tirto.id - Hubungan bilateral Rusia dan Turki tidak selalu berjalan mulus. Sejarah mencatat sejak Turki dikuasai Kekaisaran Ottoman, kedua negara kerap berhadapan di berbagai medan perang. Berawal dari keinginan Kekaisaran Ottoman Turki dan Kekaisaran Rusia yang sama-sama ingin memperluas wilayahnya, menyebabkan pecahnya perang pada 1568-1570 dan berakhir dengan kemenangan Rusia.
Perang antara dua kekuatan itu kembali pecah pada 1676 yang diakhiri gencatan senjata selama 20 tahun yang ditandai Perjanjian Bakchisaray pada 1681. Namun pada 1686, Rusia mengkhianati perjanjian tersebut dan bergabung dengan koalisi Eropa yang beranggotakan negara-negara anti-Turki, seperti Habsburg, Austria, Polandia, Lithuania, dan Venezia. Hal ini menyebabkan pecahnya perang Rusia-Turki yang ketiga.
Setelah perang ketiga yang berakhir pada 1700, perang antara Rusia-Turki kembali meletus pada 1735-1739. Austria ikut berperang di sisi Rusia. Saat itu, Rusia bermaksud memperluas wilayahnya ke Laut Hitam. Perang kembali pecah antara Rusia dan Turki pada 1768-1884 yang ditandai serbuan Rusia ke Balkan. Pada musim dingin 1770, tentara Rusia berhasil mencapai Danube. Kemudian pada 1771 di bawah komando Pangeran Vasiliy Dolgorukiy, Rusia memenangkan semenanjung Krimea.
Perang belum berakhir. Rusia dan Turki kembali berhadapan di medan perang pada 1787 hingga 1791 yang semakin memperkuat posisi Rusia di Balkan. Tentara Rusia berhasil merebut Ochakov, Izmail, dan Anapa. Angkatan Laut Rusia berhasil mengalahkan Turki secara telak di Tendra. Selama perang ini, Turki tak pernah sekali pun berhasil mengalahkan Rusia, khususnya yang berada di bawah komando Aleksander Suvorov dan Laksamana F.F. Ushakob. Perjanjian Jassy yang ditandatangani pada 1791 tak hanya menegaskan kepemilikan Krimea dan Ochakov oleh Rusia, tetapi juga menetapkan perbatasan Rusia-Turki yang baru di sepanjang Dniester.
Tercatat ada enam perang besar Rusia-Turki yang terjadi sejak 1710 sampai 1829 yang sebagian besar dimenangkan Kekaisaran Rusia. Menurut Perjanjian Adrianople (1829), sebagian besar pesisir Laut Hitam timur, berikut kota Anapa dan Sukhum, serta delta Danube masuk ke dalam wilayah Rusia. Turki Utsmaniyah juga mengakui kekuasaan Rusia atas wilayah Georgia dan Armenia, serta memberikan otonomi kepada Serbia.
Pada 1853, Kekaisaran Ottoman kembali berhadapan dengan Rusia dalam Perang Krimea. Kali ini Kekaisaran Ottoman tak sendirian. Ada Perancis, Sardinia dan Inggris yang juga tidak menginginkan Rusia memperluas kekuasaannya bertemu dalam Perang Krimea. Sehingga Rusia mengalami kekalahan dan harus menyetujui Perjanjian Paris pada 1856 yang melarang kekuatan militer Rusia di Laut Hitam.
Perang Rusia-Turki kembali pecah pada 1875-1878 yang menjadi bagian tak terpisahkan dari Krisis Timur (1875–1878). Perang ini disebabkan munculnya gerakan-gerakan pembebasan nasional bangsa Balkan yang dibantu Rusia. Perjanjian Berlin pada 1878 memutuskan wilayah bagian Bessarabia Selatan dan benteng Kars, Ardahan, dan Batum harus dikembalikan kepada Rusia. Selain itu, atas tuntutan Rusia, kemerdekaan Serbia, Montenegro dan Rumania pun diakui. Perang tersebut merupakan pukulan fatal bagi kesultanan tradisional Turki dan membuka jalan bagi pertumbuhan gerakan nasionalis modern Turki sebagai entitas politik yang kian kuat.
Selama Perang Dunia I, pasukan Rusia berhasil merebut Erzurum, Trabzon, dan Bitlis di wilayah Kaukasus. Namun, Revolusi Bolshevik yang menggulingkan kekaisaran Rusia pada 1917 mengakhiri partisipasi negeri itu dalam Perang Dunia I. Nasib serupa juga dialami Kekaisaran Ottoman yang mengalami kekalahan dan dibubarkan Gerakan Turki Muda pimpinan Mustafa Kemal Attaturk enam tahun kemudian.
Berakhirnya dua kekaisaran ini memunculkan dua negara baru, Turki dan Uni Soviet, yang memulai hubungan yang hangat dan bersahabat. Usai Perang Dunia I, Rusia adalah salah satu yang mengakui pemerintahan sekuler Turki Mustafa Kemal Attaturk. Menurut perjanjian damai yang disimpulkan pada 1921 oleh Uni Soviet dan republik-republik Kaukasus Selatan dengan Turki, wilayah Kars dikembalikan ke Turki dan distrik Batumi masuk ke wilayah Georgia. Berdasarkan perjanjian tersebut Republik Otonomi Sosialis Soviet Adjar dibentuk.
Namun, kedekatan Turki dengan pihak Jerman pada Perang Dunia II dan Amerika Serikat (AS) pada masa Perang Dingin mengubah situasi itu. Bergabungnya Turki dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (North Atlantic Treaty Organization/NATO) menyebabkan kedua negara kembali berada di pihak yang berseberangan.
Setelah Uni Soviet runtuh, Turki dan Rusia kembali memperbaiki hubungan. Usaha itu tampak dari kunjungan Perdana Menteri Turki Suleyman Demirel pada 1992 untuk menandatangani perjanjian yang menjadi dasar hubungan kedua negara. Hubungan itu semakin membaik pada masa pemerintahan Presiden Dmitry Medvedev dengan disetujuinya berbagai perjanjian kesepakatan bilateral, termasuk kerjasama perdagangan gas.
Hubungan kedua negara ini kembali memanas pada 2015 saat pesawat Su-24 milik Rusia ditembak jatuh Angkatan Udara Turki di perbatasan Turki-Suriah pada November tahun lalu. Moskow menjatuhkan sejumlah sanksi kepada Ankara, termasuk embargo terhadap beberapa produk makanan Turki, serta larangan penerbangan sewaan dan penjualan paket tur ke sana serta pemberlakuan kembali visa untuk pengunjung asal Turki.
Hubungan kedua negara kembali membaik setelah Erdogan mengambil inisiatif memperbaiki hubungan. Erdogan memulai inisiatif dengan memperlihatkan penyesalan atas insiden pesawat Sukhoi. Presiden Rusia Vladimir Putin pada Rabu (29/6/2016) mencabut pembatasan perjalanan warganya ke Turki dan memerintahkan normalisasi perdagangan kedua negara. Hal itu dilakukan setelah ia memperbaiki hubungan dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan lewat percakapan telepon pertama mereka sejak Ankara menembak jatuh pesawat militer Rusia.
Oktober lalu, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan bertemu Presiden Rusia Vladimir Putin di sebuah villa peninggalan zaman Ottoman di Istanbul. Dalam pertemuan itu, kedua pemimpin membicarakan peningkatan kerja sama energi, perdagangan, pariwisata dan pertahanan, serta konflik di Suriah.
Pertemuan itu membuahkan kesepakatan pembangunan pipa gas bawah laut TurkStream. Proyek ini akan memberikan Putin kekuatan lebih besar dalam menguasai pasar gas Eropa. Rusia beralih ke Turki setelah rencana membangun pipa gas South Stream di Bulgaria dibatalkan akibat penentangan dari Uni Eropa, yang perlahan ingin mengurangi ketergantungan energi dari Rusia.
Erdogan juga mengatakan rencana Rusia membangun pabrik nuklir di Turki akan dipercepat. Sebelumnya, proyek pembangkit nuklir Akkuyu terhambat akibat ketegangan kedua negara. Proyek tersebut dimulai pada 2013 saat perusahaan nuklir Rusia Rosatom memenangkan tender $20 miliar untuk membangun empat reaktor di pembangkit listrik tenaga nuklir pertama Turki.
Perlu diketahui, Turki juga merupakan mitra dagang terbesar kelima Rusia, menurut data lembaga statistik resmi Rusia Rosstat. Pada 2014, perdagangan antara kedua negara mencapai $31 miliar. Sementara pada tahun 2015, perdagangan antara kedua negara diperkirakan mencapai $23 miliar hingga $25 miliar, dengan jumlah ekspor Rusia mencapai $20 miliar dan impor sekitar $4 miliar hingga $5 miliar.
Namun, kerja sama yang mulai terjalin harmonis antara Rusia dan Turki kembali diuji insiden penembakan Duta Besar Rusia untuk Turki, Andrei Karlov, Senin (19/12/2916) waktu setempat. Karlov sedang berpidato di pameran tersebut ketika seorang pria berteriak "Allahu Akbar" dan menembakkan sedikitnya delapan peluru, menurut seorang fotografer AP yang hadir. Karlov pun terbunuh. Pihak Kremlin menuding penembakan itu dilakukan oleh Islam radikal.
Penulis: Yantina Debora
Editor: Zen RS