tirto.id - Indonesia diberkahi oleh beragam suku, agama, dan bahasa. Sayangnya, tidak semua terawat dengan baik. Sejumlah agama lokal kini mulai menghilang. Sementara bahasa daerah, semakin dilupakan seiring terjadinya globalisasi. Beberapa bahasa daerah bahkan sudah punah karena tak pernah dilestarikan.
Menurut data yang disampaikan oleh Jurnal Masyarakat dan Budaya sebagaimana dikutip dari Ethnologue: Language of The World (2005), Indonesia memiliki kekayaan 742 bahasa daerah. Sebanyak 737 bahasa di antaranya merupakan bahasa yang masih aktif. Sementara menurut data yang dilaporkan Summer Linguistic, Indonesia memiliki 746 bahasa daerah. Dari jumlah tersebut, sebagian sudah mengalami kepunahan seiring makin minimnya penutur.
Kepala Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Badan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Yeyen Maryani mengatakan, saat ini beberapa bahasa daerah di Indonesia ada yang sudah punah dan hampir punah. Beberapa bahasa yang hampir lenyap itu antara lain berasal dari Nusa Tenggara Timur (NTT), Maluku, dan Papua.
Hal tersebut juga dibenarkan oleh Prof. Dr. Multamia Lauder, seorang pakar linguistik dari Universitas Indonesia. Multamia mencatat saat ini kurang lebih 25 bahasa di Indonesia berstatus hampir punah. Bahasa yang hampir punah tersebut berasal dari Maluku dan Papua.
Bahasa yang berstatus hampir punah tersebut antara lain, Burumakok, Duriankere, Emplawas, Kaibobo, Kanum, Badi, Kayupulau, Kembra dan Kwerisa. Selain itu, bahasa Lengilu, Lolak, Melayu Bacan, Mandar, Massep, Mlap, Morori, Namla, Paulohi, Petjo, Ratahan, Salas, Taje, Tobati dan Woria.
Sementara bahasa yang telah punah mencapai 13 bahasa daerah, antara lain bahasa Hoti, Hukumina, Hulung, Loun, Mapia, Moksela, Naka'ela, Nila, Palumata, Saponi, Serua, Ternateno dan Te'un. Mayoritas berasal dari Maluku dan Papua. Multamia mengatakan, terjadinya hal tersebut karena sudah kehilangan penuturnya.
"Ada bahasa yang penuturnya hanya enam, 50 atau 500," kata Multamia seperti dikutip dari Antara pada Oktober 2015.
Ada delapan bahasa yang berstatus dormant (tidak aktif) antara lain, Dusner, Iha, Javindo, Kayeli, Nusa Laut, Onin dan Tandia. "Bahasa itu masih ada tapi bukan untuk komunikasi sehari-hari. Penuturnya tidak ada, tapi masih terpakai sebagai bahasa untuk identitas atau upacara adat." lanjutnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Rektor Universitas Khairun (Unkhair) Ternate, Maluku Utara, Prof DR Husen Alting SH MH. Ia mengatakan penelitian yang dilakukan Fakultas Sastra dan Budaya Unkhair menemukan ada 32 bahasa daerah di Maluku Utara yang mulai punah.
"Dalam pelaksanaan uji sahih rancangan Undang-Undang (UU) Bahasa Daerah, kami justru menemukan banyak bahasa yang sudah hampir punah, bahkan ada yang sudah punah, tentunya hal itu bukan hanya di Malut [Maluku Utara]," katanya.
Punahnya bahasa daerah berbanding terbalik dengan daerah-daerah lainnya. Menurut data yang dilaporkan oleh Summer Institute of Linguistics (SIL 2001) terdapat beberapa bahasa daerah yang diperkirakan jumlah penuturnya cukup banyak bahkan lebih dari satu juta. Yakni bahasa Jawa (75.200.000 penutur), bahasa Sunda (27.000.000 penutur), bahasa Melayu (20.000.000 penutur), bahasa Madura (13.694.000 penutur), bahasa Minangkabau (6.500.000 penutur).
Selain itu, bahasa Batak (5.150.000 penutur), bahasa Bugis (4.000.000 penutur), bahasa Bali (3.800.000 penutur), bahasa Aceh (3.000.000 penutur), bahasa Sasak (2.100.000 penutur), bahasa Makassar (1.600.000 penutur), bahasa Lampung (1.500.000 penutur) dan bahasa Rejang (1.000.000 penutur).
Faktor Penyebab
Ada banyak faktor yang menyebabkan punahnya bahasa-bahasa daerah di Indonesia. Seperti bencana alam, perang, genosida, serta dominasi ekonomi, politik, dan budaya.
Menurut data yang disajikan oleh badanbahasa.kemendikbud.go.id, faktor penyebab terjadinya kepunahan bahasa antara lain, faktor ekonomi, misalnya seperti kemiskinan yang terjadi di pedesaan yang memicu terjadinya urbanisasi. Ketika sampai kota, mereka akhirnya melupakan bahasa daerah dan lebih banyak menggunakan bahasa yang umum digunakan di kota tujuan.
Selain itu, faktor dominasi budaya oleh masyarakat mayoritas juga berpengaruh, seperti bahasa mayoritas dan bahasa negara di dalam pendidikan dan kepustakaan yang mengakibatkan terpinggirnya bahasa daerah.
Faktor politik juga dinilai menjadi pemicu, misalnya, kebijakan pendidikan yang mengabaikan bahasa daerah, serta kurangnya pengakuan atau larangan terhadap penggunaan bahasa minoritas dalam kehidupan masyarakat.
Faktor sikap juga dinilai berpengaruh, misalnya, stigma yang menganggap bahasa minoritas identik dengan kemiskinan, buta huruf dan penderitaan, sementara bahasa mayoritas dinilai sangat lekat dengan kemajuan.
Dikutip dari Jurnal Masyarakat & Budaya, Lewis (2015) berpendapat suatu bahasa dikatakan terancam apabila semakin sedikit masyarakat yang mengakui bahasanya dan bahasa tersebut tidak pernah digunakan ataupun diajarkan kepada anak-anak mereka.
Selain itu, suatu bahasa dikategorikan terancam punah jika bahasa itu semakin sedikit digunakan dalam kegiatan sehari-hari sehingga kehilangan fungsi sosial atau komunikatifnya. Semakin kecil ranah penggunaan bahasa dalam masyarakat cenderung akan memengaruhi persepsi pengguna bahasa akan kesesuaian penggunaan bahasa dalam fungsi yang lebih luas.
David Crystal, pakar Linguistik (2000) mengatakan bahasa-bahasa yang dianggap berpotensi terancam punah adalah bahasa yang secara sosial dan ekonomi tergolong minoritas serta mendapat tekanan yang cukup besar dari bahasa mayoritas.
Selain itu, generasi mudanya sudah mulai berpindah ke bahasa mayoritas dan jarang menggunakan bahasa daerah, tidak mempunyai lagi generasi muda yang dapat berbahasa daerah.
Mungkin hal tersebutlah yang membuat Kepala Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Endang Turmudi berpendapat suatu saat bahasa daerah di Indonesia hanya akan tersisa sembilan saja.
Menurutnya, secara konseptual bahasa akan bertahan apabila memiliki sistem penulisan atau aksara yang mampu merekam bahasa.
"Bahasa-bahasa yang memiliki sistem aksara dan diperkirakan akan bertahan untuk ke depannya antara lain Aceh, Batak, Lampung, Melayu, Jawa, Bali, Bugis, Sunda, dan Sasak," katanya kepada Antara pada Desember 2013.
Punahnya bahasa daerah sudah menjadi perhatian sejak lama. Pada Juli 2007, Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (Pusat Bahasa) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan pernah mengadakan kongres internasional yang dihadiri oleh para pakar dari dalam dan luar negeri.
Kongres tersebut bertujuan untuk menampung ide dan gagasan dari para pemerhati bahasa daerah khususnya di Sulawesi Selatan. Kongres tersebut menghasilkan empat rekomendasi penting yakni, pertama, pembuatan dan penetapan Peraturan Daerah tentang revitalisasi, pemertahanan, dan pengembangan bahasa dan sastra daerah Sulawesi Selatan.
Kedua, mendorong penelitian pengembangan aksara Bugis-Makassar. Ketiga, pembentukan Dewan Bahasa dan Sastra Daerah pada tingkat Provinsi, dan Kabupaten-Kota. Sementara yang terakhir, pencanangan terhadap Gerakan bangga Berbahasa Daerah (GBBD).
Sayang, perhatian terhadap punahnya bahasa daerah ini pun tidak mendapat dukungan dari pemerintah pusat, bahkan cenderung abai. Hingga kini, belum terlihat sikap nyata dari pemerintah pusat untuk melestarikan bahasa warisan leluhur Indonesia.
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti