Menuju konten utama

Menyelamatkan Bahasa Agar Tak Punah

Sekitar 25 bahasa di Indonesia berstatus hampir punah, sementara 13 bahasa telah dinyatakan punah. Ada cara untuk menyelamatkannya.

Menyelamatkan Bahasa Agar Tak Punah
Suku Ainu Jepang [Foto/wikipedia.org]

tirto.id - Untuk apa menyelamatkan bahasa? Apa masalahnya jika satu bahasa punah karena memang tak ada lagi yang merasa butuh dan menggunakannya? Mengapa tak dibiarkan saja punah? Bukankah lebih baik bagi umat manusia jika semuanya bicara bahasa yang sama? Bukankah bahasa yang begitu beragam kerap menjadi hambatan komunikasi?

Di setiap diskusi-diskusi tentang revitalisasi bahasa, pertanyaan serupa itu kerap diajukan. Dalam bukunya berjudul Language Revitalization: an Overview, Leanne Hinton juga kembali menuliskan pertanyaan-pertanyaan itu dan berusaha merumuskan jawabannya.

Salah satu jawabannya adalah terkait persoalan akses terhadap pengetahuan. Ilmu pengetahuan selalu disampaikan lewat bahasa, tertulis ataupun tidak tertulis. Ilmu pengetahuan itu bisa apa saja, bisa tentang gejala alam, tentang sejarah, penemuan, obat-obatan, atau bahkan cerita-cerita kuno.

Punahnya satu bahasa berarti membawa serta semua peradaban yang terkait dengan bahasa itu. Itu artinya, ada pengetahuan yang hilang bersamanya.

Alasan lain yang membuat keberagaman bahasa perlu dijaga adalah untuk memperkaya kosa kata bahasa-bahasa itu sendiri.

Jika Anda berkaca, maka Anda akan melihat garis yang membentuk semacam parit di antara hidung dan mulut Anda. Apa bahasa Indonesianya untuk menyebut garis itu? Bahasa Melayu, yang menjadi dasar Bahasa Indonesia tak memiliki kosa kata untuk bagian tubuh itu.

Dalam bahasa kedokteran, ia sering disebut filtrum, berasal dari Bahasa Latin, Philtrum. Tapi cobalah tengok Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), maka tak akan Anda menjumpai kata filtrum.

Orang Minang punya kosa kata untuk garis itu. Mereka biasa menyebutnya “oreng”. Bahasa Minang ini kemudian diadopsi oleh Bahasa Indonesia dan dimasukkan ke dalam KBBI dengan keterangan asal kata dari Bahasa Minangkabau. Bahasa Indonesia pun semakin kaya karenanya.

Ancaman kepunahan bahasa tidak hanya terjadi di Indonesia, ia menjadi masalah di seluruh dunia. UNESCO mengestimasi, jika tak ada tindakan apa-apa, setengah dari 6.000 bahasa yang dipakai di dunia akan hilang hingga akhir abad ini.

Dugaan itu kan bisa terjadi jika umat manusia tidak melakukan upaya apa-apa. Kenyataannya, masih ada cara untuk mencegah bertambahnya bahasa-bahasa yang punah. Dan upaya revitalisasi bahasa terbukti pernah berhasil di beberapa belahan bumi.

Di Jepang, Bahasa Ainu pernah sangat mendekati kepunahan. Tahun 2007, hanya ada sepuluh orang pengguna aktif bahasa ini. Ancaman kepunahan ini bukan tanpa alasan. Selama ratusan tahun, suku Ainu yang merupakan salah satu penduduk asli Jepang, telah baik diabaikan dan diskriminasi. Kelompok ini dipaksa untuk berasimilasi dengan budaya Jepang pada umumnya.

Pada tahun 2008, Pemerintah Jepang akhirnya mengakui suku Ainu sebagai masyarakat adat Jepang. Pengakuan ini mengembalikan kepercayaan diri suku Ainu. Mereka yang mengerti bahasa Ainu tetapi enggan menggunakannya karena diskriminasi, kembali menggunakannya dan menambah daftar pengguna aktif. Bahasa Ainu juga kemudian didokumentasikan dan dijadikan alat ajar dalam pelajaran bahasa.

Di Australia Selatan, ada Bahasa Kaurna. Bahasa ini bahkan sudah bisa dikatakan punah dalam periode satu abad. Tetapi kemudian muncul satu gerakan untuk merevitalisasi Bahasa Kaurna. Beruntungnya, ia terdokumentasikan dengan baik. Pendokumentasian adalah salah satu cara untuk merevitalisasi bahasa.

Di Switzerland, Bahasa Romansch sempat menghadapi kondisi sulit karena dialeknya yang beragam dan sangat berbeda antara satu sama lain. Ia juga ditinggalkan generasi mudanya yang memilih bekerja di kota-kota berbahasa Jerman. Tahun 1980, Romansch Grischum mendapat status sebagai salah satu bahasa resmi di Switzerland. Sejak itu, ia semakin sering digunakan dalam percakapan, baik di radio maupun televisi.

Kini, di Indonesia tercatat 25 bahasa berstatus hampir punah, sementara 13 bahasa sudah dinyatakan punah. Jika tak melakukan apa-apa, bukan tak mungkin 25 bahasa yang hampir punah itu akan benar-benar lenyap selamanya. Lalu, apa yang bisa dilakukan?

Leanne menuliskan beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk merevitalisasi bahasa. Langkah pertama ia sebut sebagai penilaian bahasa dan perencanaan. Pemerintah atau lembaga apapun yang ingin merevitalisasi harus mencari tahu situasi linguistik dalam masyarakat.

Segala hal terkait usia pengguna bahasa aktif, sumber bahasa selain manusia, hingga sikap komunitas pengguna bahasa tersebut harus bisa diidentifikasi. Jika sudah, langkah berikutnya adalah, apabila tidak ada lagi pengguna aktif seperti yang terjadi dengan Kaurna, harus dilakukan rekonstruksi ulang bahasa. Rekonstruksi bisa dilakukan dengan mempelajari dokumentasi yang ada.

Selanjutnya, apabila bahasa tersebut hanya memiliki pengguna usia senja, dokumentasikan bahasa dari pengguna yang sudah tua itu.

Langkah keempat yang bisa dilakukan adalah mengembangkan program pembelajaran bahasa kedua bagi kelompok usia dewasa. Setelah itu, mereka didorong untuk menggunakan bahasa yang hampir punah itu di rumah dan di tempat umum.

Selanjutnya, bahasa yang terancam punah itu dimasukkan ke dalam kurikulum pelajaran di sekolah yang berada di daerah tempat bahasa tersebut digunakan. Jika ini berhasil, perlu ada dorongan untuk penggunaan bahasa yang nyaris punah itu ke domain lokal yang lebih luas, dalam pertemuan-pertemuan di desa, misalnya.

Revitalisasi, tak hanya membutuhkan biaya dan inisiatif. Ia juga membutuhkan komitmen kuat dari kelompok masyarakat atau komunitas untuk kembali menggunakan bahasanya hampir punah.

Baca juga artikel terkait BAHASA INDONESIA atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti