Menuju konten utama

Penyederhanaan Bahasa Daerah dan Politik Bahasa Era Kolonial

Wacana penyederhanaan beberapa bahasa daerah ke dalam bahasa induk tertentu hanya akan meruntuhkan keberagaman ekspresi kebudayaan

Penyederhanaan Bahasa Daerah dan Politik Bahasa Era Kolonial
Piyit (71, kiri) seorang warga suku Dayak Kenyah Uma'lung bersama anak dan cucunya berpose dengan persenjataan sumpit di Desa Setulang, Malinau, Kalimantan Utara, Rabu (21/6). ANTARA FOTO/Zabur Karuru

tirto.id - Di Merauke, Papua, orang-orang Marori dan Kanum tengah meregang menghadapi guncangan ekologi. Sumber daya alam mereka yang selama ini dijaga dengan sakralitas dan pembentukan identitas mulai luntur.

Kepercayaan mereka berpusat kepada Dema atau tokoh-tokoh mistis tertentu dari masalalu yang menjadi asal dalam pembagian klan. Bersama makhluk-makhluk lainnya, menurut I Ngurah Suryawan dalam Ruang Hidup yang Redup: Gegar Ekologi Orang Marori dan Kanum di Merauke Papua (2018), Dema telah menjadi dunia dan tata dunia, tapi sudah tidak mempunyai pengaruh lagi atas dunia ini.

Suryawan menambahkan, kini kekuatan Dema telah beralih ke manusia, binatang, tumbuhan, dan benda-benda, juga ke segala sesuatu yang membentuk alam dan masyarakat. Orang-orang Marori dan Kanum mengidentifikasi dirinya sebagai Dema yang hadir dalam bentuk totem klan.

Mereka mempunyai simbol Dema dalam marganya masing-masing, seperti Mahuze (sagu), Kaize (kasuari), Gebze (kelapa), Samkakai (kangguru), Balagaize (buaya), Basik-basik (babi), dan Ndiken (burung ndik).

“Totemisme di setiap klan dan makhluk hidup serta benda mati lainnya masih kentara dan menjadi bagian hidup,” tulisnya.

Sebagai penghormatan kepada Dema yang dikonstruksi lewat totem dan disampaikan dengan bahasa ibu, mereka menciptakan pengetahuan lokal yang isinya menjelaskan relasi antara manusia dengan alam sekitarnya. Sejumlah tempat mereka sakralkan sebagai nilai penghargaan dan menjaga warisan leluhur.

“Bahasa adalah alat lingual simbolis, yang juga berperan sentral untuk transmisi pengetahuan lokal tersebut. Kata dan ungkapan bahasa-bahasa ibu dari Maori dan Kanum yang sarat makna simbolis dan petuah leluhur termasuk kesakralan/larangan dan pegangan hidup,” tulis I Wayan Arka dalam pengantar di buku karya Suryawan.

Namun, kini tempat-tempat sakral itu mulai tidak diperdulikan oleh generasi muda orang-orang Marori dan Kanum. Desakan orang-orang luar yang memburu hewan-hewan liar dan menjarah kayu membuat sebagian warga ikut larut. Mereka tergiur oleh uang yang dibawa orang-orang luar tersebut.

Pewarisan pengetahuan lokal lewat bahasa ibu mereka tentang pentingnya menghormati tempat-tempat sakral sebagai bentuk pengendalian sumber daya alam mulai tidak berjalan. Alam rusak, bahasa pudar, berjalan tertatih menuju kepunahan.

“Ruang-ruang hidup sangat berhubungan dengan pengetahuan tentang bahasa-bahasa ibu. Ruang-ruang hidup yang demikian bisa, karena satu dan lain hal, terkikis, mengecil, tersingkir dan pada akhirnya punah seiring dengan berbagai perubahan ekologi sosial dan fisik. […] Situasi yang berbeda terjadi kini. Bahasa-bahasa ibu perlahan namun pasti menyusut penuturnya seiiring dengan terkikisnya hubungan manusia dengan alamnya,” tambah I Wayan Arka.

Saat para tetua orang-orang Marori dan Kanum di pelosok Merauke gundah karena alamnya yang selama ini mereka jaga dengan pengetahuan lokal lewat bahasa ibu mulai merana, di pulau Jawa, muncul kabar soal rencana Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, yang ingin melakukan penyederhanaan bahasa daerah.

Bertempat di Universitas Sebelas Maret (UNS), Solo, pada acara Semiloka dan Deklarasi Pengutamaan Bahasa Negara yang digelar pada 8 Agustus 2018, Muhadjir Effendy menyampaikan bahwa diperlukan penyerapan bahasa lokal ke dalam bahasa induk tertentu untuk memudahkan komunikasi.

Hal ini salah satunya didorong oleh pengalamannya saat ia didemo oleh warga di Pegunungan Bintang, Papua, setelah meresmikan sekolah di daerah tersebut. Ketika ia bertanya kepada bupati yang mendampinginya, ternyata bupati juga tidak mengerti apa yang disampaikan pendemo.

“Karena itu mungkin harus ada pilihan mana bahasa daerah yang harus dilestarikan. Mungkin juga harus ada bahasa yang dijadikan satu bahasa daerah induk. Sehingga satu tempat jangan sampai ada 300 bahasa. Kalau penduduknya hanya 300 ribu, berarti satu bahasa rata-rata hanya digunakan seribu orang,” ujarnya.

Infografik Bahasa Daerah

Beruntung Mendikbud belakangan membantah akan melakukan hal itu.

"Kemarin saya diisukan, akan menghapus bahasa lokal, itu ngawur, enggak benar, justru malah bahasa lokal itu mau kita himpun di dalam suatu bagian dari muatan lokal. [...] Sekali lagi saya tidak menghapus, juga tidak menyederhanakan. Malah diperbesar penggunannya, jadi penuturnya itu jangan hanya terbatas di kelompok itu, kelompok lain harus mengenal juga agar komunikasi berjalan dengan baik," jelasnya, dikutip dari Merdeka.

Rencana penyederhanaan bahasa daerah semacam itu, jika kelak muncul oleh rezim yang lain, mesti dipertimbangkan dengan menengok pelajaran yang diberikan oleh pemerintah kolonial Belanda. 146 tahun yang lalu, Belanda mengambil kebijakan untuk menunjuk sejumlah bahasa daerah tertentu sebagai bahasa yang baku, murni, dan ditetapkan sebagai standar dalam pengantar pengajaran di sekolah-sekolah.

Bahasa yang dipilih oleh pemerintah kolonial waktu itu adalah bahasa Sunda yang dituturkan di Bandung, bahasa Jawa yang digunakan di Surakarta, bahasa Melayu yang dituturkan di Malaka dan Kepulauan Riau, serta bahasa Batak di Mandailing. Standarisasi tersebut di kemudian hari meminggirkan bahasa-bahasa daerah dengan dialek yang berbeda dari bahasa-bahasa induk tersebut.

Malah yang diwacanakan oleh Muhadjir Effendy berdaya rusak lebih hebat karena berpotensi memunahkan bahasa-bahasa daerah yang dipaksa diserap ke dalam bahasa induk. Pembendaharaan kata tidak mungkin semuanya bisa diserap, artinya akan ada banyak sekali kata dalam bahasa-bahasa daerah yang tidak masuk ke dalam bahasa induk tersebut.

Standarisasi bahasa daerah hanya akan meruntuhkan ekspresi-ekspresi kebudayaan yang hidup dalam masyarakat. Rasa yang terpancar melalui bahasa tak melulu soal kelancaran komunikasi yang diembannya, tapi juga mengandung pengetahuan lokal, nilai-nilai, dan sayangnya jarang terdokumentasikan dengan baik. Bahasa-bahasa daerah itu kerap punah bersama para tetua yang satu-persatu dijemput maut.

Tanpa digawat-gawatkan pun banyak bahasa daerah yang terancam punah. Dalam Indonesia, Globalisasi, dan Global Village (2016) yang disunting oleh Muhamad Hisyam dan Cahyo Pamungkas, ancaman kepunahan puluhan bahasa daerah di Indonesia membayangi Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Flores, Timor, Bima, Sumbawa, Halmahera, dan Papua.

Menurut Ajip Rosidi dalam Sastera dan Budaya: Kedaerahan dalam Keindonesiaan (2016), bahasa daerah adalah bahasa yang paling tepat dapat mengekspresikan kebudayaan daerah yang bersangkutan.

Jika disederhanakan ke dalam bahasa induk, bagaimana mungkin ekspresi tersebut bakal tersampaikan secara presisi. Seperti yang dilakukan orang-orang Marori dan Kanum dalam membuat pengetahuan lokal tentang sakralitas lewat bahasa ibunya, begitulah ekspresi kebudayaan mereka.

Kenyataan ini disadari betul oleh Mamat Sasmita, mantan peminpin redaksi majalah berbahasa Sunda Cupumanik.

“Waktu jadi Pemred Cupumanik saya memuat tulisan dari para penulis di luar Priangan, seperti Indramayu, misalnya. Ya, harus diterima. Kalau hanya memuat bahasa Sunda menurut estetika Priangan saja, kan artinya memaksakan bahasa kepada orang yang tidak menggunakannya,” kata Mamat.

Jika soal dialek saja begitu berpengaruh terhadap rasa bahasa, maka penyerapan yang dipaksakan, yang bisa jadi berujung pada hilangnya sejumlah kata, adalah lampu merah terhadap masa depan bahasa daerah tersebut. Lema hilang, penutur berkurang, kepunahan hanya soal waktu.

Baca juga artikel terkait BAHASA DAERAH atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Zen RS