akun itu ada hubungannya dengan kampanye atau bukan. Kalau tidak ada hubungannya kan bukan kewenangan Bawaslu,” ujar Mimah Susanti kepada tirto.id, Selasa (15/11/2016).
Menjadi Publik yang Cerdas
KPUD dan Bawaslu memang sudah berupaya melakukan pemantauan kampanye di media sosial. Nyatanya, hal tersebut memang tidak mudah karena memang karakteristik netizen yang mudah tersulut oleh kabar bohong. Mereka hanya membaca judul tanpa pernah melihat konteks dan keseluruhan berita untuk kemudian dicerna kebenarannya.
Berdasarkan hasil riset Socialbakers 1 November 2106 yang lalu, hanya 6 dari 10 link di Twitter tidak pernah diklik. Hampir separuh warga dunia tak mampu mengendalikan diri untuk tidak mengklik tautan yang disebar melalui Twitter. Rinciannya 59 persen responden lebih memilih untuk tidak latah, sedangkan 41 persen responden akan mengklik tautan apapun yang muncul di layarnya.
Hal itulah yang membuat pengguna Twitter rawan menjadi bagian dalam menyebarkan informasi palsu. Lantas bagaimana menjadi pengguna sosial media yang tak mudah diperalat dengan informasi yang syarat akan manipulasi?
Nukman Luthfie, pakar media sosial, menyatakan, publik harus pintar-pintar betul memilah berbagai macam isu di era banjir informasi. Apalagi dalam momentum Pilkada serentak, DKI Jakarta menjadi ibu kota sosial media dengan tensi tertinggi dibanding daerah lainnya.
“Publik harus sadar betul bahwa segala informasi yang menyudutkan lawan politik, itu jangan dimakan mentah-mentah,” tuturnya.
Nukman berujar, jika ada info yang menarik, sebaiknya ditelaah dulu lebih dalam sebelum ikut menyebarkan. Misalnya saja jika kubu Ahok mencoba menjatuhkan kubu AHY, maka kebanyakan fans garis keras akan mudah tersulut emosinya dan ikut menyebarkan pesan yang belum tentu benar. “Harusnya tunda dulu, jangan-jangan itu info hoax. Kalau info hoax, repotnya kita bisa terkena pasal-pasal penyebaran informasi hoax, meskipun kita bukan yang bikin,” imbuhnya.
Ia menyarankan agar masyarakat mengecek terlebih dahulu sebuah berita yang muncul, dengan melakukan pengecekan di media lainnya. “Cek dulu dimuat di berapa media. Kalau cuma dimuat di satu media, kamu harus hati-hati nge-share-nya. Jangan-jangan itu cuma satu versi,” ujarnya.
Nukman mengingatkan kepada masyarakat agar berhati-hati dalam men-share berbagai informasi yang diterima. Sebab jika ternyata kabar tersebut hoax dan berpotensi meresahkan masyarakat, maka si penyebar bisa dijerat secara hukum.
Dengan keriuhan menjelang Pilkada DKI ini, maka masyarakat sebaiknya bijak saat melakukan aktivitas di media sosial. Khususnya di masa-masa kampanye yang banyak bermunculan berbagai informasi yang bertujuan menjatuhkan pasangan calon tertentu.
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti